Gaya kepemimpinan “homo homini lupus” diperagakan dengan amat sangar.
Krisis pemimpin/kepemimpinan yang mengakibatkan indeks persepsi keadilan (IPK) yang rendah adalah sebuah antithesis yang dihadapmukakan kepada Allah.
Selanjutnya adalah terdengar rintihan orang-kaum rentan. Rintihan kaum rentan ini pun dialamatkan kepada Allah.
Perlindungan Dan Keselamatan: Jawaban Allah
Kaum rentan memperdengarkan suara rintihannya dari jurang yang dalam kepada Allah. Allah menaruh telinga-Nya kepada permohonan mereka (bdk.Maz.130:1-2). Allah peduli kepada seruan kelompok rentan yang teramat “menghauskan” (“merindukan” keadilan) .
Jawaban Allah untuk rintihan kaum rentan adalah perlindungan dan keselamatan demi janji-Nya ( ayat 7-8). Bahwa Allah tidak memberikan harapan palsu kepada kaum rentan yang berseru kepada-Nya. Ini harapan/asa yang menghidupkan. Peng harapan yang menghidupkan adalah literasi iman.
Yewangoe dalam bukunya “Hidup dari Pengharapan” menulis demikian: “pengharapan adalah sebuah kata yang singkat dan hampir lalu dari perhatian kita, kendati demikian, kata ini amat berarti sebab kata ini memampukan seseorang melanjutkan kehidupan.
Kehidupan disini dan bukan tentang kehidupan di zaman yang akan datang saja (eskatologi), tetapi juga pengharapan akan kehiduan yang berkeadilan pada masa kini di sini sebagaimana yang dimaksudkan Molltmann tentang penghaparan untuk hidup kekinian sebagai persiapan menyongsong eskatologi .
Kaum rentan sebagai korban penindasan menaruh pengharapan kepada Allah yang hidup bahwa mereka akan dilindungi dari angkatan orang-orang fasik ini (ayat 8).
Rintihan(doa) kaum rentan kepada Allah memohon perlindungan dan keselamatan dilandaskan pada paling tidak dua premis yang berakar dalam sejarah Israel, yakni:
1. Allah tidak menyukai penindasan. Karena itu segala bentuk teriakan tentang penindasan mendapatkan respon positif dari Allah. Pada saat umat Israel berteriak kepada Allah tentang beratnya penindasan yang mereka alami pada masa pemerintahan Firaun di Mesir maka Allah mendengar mereka dengan mempersiapkan “eksodus” dengan perantaraan Musa (bdk. Kel.2:23-25).
Ingatan kepada keberpihakan Allah kepada kaum tertindas menumbuhkan pengharapan dari jurang yang amat dalam. Ingatan kepada kasih setia Allah menjadi sebuah efouria kontruktif bagi kaum rentan kala itu.
Mereka tidak berdiam diri dalam ketiadaan pengharapan, melainkan mereka bersuara karena mereka memiliki iman bahwa Allah yang tidak menyukai penindasan akan mendengarkan mereka.
2. Perlindungan pada masa kesesakan dan keselamatan dari penindasan adalah untuk membentuk suatu masyarakat yang membangun kehidupan bersama sebagai umat Allah (kahal Yahweh) yang diimbuh dengan imperatif mencintai Allah dan mencintai sesama manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam “Sepuluh Firman”.
Mereka tidak dimerdekakan untuk hidup tanpa tanggung jawab. Kebebasan mereka adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab iman kepada Allah yang membebaskan sebagai bentuk ketaatan dan ungkapan syukur yang terkonfirmasikan pada tanggungjawab sosial. Mereka dibebaskan untuk menghadirkan tesis baru sebagai bentuk resistensi terhadap penindasan di Mesir yang merupakan tesis lama (bdk. Kel.20:1-17).