(4) membangun sistem pemulihan korban, terutama perempuan dan anak-anak; dan (5) mengintegrasikan pendidikan toleransi dalam kurikulum nasional.
Kalau kita benar-benar cinta Indonesia, maka kita harus berani untuk
(1) menolak intoleransi, sekecil apa pun bentuknya.
(2) Mendorong pendidikan yang membentuk manusia, bukan hanya hafalan.
(3) Menegakkan hukum yang adil, bukan hukum yang tunduk pada mayoritas.
(4) Belajar dari dunia, tanpa kehilangan jati diri.
Romo Franz Magnis Suseno dalam berbagai kesempatan menegaskan, “Negara Republik Indonesia harus intoleran terhadap intoleransi, dan secara konsisten mereka yang mau merusak toleransi kita, tidak boleh ditoleransi”.
Akhirul Kalam
Merdeka bukan sekadar bebas dari penjajahan, tapi keberanian untuk menjamin hak setiap warga, tanpa takut pada perbedaan, dan juga bebas untuk hidup sebagai manusia yang utuh.
Siapa pun harus dihargai, dilindungi, dan didengarkan. Jika Pancasila terus diucapkan namun tak dihidupi, maka kita hanya merayakan kemerdekaan di bibir, sementara luka-luka intoleransi terus menganga di jalanan.
Mari rayakan HUT RI ke-80, bukan dengan euforia kosong, tetapi dengan hasrat yang kuat untuk mewujudkan “Indonesia Maju” yang bersatu dan berdaulat, untuk rakyat sejahtera. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News