Berita Manggarai Barat

Kenaikan PPN 12 Persen, Ronsi Daur Minta Prabowo-Gibran Evaluasi Kembali

Penulis: Engelbertus Aprianus
Editor: Rosalina Woso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Praktisi Perpajakan Ronsi B Daur. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Robert Ropo

POS-KUPANG.COM, RUTENG - Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2024 akan berdampak pada daya beli masyarakat menurun dan juga persoalan lainya, karena itu diminta kepada Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk mengevaluasi kembali.

Permintaan ini disampaikan oleh Praktisi Perpajakan Ronsi B Daur kepada POS-KUPANG.COM, Jumat 22 November 2024.

Ronsi menerangkan, kenaikan PPN sebesar 12 persen sebenarnya sudah diundangkan melalui UU No 7 Tahun 2021 (Bab 4 Pasal 7 ayat 1 huruf b), mengenai harmonisasi peraturan perpajakan yang bunyinya, (1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu (a) sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. (b) sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
 
"Basis penghitungan APBN 2025 salah satu landasan pijaknya adalah UU No 7 tersebut. Kita tidak menafikan bahwa UU tersebut telah berlaku sejak tanggal, 29 Oktober 2021, berdasarkan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Artinya suka tidak suka mau tidak mau harus dijalankan. Pertanyaannya kemudian, dengan melihat makro ekonomi yang tidak menentu, daya beli yang melemah apakah kita tetap kekeh menaikan PPN tersebut," ujarnya.

Baca juga: KPU Manggarai Barat Kekurangan 2.136 Lembar Surat Suara untuk Pilkada 2024

Karena itu, Ronsi juga menanggapi sejumlah poin terkait kenaikan PPN itu.

Pertama, berdasarkan Bab 4 Pasal 7 ayat 4 UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), dimungkinkan untuk melakukan revisi dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 7 ayat 4 UU tersebut berbunyi: Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan rancangan APBN. 

Ayat 3 nya berbunyi tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Ini adalah mekanisme Perubahan APBN.

Kedua, meskipun melalui mekanisme perubahan APBN terlalu rumit dan panjang, maka bisa melalui adjustment mechanism_ (mekanisme penyesuaian),  artinya Kementrian keuangan bisa menyesuaikan UU APBN yang telah di undangkan tentu berdasarkan konsultasi dan pertimbangan presiden. 

"Toh kita sudah berapa kali melakukan hal tersebut. Contohnya saat Pandemi Covid-19 tahun anggaran 2020," ujarnya. 

Maju Kena Mundur Kena

Menurut Ronsi, meskipun pemerintahan Prabowo-Gibran tidak segera mengatasi masalah ini, maka akan menjadi rumit dan runyam. 

Hal ini menurut Ronsi, pertama masyarakat tidak punya kemampuan (daya beli) yang cukup untuk sekarang. Kedua tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara rendah (korupsi, tidak transparan dll). 

Ketiga, pengangguran meningkat baik yang kelihatan maupun yang terselubung. Keempat, aktifitas UMKM baru mulai merangkak, akibat hantaman Pandemi Covid-19.

Kelima, terjadi konflik beberapa negara yang mempengaruhi ekonomi nasional. Ke-enam, suku bunga perbankan yang masih relatif tinggi. Dan ketujuh, ketidakstabilan politik global pasca terpilihnya presiden AS.

"Sekecil apapun kenaikan PPN sangat berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat, yang ikutannya akan menurunkan jumlah PDB (Produk Domestik Bruto).

Halaman
12

Berita Terkini