Opini

Opini: Uskup Siprianus Hormat, Gembala Lokal Pemimpin Global

Dalam rentang itu, ia menulis dan mengajar, membentuk generasi imam dengan pandangan progresif. 

|
Editor: Dion DB Putra
FOTO KIRIMAN TIAN RAHMAT
Ucapan selamat untuk Uskuk Ruteng Mgr. Siprianus Hormat 

Oleh: Tian Rahmat
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Pemerhati Isu-isu Strategis

POS-KUPANG.COM - Sejarah Gereja Katolik di Flores kembali menorehkan tinta emas. 

Hari Jumat, 29 Agustus 2025, Paus Leo XIV mengangkat Uskup Keuskupan Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat sebagai anggota Dikasteri di Vatikan

Pengangkatan ini bukan sekadar prestasi pribadi, melainkan cerminan dari perjalanan panjang iman umat Katolik di Manggarai, yang sejak awal abad ke-20 telah menjadi ladang subur bagi benih Injil.

Keputusan Vatikan itu berakar dari Surat Keputusan Duta Vatikan Nomor 1390/2019 yang lebih dulu menetapkan Romo Siprianus Hormat sebagai Uskup Ruteng. 

Baca juga: Paus Leo XIV Angkat Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat sebagai Anggota Dikasteri Vatikan

Lima tahun pascatahbisan episkopalnya, ia kini dipercaya memikul tanggung jawab berskala global: bergabung dalam “pusat kendali rohani” yang menata haluan Gereja Katolik semesta.

Jejak Panjang dari Cibal ke Roma

Uskup Siprianus  lahir di Boncu kode, Cibal, Manggarai, pada 16 Juli 1966. 

Pendidikan dasarnya ditempuh di SDK Ri’i (1974–1980), lalu melanjutkan ke Seminari Pius XII Kisol (1980–1986). 

Hidup di seminari berarti hidup dalam disiplin rohani dan intelektual. 

Dalam Etika Politik (1999), Franz Magnis-Suseno menekankan bahwa “seminari tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai wadah pembentukan karakter.” 

Hal ini terlihat jelas dalam pribadi Uskup Sipri di masa mudanya.

Setelah belajar filsafat dan teologi di STFK Ledalero (1987–1995), ia ditahbiskan imam pada tahun 1995. 

Namun, perjalanannya tidak berhenti di altar. Ia melanjutkan studi di Universitas Lateran, Italia (1999–2001), bahkan mengambil kursus formasi di Gregoriana (2001–2002) dan Varese (2011). 

Pendidikan internasional ini memperkaya perspektifnya, membuatnya mampu menjembatani dialog iman lokal dan universal.

Pastor, Akademisi, Pemimpin

Karya pastoralnya dimulai sebagai Ketua Komisi Kepemudaan (KOMKEP) Keuskupan Ruteng (1995–1996) dan kapelan Paroki Cewonikit. 

Ia lalu menjadi pembina para frater TOR di Lela, Maumere (1996–1997) serta pastor rekan Paroki St. Paskalis, Jakarta (1998).

Namun, kiprah akademiknya semakin bersinar saat ia dipercaya sebagai staf pembina di Seminari Tinggi Ritapiret (2002–2012), dosen di STFK Ledalero (2003–2012), sekaligus menjabat sebagai pembantu Ketua III STFK (2004–2012). 

Dalam rentang itu, ia menulis dan mengajar, membentuk generasi imam dengan pandangan progresif. 

William Butler Yeats (1916) menulis bahwa guru yang sesungguhnya adalah sosok yang menyalakan semangat, bukan sekadar mengisi wadah yang kosong. Spirit itu tampaknya menjadi jantung karya Romo Sipri.

Kiprah nasionalnya pun tak kalah penting: Sekretaris Komisi Seminari KWI (2012), Ketua UNIO Indonesia (2014), hingga Sekretaris Eksekutif KWI (2016). 

Posisi-posisi ini membuktikan kepercayaan kolegial Gereja Indonesia terhadap kapasitas intelektual dan kepemimpinannya.

Dari Ruteng ke Panggung Global

Ketika pada 2019 Vatikan menunjuknya sebagai Uskup Ruteng, masyarakat Manggarai menyambutnya dengan harapan besar. 

Setelah pengunduran diri Uskup Hubertus Leteng pada 2017 akibat kontroversi, Ruteng sangat membutuhkan gembala baru yang dapat menyembuhkan luka serta mempersatukan kembali umat.

Menurut Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013), masa krisis sebenarnya menjadi peluang untuk memperkuat kembali landasan moral. 

Mgr. Sipri menjawab tantangan itu dengan gaya kepemimpinan yang sederhana, dekat dengan umat, dan berpijak pada intelektualitas mendalam.

Saat ini, penunjukannya sebagai anggota Dikasteri di Roma menandai tahap baru dalam perjalanan kariernya. 

Dikasteri badan administratif Gereja Katolik berfungsi layaknya kementerian dalam negara. 

Dalam sejarah Indonesia, hanya segelintir uskup yang dipercaya menduduki posisi strategis ini. Hal ini menunjukkan pengakuan universal Gereja terhadap kontribusi Mgr. Siprianus Hormat.

Implikasi bagi Manggarai dan Indonesia

Pengangkatan ini membawa kebanggaan tersendiri bagi umat Katolik di Nusa Tenggara Timur. 

Dalam perspektif sosiologis, Pierre Bourdieu dalam Religion (1991) menegaskan bahwa agama tidak hanya membentuk identitas rohani, tetapi juga modal simbolik yang mengangkat martabat komunitas. 

Dengan demikian, karya Mgr. Sipri di Vatikan bukan hanya untuk Gereja universal, tetapi juga mengangkat nama Manggarai dan Indonesia di mata dunia.

Lebih jauh, keterlibatan beliau dalam Dikasteri membuka ruang bagi suara Gereja Asia khususnya Indonesia didengar dalam diskursus global. 

Isu-isu seperti perlindungan lingkungan, pluralisme, dan keadilan sosial yang selama ini menjadi perhatian utama Gereja di Indonesia sekarang bisa diadvokasi langsung dari pusat pengambilan kebijakan di Vatikan.

Sebagaimana dicatat dalam Dokumen Konferensi Waligereja Indonesia (KWI, 2022), “Gereja Indonesia terpanggil untuk merawat kebhinekaan dan alam ciptaan sebagai wujud iman yang hidup.”

Cahaya dari Ruteng

Ketika nama Mgr. Siprianus Hormat kini berkumandang di Roma, kita diajak merenungkan makna panggilan seorang gembala: berakar di tanah kelahiran, namun bercabang ke seluruh dunia. 

Dalam kata-kata Paus Yohanes Paulus II dalam Pastores Dabo Vobis (1992), “Imam dipanggil untuk menjadi jembatan antara manusia dan misteri Allah.”

Dari Boncu kode ke Roma, dari altar kecil di Cibal hingga ruang megah di Vatikan, perjalanan Mgr. Sipri adalah kisah tentang ketekunan, intelektualitas, dan pengabdian. 

Flores patut berbangga, Indonesia pun patut bersyukur. Sebab dari tanah Manggarai, kini lahir seorang cahaya baru yang ikut menerangi Gereja Katolik universal. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved