Oleh: Pdt. Nope Hosiana Daik, M.Th
POS-KUPANG.COM - Secara sederhana, orang-orang saleh (para saleh) diartikan sebagai mereka yang taat beragama. Para saleh menjalani kehidupannya sesuai dengan ajaran agama yang berpedoman kepada kitab suci (dalam hal ini Alkitab).
Alkitab menyebutkan bahwa para saleh berarti mereka yang kesukaannya adalah firman/taurat Tuhan dan merenungkan itu siang dan malam.
Hasil renungan menjadi rujukan/referensi bagi segala bentuk laku hidupnya dengan berbagai konsekuensi baiknya (bnd. Mazmur 1:1-3).
Namun pada suatu waktu tertentu terjadi krisis para saleh di Israel. Yang dimaksudkan dengan krisis para saleh telah adalah bahwa tidak ada lagi para pemimpin yang berlaku sesuai kehendak Tuhan.
Betapa buruknya keadaan jika terjadi krisis pemimpin/kepemimpinan yang saleh dalam satu negeri.
Krisis orang-orang saleh dan rintihan kaum rentan:
Sebuah dampak Dalam Mazmur 12:1-9, penulis mengeluh tentang krisis/kelangkaan para di Israel dan dampaknya. Krisis pemimpin/kepeminpinan yang saleh di Israel ditunjukkan dengan adanya ‘indeks persepsi keadilan’ ( dapat disingkat IPK) yang sangat rendah yang mengasar orang-orang lemah dan kaum miskin (ayat 6).
Karena itu, keagungan makna keadilan sebagaimana diillustrasikan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Republik, bahwa menurut Cephalus seorng saudagar kaya, keuntungan besar dalam berdagang adalah jika tidak melakukan tindakan kebohongan dan kecurangan .
Ini hanyalah sebuah ilusi dalam lingkungan yang kehabisan para pemimpin yang saleh. Orang-orang lemah dan kaum miskin (kaum rentan) atau dalam sebutan Gayatri Spivak adalah kelompok subaltern dijadikan objek penindasan.
Penindasan menggambarkan bahwa kelompok rentan ditekan atau ditindih dengan berbagai beban yang berat sehingga mereka kesulitan untuk berdiri tegak, berjalan, berlari dan bahkan dapat kehabisan tenaga karena kesesakan.
Jika “objek sasar” telah terindentifikasi dengan jelas yaitu kaum rentan, maka penyasar adalah para pemimpin yang merupakan orang-orang kuat dalam sistem masyarakat Israel pada waktu itu.
Sebagai kaum elite. dengan kedudukan dan kuasa, para pemimpin bukannya tampil sebagai negarawan atau para ksatria yang melindungi rakyat (sebagaimana pandangan Aristoteles tentang arti kehadiran para kesatria sebagai pemimpin yang melindungi rakyat dalam polis), melainkan mereka tampil sebagai badut-badut kehidupan yang bertopeng kemunafikan yang menyakitkan .
Baca juga: BNN Provinsi NTT Musnahkan 523 Gram Narkotika Jenis Ganja
Para pemimpin Israel telah menjadi orang-orang yang gila kuasa dan main kuasa. Keberadaan mereka digambarkan sebagai orang-orang fasik yang kehadirannya senantiasa menebarkan kebusukan diantara anak-anak manusia (ayat 9).
Kurang lebihnya penindasan yang dilakukan oleh pemimpin Israel yang telah kehilangan kesalehannya dapat disebutkan dengan meminjam perkataan-perkataan dalam kitab Mikha, “bahwa mereka adalah pembenci kebaikan dan kebenaran.
Mereka merobek kulit dari tubuh bangsanya dan makan daging dari tulang-tulang bangsanya. Mereka meremukkan tulang-tulangnya dan mencincang seperti daging dalam kuali, sepertti potongan-potongan daging dalam belanga” (bdk. Mikha 3:2-3).
Para pemimpin telah berubah setia dari kehendak Allah dan memilih menjadi pemangsa bagi sesamanya.