Oleh: Petrus Redy Partus Jaya
Dosen Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng
Peneliti Bidang Evaluasi Pendidikan
Asesor BAN PDM Provinsi Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Di suatu pagi yang biasa, seorang guru taman kanak-kanak mengeluh bahwa anak-anak muridnya lebih mengenal tokoh-tokoh dari YouTube ketimbang lingkungan sekitar mereka.
“Dulu anak-anak menggambar pohon, rumah, atau keluarga. Sekarang banyak yang menggambar karakter game atau ikon YouTube,” katanya lirih.
Bagi sebagian besar orang dewasa, ini hanyalah perubahan zaman. Tapi jika diamati lebih dalam, kita sedang menyaksikan proses yang jauh lebih kompleks, yaitu terjadinya pergeseran arah pembentukan imajinasi anak yang tidak lagi dituntun oleh lingkungan atau pendidikan, melainkan oleh algoritma yang bekerja di balik layar gawai mereka.
Kita tidak lagi hanya menghadapi tantangan klasik seperti ketimpangan akses pendidikan, kurikulum yang usang, atau kualitas guru.
Kini, kita berhadapan dengan sebuah kekuatan baru yang lebih senyap namun amat memengaruhi: logika algoritma yang mendikte apa yang dilihat, dibaca, dan diimpikan oleh anak-anak kita.
Jika merdeka belajar dimaknai sebagai upaya membebaskan murid untuk tumbuh sesuai potensi mereka, maka kita perlu bertanya: masihkah mereka benar-benar merdeka ketika jalur pengetahuan mereka dikurasi oleh platform digital?
Kolonialisme Baru dalam Dunia Pendidikan
Pendidikan Indonesia, khususnya pascareformasi, telah banyak melakukan pembaruan.
Namun di tengah semangat merdeka belajar dan transformasi digital, kita justru menyaksikan bentuk kolonialisme baru yang lebih halus, kolonialisme algoritma.
Ini bukan penjajahan oleh bangsa asing, melainkan oleh sistem teknologi yang membentuk perilaku, preferensi, bahkan kesadaran kita tanpa kita sadari.
Sosiolog dan pemikir kontemporer seperti Yuval Noah Harari telah mengingatkan bahwa data adalah sumber kekuasaan baru abad ini. Siapa yang menguasai data, ia bisa memetakan masa depan manusia.
Dalam konteks pendidikan, ini berarti proses belajar tidak lagi hanya di ruang kelas, tetapi juga di ruang-ruang digital yang tak terlihat.
Sumber belajar bukan hanya guru dan buku, melainkan juga YouTube, TikTok, dan mesin pencari yang bekerja di balik layar untuk menyuguhkan “konten yang relevan”, relevan menurut algoritma, bukan menurut kebutuhan atau nilai-nilai pendidikan.
Model seperti ini menciptakan kondisi di mana peserta didik dan bahkan pendidik mulai menjadi konsumen dari informasi-informasi yang dikurasi oleh kepentingan platform teknologi global.