Opini
Opini: Cosmas Kaju Gae dan Lystio Sigit Prabowo
Ketika terjadi perilaku anarkis oleh kerumunan yang bersifat agresif, pengambilan keputusan menjadi tidak mudah.
Mengurai Cosmas Kaju Gae dan Lystio Sigit Prabowo
Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultad Ciencia Politica Universiadad Complutense de Madrid – Spanyol
POS-KUPANG.COM - Kematian Affan Kurniawan akibat dilindas kendaraan taktis ( rantis) pada Kamis 28 Agustus 2025 telah menjadi pemicu pelbagai reaksi menyusul.
Tak hanya itu. Hanya dalam hitungan hari, sidang etik telah menerima Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) untuk Kompol Cosmas Kaju Gae.
Terhadap pemberhentian itu sekilas bisa diterima. Dalam kepemimpinan, berlaku ungkapan ini: Leaders believe the subordinate's failure is the leader's failure, the subordinate's mistake is the leader's mistake.
Baca juga: Lima Pernyataan Sikap Keluarga Ngada di Kupang, Tolak PTDH Kompol Cosmas Kaju
Kegagalan dan kesalahan bawahan adalah kegagalan dan kesalahan pemimpin.
Adagium ini dalam dunia kemiliteran dan kepolisan tentu ditafsir lebih keras lagi. Sampai pada titik ini kita bisa paham, mengapa Cosmas diberhentikan.
Yang jadi pertanyaan, apakah adagium ini juga berlaku dalam keadaan gawat-darurat?
Bagaimana memahaminya ketika orang berada dalam tekanan seperti dalam sebuah aksi demo anarkis?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Pengambilan keputusan di tengah suasana yang masih keruh seperti yang terjadi dengan Sidang Etik, di satu pihak bisa saja disebut sangat responsif.
Tetapi ketika dikaji lebih jauh, meninggalkan pertanyaan yang masih terbuka untuk dibahas.
Identifikasi Tanda Bahaya
Dalam menganalisis situasi demo yang terjadi pada Kamis 28 Agustus 2025, hal paling penting dikaji adalah sejauh mana identifikasi tanda-tanda bahaya itu terjadi.
Ketika terjadi perilaku anarkis oleh kerumunan yang bersifat agresif, pengambilan keputusan menjadi tidak mudah.
Di satu pihak suasana kacau berupa perusakan fasilitas umum menandakan adanya alarm tentang potensi kekacauan.
Hal itu belum terhitung adanya aneka ancaman terhadap para penjaga keamanan (polisi) berhadapan dengan ancaman keamanan diri yang dialami secara riil.
Di tengah kondisi seperti ini, keputusan apapun yang diambil baik sengaja maupun tidak sengaja tidak lagi menjadi keputusan pribadi.
Kalaupun dianggap sebagai kebijakan pribadi, itu pun dilakukan di bawah tekanan yang dahsyat.
Kematian Affan Kurniawan yang sangat disayangkan pun tidak bisa dilihat sebagai kematian ‘an sich’ yang terjadi secara sengaja, tetapi lebih merupakan sebuah kejadian yang terjadi dalam sebuah konteks situasi yang saling mengandaikan.
Dalam pemikiran filsuf Hegel, kejadian menabrak orang lain merupakan sebuah sesuatu yang laten dan belum terbentuk atau dalam hubungan tertentu merujuk pada ketidaksadaran.
Dalam kacamata análisis seperti ini, maka segala tindakan kepolisian dalam konteks tertekan dan terkondisikan oleh situasi sekitar tidak menjadi tanggung jawab pribadi.
Mereka adalah representasi dari sebuah institusi. Dalam arti ini, baik 7 orang anggota polisi yang ada di dalam rantis, sopir Bripka Rohmat, juga Cosmas Kaju Gae bukan hadir sebagai pribadi yang harus menerima konsekuensi dari sebuah kematian.
Mereka adalah pribadi yang hadir secara reprentatif dari sebuah kepolisan kepolisian.
Inilah tanda bahaya yang mestinya diidentifikasi dalam menganalisis sebuah kejadian.
Mengikuti alur pemikiran ini maka tanggungjawab tidak bisa dibebankan secara terbatas pada kendaraan rantis dan pimpinan yang ada di lokasi tetapi sebuah kekuatan ‘kecil’ di tengah situasi yang tidak normal.
Karena itu kalau pelakunya dikerucutkan pada pribadi maka bukan pribadi pelaku di lapangan tetapi pemimpin besar.
Sigit Listyo Prabowo mestinya menjadi orang yang secara tepat menjawab pertanyaan ini hal mana perlu menjadi bidikan tim etik Polri.
Singkatnya, bila Bripka Rohmat dianggap melaksanakan perintah atasannya
(Cosmas), maka secara logis, Cosmas tidak menghentikan pertanyaan. Ia perlu melanjutnya pertanyaan hingga akhirnya bermuara akhir pada Kapolri.
Polisi Presisi?
Apa yang mesti dipelajari dari kasus demontrasi di Kamis 28 Agustus 2025?
Bagaimana menilainya dari sembonyan Kapolri Sigit tentang Polri yang merupakan singkatan dari PREdiktif, ReSponSIbilitas, dan Transparansi Berkeadilan?
Pertama, semboyan itu tidak sekadar abreviasi tetapi ia sangat mengena ketika dimaknai secara hurufiah pada arti sebenarnya.
Presisi tidak akan dimaknai terlepas dari akurasi. Presisi dalam sistem pengukuran dimaknai sebagai tingkat kedekatan pengukuran kuantitas terhadap nilai yang sebenarnya.
Sementara itu presisi dimaknai sebagai reproduktivitas dan pengulangan di mana kejadian yang sama meski diulang beberapa kali tetap mendapatkan hasil yang sama.
Dalam arti ini, membebankan kesalahan pada pelaku di lapangan (Cosmas dan Rohmat) tidak bisa dinilai hanya sekali tetapi tetap merangkainya dengan sejarah hidup mereka.
Bila dalam sejarah hidup mereka telah menunjukkan tindakan mengancam malah menghilangkan nyawa orang maka kejadian di Kamis kelabu hanya menegaskan apa yang terjadi sebelumnya.
Sebaliknya bila kejadian itu terjadi pertama kali maka tingkat presisi dianggap rendah karena belum pernah terulang kasus yang sama sebelumnya.
Kedua, bila dimaknai sebagai abreviasi (singkatan) yang digaungkan sebagai program unggulan Sigit, maka di sana justru lebih dalam lagi terungkap.
Jelasnya, apakah terjadi sebuah aksi anarkis yang mengancam pribadi yang bisa diprediksi?
Lalu siapa yang bertanggungjawab ketika sebuah keadaan genting terjadi?
Bila kita merujuk pada tanggungjawab (responsibilitas), maka tanggungjawab itu tidak berhenti pada sebuah komponen kecil (polisi yang ada dalam rantis), tetapi ia adalah sebuah tangggungjawab representatif yang dilakukan mengatasnamakan polisi.
Dalam kondisi ini, bila tanggung jawab hanya sampai pada Cosmas maka akan menunjukkan adanya ketakadilan atau lebih tepat keadilan yang menjadi tak transparan.
Ketiga, kasus “Kamis kelabu 28/8” karena itu menjadi ujian komprehensif yang tengah dihadapkan bukan pada Cosmas tetapi justru pada Sigit.
Ia menjadi ujian penting untuk mengukur sejauh mana konsep Polri presisi yang diungkapkan saat dilantik 21 Januari 2021 (hampir 5 tahun lalu) bisa dibuktikan dalam tragedi ini.
Itu berarti tangisan Cosmas hanya tetesan air mata yang meminta polisi menjadi lebih presisi dalam semua makna.
Bila harapan ini kita letakkan dalam filsuf asal Rumania Emile M. Cioran (1911-1995) yang gaya tulisannya menggabungkan nuansa reflektif, nihilis, aforis dan pesimis, maka terdapat jawaban yang menghentak kesadaran.
Baginya sebuah kebenaran biasanya dimulai dengan konflik dengan polisi dan berakhir dengan memanggil mereka.
Itu berarti tragedi demontrasi yang berakhir kematian Affan bisa membuka pintu terhadap kebenaran.
Karena itu panggilan tidak berhenti pada Cosmas tetapi menjadi ujian bagi Sigit. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.