Liputan Khusus

LIPSUS: Ombudsman NTT Temukan Pungli  Pengiriman Sapi dari Kupang, TTS, dan TTU

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KARANTINA HEWAN - Ternak sapi saat berada di instalasi milik Balai Karantina Pertanian NTT di Kecamatan Alak, Kota Kupang.

POS-KUPANG.COM, KUPANG  - Ombudsman Perwakilan NTT mengungkap adanya dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam proses pengurusan rekomendasi pengiriman sapi di sejumlah kabupaten di NTT. 

Praktik ini disebut sudah berlangsung selama hampir lima tahun terakhir dan masih terus terjadi hingga saat ini.
Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, menyebut dugaan fee atau pungutan ini paling banyak dilaporkan terjadi di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Timor Tengah Utara (TTU). Ketiga kabupaten tersebut diketahui merupakan daerah dengan kuota pengiriman sapi terbanyak di NTT.

"Informasi dugaan fee itu disampaikan kepada kami bukan baru sekarang, tapi sudah berlangsung hampir lima tahun terakhir. Informasi itu hampir kami terima dari semua kabupaten, terutama di Kabupaten Kupang, TTS, dan baru-baru ini dari TTU," ujar Darius, Selasa (15/4/2025).

Baca juga: Jalan Putus di Adonara Buka Peluang Pungli, Biaya Lewat Tembus Rp 40.000

Ia menjelaskan, proses pengiriman sapi dari daerah harus melalui rekomendasi dari Dinas Peternakan di masing-masing kabupaten. Pengusaha sapi wajib mengajukan permohonan rekomendasi sesuai jumlah hewan yang akan dikirimkan.

Namun, sebelum rekomendasi disetujui, Dinas Peternakan akan menurunkan tim teknis untuk memeriksa kesehatan dan menimbang bobot sapi. Pada saat inilah, lanjut Darius menurut laporan yang diterima Ombudsman dari sejumlah pengusaha, dugaan pungutan liar kerap terjadi.
"Dugaan fee itu muncul saat tim teknis turun periksa kandang, karena satu kali tim teknis turun, anggarannya sebesar Rp 2-3 juta. Anggaran ini di luar tarif resmi atau biaya kesehatan yang disetor ke pemerintah daerah," jelas Darius.

Baca juga: Ombudsman NTT Minta Satgas Saber Pungli Lebih Tegas dalam Penindakan

Masalah ini juga sempat terungkap dalam pertemuan Ombudsman bersama Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT pada Jumat 11 April 2025. Pada pertemuan itu, Darius menilai praktik tersebut membuka ruang penyimpangan yang merugikan peternak kecil dan mencederai prinsip keadilan dalam distribusi kuota.

Dalam pertemuan itu pun, Darius mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima banyak laporan terkait ketidakadilan pembagian kuota pengiriman sapi oleh Dinas Peternakan di sejumlah kabupaten, seperti Kabupaten Kupang, TTS, dan TTU.

DARIUS BEDA DATON - Darius Beda Daton, Kepala Ombudsman NTT. (POS-KUPANG.COM/NOVEMY LEO)

"Tidak adanya formula yang jelas dalam pembagian kuota membuka celah praktik fee dan monopoli. Bahkan muncul istilah ‘rekomendasi bodong’ di kalangan pengusaha," ungkap Darius.

Menurut temuan Ombudsman, terdapat dugaan pemberian fee sebesar Rp 25.000 hingga Rp 150.000 per ekor sapi kepada pihak pemberi rekomendasi. Selain itu, petugas teknis yang bertugas melakukan pemeriksaan kesehatan dan timbang hewan di kandang juga disebut menerima bayaran antara Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per lokasi.

"Fee ini diduga sebagai bentuk 'uang pelicin' untuk meloloskan sapi yang belum memenuhi kriteria, seperti berat badan minimal 275 kilogram sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor 52 Tahun 2003," jelasnya.
Lebih miris lagi, Darius menyebut adanya praktik jual beli rekomendasi, di mana pemegang rekomendasi yang tidak memiliki sapi menjual surat tersebut kepada pengusaha lain yang memiliki sapi dengan tarif tertentu.
"Ini jelas menyalahi aturan dan menjadi bentuk praktik percaloan yang dilegalkan secara tidak langsung," tegasnya.

Baca juga: Soal Buntut Pungli, Anggota DPRD NTT Minta Syahbandar Dievaluasi

Ombudsman juga mencatat lemahnya sistem verifikasi dan pengawasan, seperti tidak adanya eartag (penandaan) pada sapi yang sudah diperiksa, sehingga memungkinkan satu ekor sapi digunakan untuk mengajukan rekomendasi di lebih dari satu kabupaten.

Menindaklanjuti laporan tersebut, Darius bersama tim melakukan inspeksi mendadak ke Balai Karantina Tenau pada Senin, 14 April 2025 untuk melakukan uji petik berat sapi. Hasilnya, kata Darius sebagian besar sapi yang akan dikirim tidak memenuhi standar berat minimum, hanya berkisar antara 225-260 kilogram per ekor.
"Ini bukti bahwa informasi yang kami terima valid, dan dugaan praktik fee untuk ‘meloloskan’ sapi-sapi ringan memang nyata terjadi," tegasnya.

Baca juga: LIPSUS: Dokter Anastesi Mengaku Bingung Dikaitkkan dengan Kematian Ibu dan Anak di Sikka

Ombudsman mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di NTT untuk segera memperbaiki regulasi dan sistem pengawasan tata niaga sapi, termasuk pembentukan holding ground serta penerapan sistem digital berbasis eartag agar lebih transparan dan akuntabel.

Proses Hukum

Kepala Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Yohanes Oktavianus menjamin tidak ada pungutan liar dalam pengiriman ternak dari NTT.

"Saya baru dengar ini ada fee. Kalau ada di proses hukum aja. Nda ada fee-fee itu. Saya sudah tegaskan nda ada fee-fee itu. Kami pertemuan dengan teman-teman pengusaha semua itu nda pernah singgung itu barang. Di DPRD juga nda ada. Saya marah betul kalau ada, saya larang itu," kata Oktavianus, Selasa (15/4) lewat sambungan telepon. 

Dia menjelaskan, Dinas Peternakan Provinsi NTT hanya mengeluarkan rekomendasi. Sementara urusan pemeriksaan ternak dilakukan Dinas Peternakan tiap daerah. Pengusaha juga wajib melakukan pemeriksaan kesehatan ternak di laboratorium yang ditentukan. 

Baca juga: LIPSUS: Tidak Ada Dokter Anastesi  Ibu dan Anak Meninggal  di IGD Tc Hilers Maumere 


Dinas Peternakan tiap daerah akan melihat bobot hingga eartag. Data yang diajukan dari peternak dan dinas peternakan di daerah yang masuk akan dilihat oleh Dinas Peternakan Provinsi, termasuk melihat kuota yang ada. 

Setelah rekomendasi dikeluarkan yang ditujukan ke Dinas Perizinan, selanjutnya izin pengiriman dikeluarkan Dinas Perizinan dan diberikan ke peternak. "Ketika itu semua terinput sesuai hasil pemeriksaan kami klik saja, tidak ada satu rupiah pun. Apalagi fee itu. Nda boleh ada di provinsi," kata dia. 

Oktavianus menegaskan, pengusaha agar mengikuti segala aturan dan syarat yang ada. Dia mendorong para pengusaha yang merasakan kejadian demikian untuk melapor ke Dinas Peternakan Provinsi NTT. 
"Kami jamin di provinsi semaksimal mungkin kami tidak menerima yang disebut fee itu. Kalau ada lapor aja ke provinsi," tegas dia. 

Secara keseluruhan, menurut Oktavianus, alokasi pengiriman ternak dari NTT tahun 2025 sebanyak 57.604 ekor. Rinciannya adalah sapi 49.716 ekor, kerbau 3.807 ekor dan kuda 4.081 ekor. (rey/fan)

Dukung Bentuk Satgas 

Himpunan Pengusaha Peternakan Sapi Kupang (HP2SK) NTT angkat bicara terkait dugaan adanya praktik tidak sehat dalam proses pengiriman sapi antar daerah. 

Ketua HP2SK NTT, Tono Sufari Sutami, melalui Ketua Bidang Organisasi, Livingston Ratu Kadja, mengungkapkan, sejumlah persoalan penting yang telah dibahas bersama Ombudsman NTT, termasuk dugaan adanya fee atau pungutan liar dalam proses pengeluaran rekomendasi pengiriman sapi.

Menurut Livingston, salah satu fokus perhatian adalah pelaksanaan Peraturan Gubernur NTT Nomor 52 yang mengatur bobot minimal sapi yang boleh dikirim. 

TONO SUFARI SUTAMI - Ketua HP2SK NTT, Tono Sufari Sutami. (POS-KUPANG.COM/ISTIMEWA)


Ia menyebutkan, temuan Ombudsman terkait adanya dugaan fee kepada pemberi rekomendasi pengiriman sapi dengan nilai berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 250.000 per ekor, menjadi indikasi kuat bahwa terjadi pelanggaran.

"Berbicara tentang dugaan fee pengiriman sapi memang sulit untuk dibuktikan. Namun pada intinya, kalau sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pergub Nomor 52 bisa lolos, berarti ada sesuatu yang tidak beres. Jadi indikasi fee itu ada," ujar Livingston kepada Pos Kupang, Selasa (15/4).

Ia menambahkan, sebagai organisasi yang membawahi sekitar 30 perusahaan, HP2SK selalu mengikuti mekanisme resmi yang berlaku. Pada tahun 2024 lalu, HP2SK bahkan memutuskan untuk tidak mengambil rekomendasi pengiriman sapi karena proses penimbangan yang sangat ketat.
"Ketika perusahaan ingin melakukan penimbangan, pengecekan berat, dan lainnya, kurang satu kilo saja langsung ditolak," jelasnya.

Baca juga: LIPSUS: Gubernur Melki Menangis, Ribuan Umat Hadiri Pemakaman Uskup Petrus Turang

HP2SK, lanjut Livingston, menyatakan komitmennya untuk mendukung pemerintah, termasuk mendukung pembentukan Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk Bupati dan Wakil Bupati Kupang. 
Ia menilai langkah tersebut penting untuk memastikan tidak ada lagi praktik penyimpangan dalam tata niaga sapi. 

"Langkah Ombudsman dalam menemukan banyak kejanggalan, termasuk soal fee pengiriman ini, sangat membantu kami. Kami akan mencari benang kusutnya dan siap berkolaborasi dengan Ombudsman dalam mengurai persoalan ini," tegasnya.
Ia juga mengajak seluruh pelaku usaha peternakan di NTT untuk mendukung tata kelola ternak yang lebih bersih, transparan, dan adil, demi keberlanjutan sektor peternakan dan kesejahteraan para peternak lokal. (rey)


Kuota ternak sapi kabupaten/kota 

1. Kota Kupang: 160 ekor
* Sapi: 160 ekor
* Kerbau: 0 ekor
* Kuda: 0 ekor

2. Kabupaten Kupang: 11.349 ekor
* Sapi : 11.200 ekor
* Kerbau: 49 ekor
* Kuda: 100 ekor

3. TTS : 12.000 ekor 
* Sapi: 12.000 ekor
* Kerbau : 0 ekor
* Kuda: 0 ekor

4. TTU: 7.680 ekor
* Sapi: 7.680 ekor
* Kerbau: 0 ekor
* Kuda: 0 ekor

5. Belu: 3.671 ekor
* Sapi: 3.600 ekor
* Kerbau: 38 ekor
* Kuda: 33 ekor

6. Malaka: 4.428 ekor
* Sapi: 4.400 ekor
* Kerbau: 12 ekor
* Kuda: 16 ekor

7. Rote Ndao: 2.950 ekor 
* Sapi: 2.800 ekor 
* Kerbau: 100 ekor
* Kuda: 50 ekor

8. Lembata: 70 ekor
* Sapi: 40 ekor
* Kerbau: 0 ekor
* Kuda: 30 ekor 

9. Sikka: 263 ekor
* Sapi: 120 ekor
* Kerbau: 50 ekor
* Kuda: 93 ekor

10. Ende: 1.056 ekor
* Sapi: 960 ekor
* Kerbau: 66 ekor
* Kuda: 30 ekor

11. Nagekeo: 2.521 ekor
* Sapi: 2.080 ekor
* Kerbau: 341 ekor
* Kuda: 100 ekor

12. Ngada: 2.535 ekor
* Sapi: 2.000 ekor
* Kerbau: 435 ekor
* Kuda: 100 ekor

13. Manggarai: 1.324 ekor
* Sapi: 1.040 ekor
* Kerbau: 271 ekor
* Kuda: 13 ekor 

14. Manggarai Barat: 1.306 ekor
* Sapi: 576 ekor
* Kerbau: 720 ekor
* Kuda: 10 ekor

15. Sumba Timur: 4.550 ekor
* Sapi: 800 ekor
* Kerbau: 1.000 ekor
* Kuda: 2.750 ekor

16. Sumba Barat: 163 ekor
* Sapi: 0 ekor
* Kerbau: 0 ekor
* Kuda: 163 ekor

17. Sumba Barat Daya: 293 ekor
* Sapi: 0 ekor
* Kerbau: 0 ekor
* Kuda: 293 ekor

18. Sumba Tengah: 150 ekor
* Sapi: 20 ekor
* Kerbau: 30 ekor
* Kuda: 100 ekor

19. Sabu Raijua:  1.135 ekor
* Sapi: 240 ekor
* Kerbau: 695 ekor
* Kuda: 200 ekor.

SUMBER : Keputusan Gubernur nomor 22/KEP/HK/2025 

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS

Berita Terkini