Breaking News

Opini

Opini - Geotermal NTT: Sains Bicara Alam Menjawab

Pemerintah melihat potensi listrik, tetapi warga khawatir air danau—sumber hidup dan ekowisata—tercemar gas beracun. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ANGGELINUS NADUT
Anggelinus Nadut 

Oleh: Br. Anggelinus Nadut, SVD
Dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Unwira Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Akhir-akhir ini NTT sedang hangat dibicarakan, bukan hanya karena teriknya matahari, tetapi juga karena panas yang tersimpan jauh di perut bumi. 

Para ilmuwan menyebutnya geotermal, sumber energi bersih yang digadang-gadang bisa jadi masa depan listrik NTT. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM, 2022) mencatat, potensi panas bumi di NTT mencapai lebih dari 1.000 megawatt. 

Angka ini cukup besar, bisa setara dengan kebutuhan listrik seluruh NTT saat ini. 

Baca juga: Opini: Proyek Geotermal Sebagai Ujian Kepemimpinan Politik di Daerah

Tak heran jika pemerintah maupun investor melirik Flores, Lembata, dan Timor sebagai ladang energi baru.

Namun, di sisi lain, masyarakat di sekitar lokasi merasakan langsung getaran dan retakan tanah, semburan lumpur panas, dan perubahan alam yang tidak selalu seindah laporan teknis. 

Inilah titik temu sekaligus titik tegang: ketika sains bicara data, dan alam menjawab dengan fakta.

Harapan dari Energi Bersih

Krisis listrik sudah lama menjadi keluhan warga NTT. Pemadaman bergilir sering mengganggu usaha kecil, pendidikan, bahkan pelayanan publik. 

Menurut laporan PLN wilayah NTT (2021), kebutuhan listrik meningkat rata-rata 7 persen per tahun, sementara pasokan masih terbatas. 

Geotermal dipandang sebagai solusi tepat karena bisa menghasilkan energi terbarukan tanpa ketergantungan pada bahan bakar fosil yang mahal dan mencemari udara.

Pemerintah pusat pun serius menyiapkan proyek strategis. Misalnya, lapangan panas bumi Ulumbu di Manggarai yang sudah beroperasi sejak 2012 dan kini memasok sebagian listrik untuk Manggarai Barat. 

Jika diperluas, kapasitasnya bisa berlipat ganda. Di atas kertas, ini adalah kabar baik. 

Flores bahkan disebut-sebut akan menjadi “Pulau Panas Bumi” oleh ESDM.

Risiko di Tanah Rawan Gempa: Alam Tidak Pernah Diam

Flores juga sudah banyak memberi pelajaran. Di beberapa titik eksplorasi, alam seolah mengirimkan tanda-tanda yang tak bisa diabaikan.

Gunung Anaka – Manggarai. Tahun 1987, tiba-tiba muncul gunung baru (Anaka) di samping Gunung Ranaka. 

Gas panas dan belerang menyembur, diduga kuat berkaitan dengan eksplorasi panas bumi di Ulumbu. 

Dampaknya, hampir seluruh masyarakat Manggarai terserang penyakit gatal misterius (“penyakit melodi”). 

Secara geologi, fenomena ini bisa dijelaskan sebagai pelepasan fluida panas bumi. Namun bagi masyarakat, ini tanda bahwa bumi tidak mau dipaksa.

Poco Leok - Manggarai, rencana pengembangan panas bumi memicu pro-kontra. 

Sebagian warga mendukung karena berharap ada pekerjaan dan kompensasi, sebagian menolak karena takut tanah ulayat hilang. 

Konflik vertikal dengan pemerintah dan horizontal antarwarga merebak. 

Kasus ini menunjukkan energi “hijau” bisa berubah menjadi sumber perpecahan jika mengabaikan hak masyarakat. 

Laporan Masyarakat Adat Manggarai (2022) menyoroti minimnya keterlibatan warga dalam proses perencanaan.

Sano Nggoang, Manggarai Barat. Danau vulkanik terdalam di Asia Tenggara ini direncanakan menjadi lokasi pengeboran panas bumi. 

Pemerintah melihat potensi listrik, tetapi warga khawatir air danau—sumber hidup dan ekowisata—tercemar gas beracun. 

Bagi mereka, risiko kehilangan air bersih dan nilai sakral danau lebih besar dari janji listrik. 

Penelitian WWF Indonesia (2020) juga menegaskan pentingnya menjaga kawasan itu sebagai cadangan air dan pusat keanekaragaman hayati.

Mataloko, Ngada. Proyek yang dimulai 1980-an ini sering disebut mangkrak. Sumur-sumur bor dibiarkan terbuka, mengeluarkan uap belerang. 

Belakangan muncul fenomena baru: gas dan lumpur panas menyembur di rumah warga dan lahan pertanian. 

Warga mengeluh sumber air berkurang dan sawah mengering - tidak produktif, bau menyengat mengganggu kesehatan. 

Secara ilmiah, ini akibat tekanan panas bumi yang mencari jalur keluar. Tetapi bagi masyarakat, ini tanda “alam sedang marah”. 

Kajian oleh Hidayat dkk. (2019) mencatat adanya perubahan debit air tanah di sekitar area pengeboran. 

Semua contoh ini menunjukkan satu hal: alam memang tidak pernah diam. 

Ia tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi menjawab dengan caranya sendiri—air yang tiba-tiba surut, tanah yang retak, atau bau belerang yang makin pekat.

Data, Fakta, dan Kehidupan Sehari-hari

Bagi ilmuwan, geotermal dihitung dengan angka-angka: suhu reservoir, potensi megawatt, biaya produksi per kilowatt jam. 

Tapi bagi masyarakat lokal, ukurannya sederhana: apakah air masih mengalir di sumur mereka, apakah tanah masih subur untuk bercocok tanam, apakah anak cucu masih bisa tinggal di kampung halaman?

Di sinilah sering muncul kesenjangan. Menurut penelitian Lassa (2021 - Undana), konflik sosial dalam proyek energi di NTT kerap dipicu karena masyarakat tidak diajak bicara sejak awal. 

Mereka hanya menerima keputusan “dari atas”, tanpa ruang cukup untuk menyampaikan kekhawatiran.

Energi dan Identitas Budaya

Flores – Manggarai dan Ngada – bukan  sekadar titik di peta energi. Tanah dan hutan di sana punya makna budaya dan spiritual. 

Dalam tradisi Manggarai, misalnya, tanah ulayat adalah warisan leluhur yang harus dijaga. 

Jika tanah itu rusak karena proyek, maka yang hilang bukan hanya kebun, tetapi juga identitas kolektif. 

Hal ini ditegaskan pula dalam laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN, 2022) yang mengingatkan bahwa proyek energi sering kali mengabaikan hak masyarakat adat.

Jalan Tengah: Energi Berkeadilan

Energi panas bumi memang peluang besar bagi NTT, tetapi harus dikembangkan dengan prinsip berkeadilan. 

Artinya, proyek harus benar-benar melibatkan masyarakat lokal sejak tahap awal, transparan dalam berbagi informasi, serta memastikan manfaat langsung dirasakan warga sekitar.

Menurut Greenpeace Indonesia (2021), transisi energi hanya bisa berhasil jika melibatkan masyarakat sebagai mitra sejajar, bukan sekadar penerima dampak. 

Hal ini sejalan dengan gagasan “energi berkeadilan” yang kini mulai banyak diperbincangkan di level nasional.

Penutup: Mendengar Suara Alam

Sains memberi kita data, tetapi alam memberi kita fakta. NTT memang memiliki cadangan panas bumi yang luar biasa, dan bisa menjadi masa depan energi bersih. 

Namun, jika pembangunan mengabaikan suara alam dan keresahan masyarakat, maka yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan ketegangan baru.

Flores, dengan Ulumbu, Poco Leok, Sano Nggoang, dan Mataloko, sedang mengajarkan kita sebuah kearifan: bahwa energi bukan hanya soal listrik dan uang, tetapi soal kehidupan yang berkelanjutan. 

Mungkin sudah saatnya kita berhenti melihat geotermal hanya sebagai angka di tabel ESDM, dan mulai melihatnya sebagai bagian dari jalinan kehidupan masyarakat dan alam NTT. 

Hanya dengan cara itu, energi benar-benar bisa jadi berkat, bukan petaka. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved