Opini

Opini: Dari Sri Mulyani ke Purbaya, Menjaga Jangkar Menata Arah

Indonesia tidak boleh terjebak dalam dikotomi “Sri Mulyani versus Purbaya”. Yang kita perlukan adalah kesinambungan. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ZEFIRINUS K LEWOEMA
Zefirinus Kada Lewoema 

Oleh : Zefirinus Kada Lewoema 
Kandidat PhD pada Wageningen University and Research, The Netherlands, awardee International Fellowship Program (2007-2009), dan LPDP-RI. Menekuni isu-isu pengetahuan lokal, pembangunan desa dan pertanian tradisional.

POS-KUPANG.COM - Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa adalah sebuah peristiwa besar, bukan sekadar rotasi pejabat. 

Ia berlangsung di tengah gejolak sosial-politik dan langsung mengguncang pasar. 

Rupiah melemah lebih dari satu persen, indeks saham terkoreksi hingga hampir dua persen (Reuters, 2025; Financial Times, 2025). 

Reaksi spontan itu menunjukkan betapa pasar menaruh kepercayaan penuh pada figur Sri Mulyani sebagai penjaga disiplin fiskal.

Nama besar Sri Mulyani bahkan telah melampaui batas komunitas nasionalnya. 

Baca juga: Profil Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang Gantikan Sri Mulyani

Ia tercatat sebagai sosok yang diperhitungkan di panggung global, dari forum G20 hingga Bank Dunia. 

Akan tetapi, sejarah politik-ekonomi Indonesia tidak boleh berhenti pada satu nama, betapapun gemilangnya. 

Sebuah bangsa besar harus berani menghadapi transisi, meski peralihan itu berbiaya mahal.

Warisan Sri Mulyani

Sri Mulyani adalah teknokrat dengan reputasi internasional. Ia menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen PDB (Reuters, 2025), menata utang dengan hati-hati, dan menjadi jangkar stabilitas di saat badai melanda, entah krisis finansial global 2008 atau pandemi Covid-19. 

Keberadaannya memberi Indonesia kepercayaan di mata investor. Tidak semua kebijakan populis ia akomodasi; seringkali ia lebih memilih langkah tidak populer demi menjaga akal sehat fiskal.

Warisan inilah yang kini harus dijaga. Melepaskan Sri Mulyani dari kursi kementerian tidak boleh berarti melepaskan warisan nilai: transparansi, integritas, dan disiplin. 

Ia masih dibutuhkan, sebagai suara moral di ruang publik, sebagai penasihat di forum global, atau sebagai mentor teknokrat muda yang kelak akan mengambil alih estafet. 

Bangsa ini tak boleh kehilangan akal sehat fiskalnya hanya karena kehilangan satu figur.

Harapan pada Purbaya

Di sisi lain, Purbaya datang dengan latar dan gaya yang berbeda. Ia seorang insinyur sekaligus ekonom, dengan pengalaman panjang di pasar modal, lembaga riset, hingga Lembaga Penjamin Simpanan. 

Gaya komunikasinya lugas, kadang provokatif. Ia berani menargetkan pertumbuhan enam hingga delapan persen (Reuters, 2025). 

Ambisi ini menimbulkan skeptisisme, tetapi sekaligus memberi energi baru di ruang publik yang sering jenuh oleh angka-angka moderat.

Keberanian ini bisa dibaca sebagai tanda percaya diri, bahwa Indonesia punya modal untuk melaju lebih cepat. 

Ia membawa perspektif multidisipliner, hasil dari latar belakang teknik dan ekonomi, yang mungkin memberinya cara pandang berbeda terhadap kebijakan fiskal. 

Harapan muncul bahwa pendekatan baru ini akan memadukan ketegasan teknokratik dengan energi pro-growth yang selama ini dianggap kurang menonjol di bawah kepemimpinan sebelumnya.

Namun, optimisme tanpa konsistensi hanya akan menjadi retorika. Pasar tidak menunggu janji, melainkan bukti. 

Purbaya harus menunjukkan bahwa keberanian menetapkan target tinggi tetap berjalan bersama dengan disiplin fiskal.

Menjembatani Disiplin dan Ambisi

Pergantian ini mengguncang, tetapi guncangan bukanlah akhir. Ia bisa menjadi awal dari penataan arah baru. Dari Sri Mulyani kita belajar tentang pentingnya disiplin dan integritas. 

Dari Purbaya kita melihat energi, keberanian, dan dorongan untuk keluar dari jebakan pertumbuhan moderat. 

Tantangan pemerintah adalah menjembatani dua hal yang tampak bertolak belakang: menjaga jangkar fiskal sekaligus menata layar agar kapal bisa melaju lebih cepat.

Keseimbangan inilah yang krusial. Optimisme boleh ada, tetapi harus ditempa dengan kebijakan nyata: transparansi dalam belanja negara, keberanian dalam reformasi pajak, dan keberpihakan pada kelompok masyarakat paling rentan terhadap guncangan ekonomi. 

Tanpa itu, target pertumbuhan hanya akan berhenti pada tabel presentasi.

Politik, Pasar, dan Rakyat

Pergantian menteri keuangan bukan semata urusan teknokratik. Ia adalah keputusan politik, dan politik selalu membawa risiko. 

Pemerintah perlu mengingat bahwa pasar bukanlah musuh, melainkan mitra yang sensitif terhadap sinyal kebijakan. 

Ketidakjelasan komunikasi atau inkonsistensi hanya akan memperlemah kepercayaan.

Di saat yang sama, orientasi fiskal tidak boleh hanya diarahkan pada kepentingan pasar. 

Rakyat kecil menunggu bukti nyata: harga bahan pokok yang terjangkau, perlindungan sosial yang tepat sasaran, dan lapangan kerja yang layak. 

Inilah ujian bagi Purbaya: apakah pro-growth yang ia janjikan benar-benar menyentuh dapur masyarakat, atau hanya berhenti di ruang rapat investor.

Menjaga Api yang Sama

Indonesia tidak boleh terjebak dalam dikotomi “Sri Mulyani versus Purbaya”. Yang kita perlukan adalah kesinambungan. 

Disiplin yang diwariskan Sri Mulyani harus tetap dijaga, sementara energi baru Purbaya diberi ruang untuk berinovasi. 

Sri Mulyani tetap bisa memberi kontribusi, dan Purbaya harus membuktikan bahwa optimisme yang ia tawarkan bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan nyata.

Pergantian ini adalah ujian: apakah kita mampu menjaga jangkar tanpa kehilangan layar? 

Dari disiplin menuju ambisi, dari guncangan menuju kebangkitan, kita harus memastikan bahwa kapal besar bernama Republik Indonesia tetap berlayar, bukan karam di tengah gelombang.

Kapal Republik harus tetap berlayar maju

Sejarah mencatat Sri Mulyani sebagai jangkar fiskal yang kokoh. Kini Purbaya diminta menata layar untuk membawa kapal lebih cepat berlayar. 

Dua gaya berbeda ini bisa saling melengkapi bila pemerintah mampu merawat warisan, sekaligus memberi ruang bagi inovasi.

Pergantian ini memang mengguncang, tetapi juga membuka peluang. Indonesia sedang berada di persimpangan: apakah akan kehilangan kepercayaan pasar, atau justru menemukan energi baru untuk melaju lebih cepat. 

Jawabannya terletak pada kemampuan kita menyeimbangkan jangkar dan layar, disiplin dan ambisi, kesinambungan dan perubahan.

“Sri Mulyani meninggalkan jangkar, Purbaya mengangkat layar; dan bersama rakyat, kapal Republik ini harus berlayar lebih jauh, bukan karam di tepi pelabuhan.” (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved