Opini

Opini: Hamba yang Mulia Berikan Aku Sedekah Keadilan

Hari ini rakyat turun ke jalan menyampaikan berita duka cita bahwa sila kelima telah meninggal dunia.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTANSI POS-KUPANG.COM
Dr Marsel Robot. 

Oleh: Marsel Robot
Dosen Bahasa dan sastra FKIP Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Menjadi rakyat Indonesia memang tidak gampang. Minimal ada tiga syaratnya. 

Pertama, harus mampu mengonversi penderitaan menjadi hiburan yang bisa melupakan nasib sial sebagai rakyat Indonesia. 

Semisal, berdirilah di atas bukit, pandanglah pose negerimu yang indah nian dan kaya raya dengan rimbunan pluritas suku bangsa yang mengagumkan dunia. Lalu, bernyanyilah sepuas hati tentang nasibmu yang masih gini-ginian. 

Bercandalah sebanyak mungkin di gubuk reotmu yang penuh sesak dengan romantika kemiskinan untuk menghalau kegetiran hari-hari yang kau jalani untuk sekadar mempertahankan hidup. 

Baca juga: Opini: Menalar Demonstrasi

Toh, jikalau wakilmu (Dewan Perwakilan Rakyat) di atas sana berjoget dan berdendang ria lantaran menikmati gaji besar yang disetor dari bulir keringatmu. Itu pun Anda biarkan. 

Ketika dompetmu yang berisikan lagu Indonesia Tanah Air Beta, dirogo oleh menteri yang hari-harinya memikirkan untuk memalak rakyat melalui pajak, Andapun tulus menyerahkan semuanya. Dan barangkali, sekali waktu senyum dan tangismu dipajak pula. 

Belum lagi intimidasi dan gaya koersif pejabat negeri, mewanti, Anda yang tidak membayar pajak akan dipersulit. Nyaris tak ada yang enak di negeri ini. Negeri yang hanya terasa ngeri melulu.  

Syarat kedua, tidurlah lebih panjang daripada jam bangunmu agar Anda dapat menikmati kemakmuran negerimu dalam mimpi panjang itu. 

Sebab, bangun pagi, Anda  akan berjumpa dengan realitas yang begitu sepat dan pahit, hingga menistakan dirimu. 

Jikalau wakil-wakilmu tidur di ruang rapat yang megah, menyandarkan tubuh tambun di kursi empuk yang terbuat dari penderitaanmu, dan mengontrak rumah 50 jutaan per bulan yang dibangun dari batu-bata keringatmu, itu pun Anda biarkan. 

Karena, Anda paham bahwa merekalah penikmat kemakamuran negerimu ini. Hebat pula, Anda tidak pernah mereken-reken gundukan uang pejabat negara yang jumlah melebihi Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Indonesia selama satu tahun. 

Tak pernah hitung juga, gaji pejabat Badan Usaha Milik negara yang menyentuh langit. Kalau Anda bentangkan lembaran ratusan itu dari Sabang samapi Merauke masih tersisa di aula yang tersusun rapi dalam brankas raksasa.  

Tentu, Anda tidak perlu membandingkan dengan negara lain. Seumpama, di Swedia, DPR gajinya sama dengan pegawai negeri lainnya. Tidak mendapat privilese (keistimewaan). 

Tidak mempunyai tunjangan apapun. Tidak mempunyai rumah dinas. Hanya memiliki tiga mobil dinas. Mereka ke kantor menggunakan kendaraan pribadi. 

Di negeri kita setiap pejabat menggunkana mobil senilai senilai 1 miliar. Tunjangan a sampai z hingga sempoyongan menabrak tumpukan tunjangan yang begitu banyak. 

Sementara negara mengalami tekor dan tunggakan utang yang dibayar dari generasi ke generasi.  

Syarat ketiga, belajarlah menerima penderitaan sebagai takdir dan bersabarlah hingga rasa kesabaran itu memangsai Anda sendiri. Sebab, bila Anda berteriak sekadar menagih sedekah keadilan, maka akan ditimpuk oleh negara melalui pentungan polisi. 

Padahal, baju, tameng, dan pentungan yang digunakan untuk memukulmu adalah uang darimu juga.  Alangkah lucu negeri yang ngeri ini.
Tak kalah keren. Mereka selalu beralibi dua rangkap. 

Di permukaan begitu santun dengan istilah efisiensi, tetapi pada lapisan paling dalam mengandung motif memeras rakyat untuk menaikkan gaji mereka. 

Efisiensi hanya berlaku bagi rakyat yang sudah mulai melarat ini, ekonomi sekarat. 

Anda boleh bayangkan, sebagian besar pejabat dan anggota dewan memiliki pesawat jet pribadi, kapal pesiar, rumah di mana-mana atau di mana-mana ada rumah. Tetapi, itu seolah milik mereka yang datang dari langit lain. 

Efisiensi tanpa diimbangi transprasi, maka hanya menghasilkan ironi. Kabinet makin jumbo dan kolega politik yang beranak pinak dalam tim sukses mengelilingi tungku kekuasaan. 

Ada wakil menteri, ada utusan khusus, ada staf khusus, ada urusan khusus, dan ada yang khusus urus usus yang tidak sedikit menghabiskan uang negara.

Masih saja bertingkah aneh. Rakyat sering tersedak oleh pernyataan mereka yang menyakitkan. 

Dalam sebuah acara Metro Televisi, Deddy Sitorus menolak untuk disamakan dengan masyarakat berpenghasilan rendah seperti tukang becak atau buruh, yang ia sebut sebagai "rakyat jelata". 

Ia menilai perbandingan antara gaji DPR dengan UMR sebagai hal yang tidak setara, bahkan menyebutnya “sesat logika”. 

Ia malah meminta agar gaji mereka setara dengan direksi BUMN, bukan dengan pekerja berupah UMR. 

Sahroni menyebut Anda sebagai orang tolol sedunia. Izinkan saya bertanya kepada hamba yang mulia,  siapa sih Anda ini?  

Bukankah Anda hanya wakil rakyat? Sedangkan majikanmu adalah rakyat. Siapakah yang mengantar ente ke kursi DPR? Bukankah buruh bangunan, petani, nelayan, tukang becak yang kau ejek itulah yang mengantarmu ke sana? 

Pemilik sah negeri ini adalah rakyat. Anda itu cuma hamba rakyat yang dimuliakan. Kok, menjadi wakil saja jutek dan sombong.  

Lagi-lagi patut diacung jempol pada rakyat Indonesia. Rakyat terpuji yang hidup di tanah terjanji. 

Hampir memiliki semua kekayaan alam, mempunyai emas, nikel, batu bara, timah, minyak tanah, sawit, hutan  dan masih banyak lagi, toh rakyatnya melarat. Kemiskinan mengabad dan nyaris abadi. 

Dari Sabang sampai Merauke berjajar rakyat yang melarat. Itulah Indonesia. Pemerintah membangun negara di “tanah air mata.”

Ketahuailah orang miskin sesungguhnya itu adalah Anda tidak pernah puas dengan Anda miliki. Padahal, setiap pelantikan diambil sumpah, meletakkan tangan kiri pada kitab suci. 

Toh, dalam kenyataan berbanding terbalik. Inilah fenomena kekafiran orang beragama di negara yang sering merasa paling religius.

Hari ini, jutaan kata dan frasa yang menutup ibu kota dan kata-kata itu berduyun masuk gedung DPR, dan terbaca di sana:

Hari-hari ini rakyat turun ke jalan  hanya meminta sedekah keadilan dari hamba yang mulia.

Kurangi parlente keluar negeri sekadar menghabiskan  uang negara dengan kedok studi banding.

Jangan sesekali meremehkan rakyatmu yang baik hati, sabar, dan selalu maklum dengan keadaanmu. 

Jagalah pose dan tutur kata yang mengandung racun dan jangan membiarkan lidahmu berbisa. 

Hari ini rakyat turun ke jalan menyampaikan berita duka cita bahwa sila kelima telah meninggal dunia. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved