Opini
Opini: Wisuda Adalah Ritus Cinta dan Tanggung Jawab
Orang tua adalah landasan yang menopang, doa yang tak terlihat, dan kekuatan yang tak pernah lekang.
Inilah inti dari pendidikan. Plato dalam Republic menegaskan bahwa hanya filsuf yang layak memimpin, karena hanya mereka yang mampu melihat kebenaran di balik bayangan.
Wisuda adalah momen untuk menyadari panggilan itu: bahwa setiap sarjana adalah pemimpin kecil yang membawa tanggung jawab besar.
Lalu bagaimana jika kegagalan menghadang? “Kegagalan hanyalah batu loncatan menuju kesuksesan.”
Nietzsche mengingatkan bahwa penderitaan adalah bagian dari pembentukan manusia unggul.
Dalam konteks pendidikan, kegagalan tidak boleh membuat kita menyerah, melainkan harus menjadi batu pijakan untuk melompat lebih tinggi.
Maka setiap wisudawan harus berani gagal, berani bangkit, dan berani bermimpi besar untuk bangsanya.
Pertanyaan-pertanyaan filosofis itu membawa kita pada satu kesimpulan: setiap mahasiswa harus diwisuda, karena wisuda adalah simbol pengakuan sosial atas perjalanan ilmu dan moral.
Kehadiran intelektual memang dapat mengubah pola pikir lama, asalkan mereka mau menjadi intelektual organik yang hidup bersama rakyat.
Orang tua dan guru adalah basis yang tak boleh dilupakan, karena dari merekalah lahir cinta dan ilmu yang menopang perjalanan ini.
Sebagaimana Marcus Aurelius menulis dalam Meditations: “Apa yang tidak bermanfaat bagi kawanan, tidak bermanfaat pula bagi seekor domba.”
Ilmu yang tidak bermanfaat bagi masyarakat bukanlah ilmu sejati. Maka wisuda adalah perayaan bukan hanya keberhasilan pribadi, melainkan juga harapan bagi bangsa.
Wisuda adalah doa agar cahaya ilmu tidak pernah padam, doa agar intelektual menjadi lentera dalam kegelapan negeri, doa agar bangsa Indonesia terus berjalan menuju masa depan yang penuh keadilan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.