Opini

Opini: Belajar Merdeka dari Dunia, Belajar Toleran dari Luka

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hendrikus Maku, SVD

Oleh: Hendrikus Maku, SVD
Pegiat dialog lintas agama, Anggota FKUB Sikka 2016-2021,  Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

POS-KUPANG.COM - Alhamdulillah, sudah delapan puluh tahun Negara Bangsa bernama Indonesia, merdeka. Tapi mari kita jujur. 

Sudahkah kita benar-benar merdeka dari rasa takut, dari diskriminasi, dari ketidakadilan? 

Atau kita hanya pandai berpesta, tapi lupa berbenah? Aneh tapi nyata. 
Delapan puluh tahun merdeka, tapi kebebasan masih harus dicuri di balik pintu tertutup - sebuah paradoks di negeri yang katanya menjunjung toleransi.

Baca juga: Opini: Toleransi

Setiap tahun kita dengar pidato-pidato indah tentang persatuan, toleransi, dan kebhinekaan. 

Namun di lapangan, masih ada warga yang harus sembunyi-sembunyi untuk beribadah. Masih ada sekolah yang gagal mengajarkan toleransi. 

Masih ada aparat yang diam saat rumah ibadah dirusak. Kita terlalu sering bicara, tapi terlalu jarang bertindak. 

Kita jadi bangsa yang “NATO” - No Action, Talking Only. Pancasila hanya di bibir, prahara intoleransi padat di jalanan.

Negara Bangsa di Atas Kertas, Luka di Atas Tanah

HUT RI ke-80 seharusnya bukan sekadar perayaan, tapi peringatan. Bangsa ini tidak akan kuat hanya dengan simbol dan seremoni. 

Kita butuh keberanian moral. Kita butuh negara yang hadir bukan hanya di atas kertas, tapi juga di tengah luka rakyatnya.

Ada jurang yang tak terjembatani, antara impian dan realitas. Meski konstitusi menjamin kebebasan beragama, praktik di lapangan sering kali menunjukkan ketimpangan. 

Negara tampak ideal dalam dokumen, tetapi tidak hadir secara konkret saat warga minoritas mengalami diskriminasi, intimidasi, atau kekerasan. 

Betapa paradoksal: di negeri yang katanya menjamin kebebasan beragama, sebagian warganya justru harus menyembunyikan doa.

Respons Moral atas Luka Intoleransi

Ketika aksi intoleransi yang menyasar Umat Kristen di berbagai daerah diviralkan, para elit tampil ke publik dengan seruan moral. 

Menteri Agama, Nasaruddin Umar mengajak jajaran Kementerian Agama untuk mengedepankan Kurikulum Cinta sebagai strategi utama dalam menyelesaikan kasus intoleransi.  

Para tokoh lintas agama dan lintas iman berkumpul di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), meminta pemerintah dan aparatnya untuk benar-benar tegas menindak para pelaku intoleran. 

Nasaruddin Umar menegaskan, kasus-kasus intoleransi, tidak bisa diselesaikan di sektor hilirnya saja tapi di sektor hulunya harus lebih disentuh dengan  pendekatan Kurikulum Cinta (Media Indonesia, 30/7/2025 07:33). 

Kurikulum berbasis cinta bertujuan untuk menanamkan spiritualitas cinta sebagai fondasi pendidikan karakter dan toleransi. 

Kurikulum tersebut akan menjadi rahim yang melahirkan generasi muda yang mencintai Tuhan (hablum minallah), mencintai sesama manusia (hablum minannas), dan mencintai alam (hablum minal alam). 

Kurikulum ini bukan hanya solusi teknis, tetapi juga jawaban moral dan spiritual atas krisis kebangsaan yang kehilangan keberanian, empati, dan keadilan. 

Ia mengajak kita untuk melihat pendidikan bukan sebagai alat kontrol, tetapi sebagai ruang pembentukan jiwa yang merdeka dan manusiawi.

Para tokoh agama, sebagaimana diberitakan kitakatolik.com, Rabu (06/08/2025) merespons kasus-kasus intoleransi dengan kelima poin seruan moral: 

(1) Kebebasan beragama dan beribadah adalah hak konstitusional yang dijamin pasal 28E dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. 

(2) Negara wajib hadir dan bertindak tegas mencegah kejadian serupa di masa depan. 

(3) Aparat hukum dan keamanan diminta menindak pelaku kekerasan dan perusakan tempat ibadah. 

(4) Pemerintah Pusat dan Daerah diminta bekerja sama dengan FKUB dan masyarakat dalam menjaga toleransi dan menjamin rumah ibadah sebagai tempat damai.  

(5) Tokoh agama diminta untuk mengajak umat agar menjaga kerukunan dan tidak mudah terprovokasi oleh hasutan yang memecah belah.

Saat Dunia Memberi Teladan

Alih-alih mengglorifikasi penyataan Bung Karno, “bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka”, saya justru mengatakan, bangsa merdeka tidak anti belajar. 

Kita perlu belajar dari dunia untuk menolak intoleransi dan merawat kebangsaan. Pertama, resolusi HAM PBB 16/18 (2011). 

Di dalam resolusi tersebut PBB menyerukan empat poin yang bisa dijadikan tonggak penting dalam memerangi intoleransi berbasis agama. 

PBB menyerukan negara-negara untuk (1) menindak tegas pelaku kekerasan berbasis agama, (2) melindungi tempat ibadah, (3) mendorong pendidikan toleransi, dan (4) membangun mekanisme hukum dan sosial untuk mencegah diskriminasi. 

Belanda adalah salah satu negara yang aktif dalam menindaklanjuti resolusi HAM PBB 16/18. 

Pemerintah Belanda telah mengambil langkah konkret dalam menindak intoleransi dan diskriminasi berbasis agama, termasuk: (1) Menetapkan koordinator nasional untuk melawan diskriminasi dan intoleransi. 

Koordinator ini bertugas mendorong regulasi yang lebih adil, termasuk meninjau aturan terkait hijab dan pendanaan masjid yang sebelumnya dikaitkan dengan isu terorisme. 

(2) Membentuk komisi khusus atas permintaan parlemen nasional. Pada Mei 2022, Belanda membentuk komisi nasional yang bertugas menyelidiki akar dan penyebab insiden diskriminasi, kekerasan, dan intoleransi. 

Komisi ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk memahami dan mengatasi intoleransi secara struktural. 

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Belanda tidak hanya mengandalkan retorika, tetapi juga membangun mekanisme hukum dan sosial yang konkret untuk melawan intoleransi.

Kedua, Amerika Serikat (AS). Di AS, kejahatan berbasis kebencian terhadap agama, ras, atau orientasi seksual dikenakan hukuman pidana yang berat. 

Melalui Hate Crime Statistics Act (1990) dan perluasan undang-undang pada 2009, pelaku kejahatan karena bias agama dapat dikenakan: 

(1) Penjara jangka panjang, (2) pengawasan federal, dan (3) pencatatan permanen sebagai pelaku kejahatan kebencian. 

Indonesia dapat belajar dari resolusi global untuk solusi lokal. Adapun caranya: (1) Merevisi regulasi yang mempersulit pendirian rumah ibadah; 

(2) menetapkan UU Kebebasan Beragama yang menjamin perlindungan aktif; (3) mengkriminalisasi tindakan intoleransi sebagai kejahatan kebencian; 

(4) membangun sistem pemulihan korban, terutama perempuan dan anak-anak; dan (5) mengintegrasikan pendidikan toleransi dalam kurikulum nasional. 

Kalau kita benar-benar cinta Indonesia, maka kita harus berani untuk 

(1) menolak intoleransi, sekecil apa pun bentuknya. 

(2) Mendorong pendidikan yang membentuk manusia, bukan hanya hafalan. 

(3) Menegakkan hukum yang adil, bukan hukum yang tunduk pada mayoritas. 

(4) Belajar dari dunia, tanpa kehilangan jati diri. 

Romo Franz Magnis Suseno dalam berbagai kesempatan menegaskan, “Negara Republik Indonesia harus intoleran terhadap intoleransi, dan secara konsisten mereka yang mau merusak toleransi kita, tidak boleh ditoleransi”.

Akhirul Kalam

Merdeka bukan sekadar bebas dari penjajahan, tapi keberanian untuk menjamin hak setiap warga, tanpa takut pada perbedaan, dan juga bebas untuk hidup sebagai manusia yang utuh. 

Siapa pun harus dihargai, dilindungi, dan didengarkan. Jika Pancasila terus diucapkan namun tak dihidupi, maka kita hanya merayakan kemerdekaan di bibir, sementara luka-luka intoleransi terus menganga di jalanan. 

Mari rayakan HUT RI ke-80, bukan dengan euforia kosong, tetapi dengan hasrat yang kuat untuk mewujudkan “Indonesia Maju” yang bersatu dan berdaulat, untuk rakyat sejahtera. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini