Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Charles Abar
POS-KUPANG.COM, BAJAWA - Keuskupan Agung Ende (KAE) melalui tim Advokasi eksplorasi PLTP Mataloko, Romo Reginald Piperno Begho, menyampaikan beberapa poin hasil investigasi proyek Geotermal Mataloko bersama ahli dari Universitas Trisakti Jakarta.
Hal itu disampaikan Ketua JPIC Keuskupan Agung Ende itu saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Kabupaten Ngada pada Rabu (5/3/2025) di Ruang Paripurna DPRD Ngada.
RDP ini dihadiri berbagai elemen masyarakat, pihak pemerintah desa di sekitar wilayah eksplorasi, Perwakilan Keuskupan Agung Ende, Pemerintah Kabupaten Ngada, termasuk pihak terkait PLN.
Romo Reginald mengatakan, dasi sisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) menurut penemuan JPIC Keuskupan Agung Ende bersama tim ahli ditemukan tidak diproses secara Ilmiah. Bahkan mereka menduga, kajian Amdal yang dipakai dalam mengeksplorasi PLTP Mataloko merupakan copy paste dari wilayah lain, bukan dari Ngada.
Baca juga: Anggota DPR RI Ahmad Yohan Dorong Penguatan Pengawasan Karantina di Perbatasan NTT
Dugaan itu kata Romo Reginald dikuatkan dengan minimnya peran serta publik atau masyarakat yang ikut serta dalam persetujuan Amdal.
Padahal kata Dia, lahan yang terdampak dari proyek yang dilabeli proyek strategis Nasional ini mencapai 900 hektar lebih. Wilayah terdampak didiami 1.000 lebih Kepala Keluarga (KK) , dua kecamatan dan 12 Desa yang terdampak
Namun dalam kajian Amdal itu yang JPIC peroleh, warga yang menandatangani persetujuan publik hanya 30 orang.
Menurut Romo Reginald hal ini menjadi perhatian penting termasuk Pemerintah Kabupaten dan DPRD Ngada.
“Dari Amdal yang ada wilayah Kerja eksploitasi PLN di PLTP Mataloko mencakup 900 hektare lebih. Jumlah KK 1.000 lebih dengan dampaknya ada dua Kecamatan dan hampir 12 Desa. Tapi yang menandatangani persetujuan publik hanya 30 orang ini menjadi catatan penting untuk kita pahami bersama, “ ungkap Romo Reginald, saat gelar RDP dengan DPRD Ngada.
Romo Reginald menduga, kajian AMDAL yang digunakan dalam proyek ini hanya copy paste dari wilayah lain.
“Dari hasil kajian kami dari Amdal yang ada, dugaan kuat dari kami bahwa Amdal ini hanya kopi paste bukan dari sebuah kajian, dan itu bukan di wilayah Ngada, “ aku Romo Reginald.
Berdasarkan investigasi lapangan oleh JPIC Keuskupan Agung Ende bersama ahli dari Universitas Trisakti Jakarta mengatakan bahkan proyek Geotermal Mataloko merupakan proyek gagal.
Hal itu kata Romo Reginald berdasarkan kajian bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI pernah melakukan hal yang sama tetapi gagal.
Dalam kajian itu, beberapa alasan proyek ini dikatakan gagal karena hasil eksplorasi Kementerian ESDM hanya meninggalkan semburan-semburan lumpur.
Secara Ilmiah kata Romo Reginald sudah gagal, baik karena keliru dalam pemboran hingga meninggalkan lubang semburan lumpur atau memang karena ada dampak lain.
“Secara ilmiah itu karena keliru dalam proses pemboran dan itu sangat berdampak sangat fatal terhadap masyarakat, “ kata Romo Reginald.
Lalu fakta lain yang ditemukan bahwa 85 persen lahan yang menjadi target eksplorasi menjadi ketergantungan pertanian bagi masyarakat.
Lebih lanjut Romo Reginald sampaikan, proyek ini membutuhkan pasokan air yang banyak. Berdasarkan kajian Ia mengatakan, dalam satu menit proses pemboran membutuhkan 17.000 liter air.
Hal itu kata Romo Reginald akan berdampak serius bagi masyarakat sekitar baik pertanian maupun konsumsi rumah tangga.
“Dalam satu menit pemboran membutuhkan 17 ribu liter itu dalam satu menit ,” sebut Romo Reginald, berdasarkan kajian yang tim JPIC lakukan.
Mengakhiri pandangannya, Ia menyebut dalam kajian itu Gas bumi di Mataloko bersifat sangat aktif sehingga akan berdampak serius bagi masyarakat jika radius pemukiman dengan sumur bor kurang dari 3 Km.
Namun, jika melihat kondisi PLTP Mataloko kata Dia, jarak menuju desa Wogo kurang lebih 500 meter. Sedangkan jarak dari Kemah Tabor 1,6 km.
“Dengan demikian secara Ilmiah dengan gas yang begitu kuat akan sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat, “ kata Romo Reginald.
Adapun Agenda RDP dengan DPRD Kabupaten Ngada ini dipimpin oleh Wakil Ketua I DPRD Ngada Rudi Wogo, didampingi oleh Ketua DPRD Ngada Romi Juji.
Sebagian besar anggota DPRD Ngada hadir menyampaikan pandangan terkait pembangunan proyek energi hijau tersebut.
Sain Songkares, anggota DPRD Ngada dari Fraksi Golkar dalam pandangannya meminta DPRD, pemerintah dan pihak terkait untuk mengecek ulang proses perizinan pembangunan proyek itu.
Legislator muda asal Riung Barat itu meminta pihak PLN membuka diri untuk membahas hal itu secara terbuka dan transparan.
Sain mengatakan, persoalan proyek geotermal Mataloko bukanlah hal yang baru. Sudah 20 tahun proyek ini mulai di eksplorasi tapi hanya menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Sain juga membandingkan dengan PLTP Sukoria Ende dengan dua sumur sudah bisa menghasilkan listrik. Tetapi sejak tahun 1999 Mataloko hanya menghasilkan semburan lumpur.
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dengan kajian yang dilakukan oleh Universitas Trisakti Jakarta, Sain merekomendasikan agar proyek ini untuk diaudit secara menyeluruh
“Saya mengajukan satu rekomendasi kalau bisa teman-teman PLN dan pemerintah berani untuk membuat audit dan evaluasi secara luas, secara mendalam terkait urusan geotermal di Mataloko. Bukan hanya administrasi, tetapi juga evaluasi seluruh ketetapan yang sudah terjadi , “ kata Sain.
Sain berharap RDP berikutnya menghadirkan pimpinan yang bisa mengambil kebijakan sehingga bisa melahirkan rekomendasi agar menjadi pijakan dalam pembangunan PLTP Mataloko.
“Hari ini saya rasa luar biasa tidak perlu menimbulkan ketersinggungan , bapa ibu PLN tidak perlu gugup untuk hadir disini bapa ibu yang mengerti pembangunan geotermal tidak perlu ragu menyampaikan pendapat, “ tutup Sain.
Rapat dengan pendapat ini ditutup oleh Wakil Ketua DPRD Ngada Rudi Wogo dan akan dijadwalkan RDP lanjutan.
Sementara masukan-masukan dari semua elemen akan diserahkan kepada pihak PLN untuk kemudian bahas dalam agenda RDP berikutnya.(Cr2).
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS