Opini

Opini: Ketika Hak Prerogatif Terpengaruh Tekanan Dunia Maya

Namun, masalah baru muncul. Pengganti Sri Mulyani, Purbaya Yudhi Sadewa, datang dengan rekam jejak yang kurang dikenal publik. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YAYAN SAKTI SURYANDARU
Yayan Sakti Suryandaru 

Oleh: Yayan Sakti Suryandaru
Dosen Departemen Komunikasi, FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

POS-KUPANG.COM - Reshuffle kabinet adalah hak prerogatif mutlak seorang presiden, sebuah kekuasaan konstitusional yang tak bisa diganggu gugat. 

Namun, dalam praktik di era disrupsi digital saat ini, hak prerogatif tersebut tampaknya semakin rapuh dan rentan terhadap tekanan publik yang datang dari satu sumber yang paling bising: media sosial. 

Kasus penggantian Menteri Keuangan Sri Mulyani oleh Purbaya Yudhi Sadewa menjadi contoh paling nyata bagaimana dinamika politik yang serius bisa terhasut oleh gaduh dunia maya, berujung pada keresahan dan ketidakpastian publik.

Sejatinya dalam kajian ilmu politik, konsep hak prerogatif kekuasaan eksekutif dalam sistem presidensial telah dikembangkan dan diperdebatkan oleh banyak akademisi terkemuka. 

Baca juga: BREAKING NEWS : Presiden Prabowo Reshuffle Kabinet Merah Putih Lima Menteri Diganti

Juan J. Linz (1990), dalam esai klasiknya yang berjudul "The Perils of Presidentialism" mengulas tentang bahaya dari sistem presidensial, termasuk kekuasaan presiden yang terkonsentrasi dapat menimbulkan konflik dan ketidakstabilan politik.

Tekanan Dunia Maya

Penggantian Sri Mulyani, sosok yang dikenal luas dan dihormati di kancah internasional, menjadi buah bibir di media sosial bahkan sebelum pengumuman resmi. 

Sejumlah media massa memberitakan tagar terkait namanya ramai diperbincangkan netizen, menciptakan narasi yang seolah mendikte keputusan presiden. 

Terlepas dari berbagai kontroversi yang melingkupi Sri Mulyani, reaksi publik di dunia maya seolah berperan sebagai juri yang mempercepat "vonis politik" tersebut. 

Publik merasa telah menyuarakan keinginan, dan seolah-olah presiden memenuhi aspirasi tersebut.

Namun, masalah baru muncul. Pengganti Sri Mulyani, Purbaya Yudhi Sadewa, datang dengan rekam jejak yang kurang dikenal publik. 

Alih-alih meredakan kegaduhan, pelantikannya justru memicu gelombang kontroversi baru. 

Pernyataan Purbaya tentang tuntutan mahasiswa dan buruh yang dianggapnya suara sebagian rakyat sontak menuai kecaman luas, terutama dari kalangan mahasiswa UI yang merasa suaranya diremehkan. 

Sang Menteri baru pun akhirnya buru-buru meminta maaf atas pernyataannya yang ditanggapi negatif oleh masyarakat dan viral di media sosial.

Situasi ini menguatkan kekhawatiran bahwa keputusan yang terburu-buru dan terpengaruh desakan publik, menghasilkan pilihan yang tidak matang. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah baru. 

Dilema Literasi Digital dan Tekanan Politik

Fenomena ini bukanlah hal baru dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara, tekanan publik, termasuk melalui media sosial, telah memaksa menteri untuk mundur atau memengaruhi pemilihan kabinet. 

Pada 2021, Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock terpaksa mundur setelah rekaman CCTV yang menunjukkan ia melanggar aturan jaga jarak COVID-19 tersebar luas. 

Skandal ini, yang memicu kemarahan publik di media sosial, menunjukkan bagaimana satu kesalahan yang terekspos dapat merusak kredibilitas pejabat dan memaksa keputusan politik, meskipun perdana menteri awalnya enggan.

Di Australia pada 2018, Perdana Menteri Malcolm Turnbull digulingkan oleh partainya sendiri, bukan karena skandal personal, melainkan karena gejolak internal yang diperkuat oleh kritik publik terhadap kebijakan energi. 

Ini membuktikan bahwa tekanan publik, bahkan tanpa skandal langsung, dapat memicu ketidakstabilan politik dan pergantian kepemimpinan.

Meskipun publik sama-sama memberikan tekanan di media sosial, aktivisme digital di banyak negara maju seringkali didukung oleh literasi digital yang lebih tinggi dan kesadaran kritis yang kuat. 

Berbeda dengan konteks Indonesia, laju penyebaran informasi seringkali lebih cepat dari kemampuan analisisnya. 

Berdasarkan hasil riset dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam laman pandu.komdigi.go.id, Indeks Literasi Digital Indonesia tahun 2024 masih berada di angka 3.78 dari skala 5 (kategori sedang). 

Angka ini dapat dipersepsi bahwa meskipun akses internet dan media sosial sudah meluas, kemampuan masyarakat untuk menggunakan alat-alat ini secara bijak masih terbatas. 

Hal ini menjadikan ruang publik digital rentan terhadap manipulasi dan emosi, yang pada akhirnya dapat memengaruhi keputusan politik seperti dalam kasus penggantian menteri.

Maka, saat seorang presiden mengambil keputusan strategis berdasarkan arus opini yang rentan dimanipulasi dan berlandaskan emosi, bukan fakta, stabilitas pemerintahan bisa terancam. 

Keputusan yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan keahlian, rekam jejak, dan visi jangka panjang, kini seolah-olah tunduk pada popularitas sesaat di lini masa.

Agenda ke Depan

Untuk keluar dari siklus keresahan ini, presiden memang harus kembali menegaskan hak prerogatifnya dengan strategi berbeda. 

Alih-alih menolak masukan publik, presiden bisa membuka ruang partisipasi yang konstruktif dan terstruktur. 

Presiden dapat membentuk saluran resmi, seperti call center khusus untuk masukan kandidat menteri, menyediakan kode pos atau alamat surel khusus, atau membuat portal daring disertai verifikasi identitas untuk memberikan masukan. 

Dengan cara ini, masukan publik bisa disaring, dianalisis, dan dijadikan data berharga.

Pada akhirnya, keputusan tetap berada di tangan presiden. Masukan dari masyarakat, yang disalurkan melalui mekanisme terstruktur ini, dapat menjadi bahan pertimbangan dari para penasihat presiden, sekretaris kabinet, atau menteri koordinator di bidang terkait. 

Mengambil keputusan strategis dengan menyeimbangkan suara rakyat (yang terstruktur) dengan keahlian para teknokrat menjadi kunci untuk membentuk kabinet yang populis, kompeten dan stabil. 

Dengan begitu, hak prerogatif presiden akan menjadi lebih kuat dan tepercaya, tidak lagi terombang-ambing gelombang digital yang tidak menentu. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved