Oleh: Pascal S Bin Saju
Wartawan senior asal Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Jika seri pertama menyelami bentangan alam Pulau Flores, kini mari menyentuh jiwanya.
Di sini, budaya bukan peninggalan mati, melainkan nafas hidup yang berdenyut dalam setiap helai tenun, hentakan tarian, ritual kampung adat, dan doa di gereja-gereja tua.
Flores adalah tempat kepercayaan purba dan iman Katolik menyatu dalam mosaik memesona, menciptakan tradisi yang tidak hanya dilihat, tetapi dirasakan dan dihayati dalam denyut nadi yang menyatukan leluhur, alam, dan iman.
Bagi petualang, ia transformasi jiwa; datanglah sebagai peziarah. Bagi investor, Flores adalah tawaran keuntungan berkelanjutan.
Kain Bercerita
Menyusuri Flores berarti membaca sejarah tertenun dengan benang-benang bermakna di seantero pulau.
Baca juga: Pulau Flores: Zamrud di Sabuk Biru Nusa Tenggara
Setiap motif bukan sekadar ornamen, melainkan alfabet spiritual—peta perjalanan leluhur dan doa yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di antara ombak Solor dan vulkanik Ile Ape, tenun Lamaholot (di Lembata dan Flores Timur) menyimpan kekuatan magis.
Motifnya menceritakan migrasi suku dan keperkasaan nelayan, berbeda dengan geometris Sikka atau heroisme Manggarai. Hasil tenun mereka adalah simbol dara pesisir dan keperkasaan para nelayan.
Di kampung tua pesisir selatan seperti Sikka Natar, menenun adalah ritual sakral.
Setiap benang kapas dipintal dengan doa; motifnya simbol perlindungan dan relasi manusia-alam. Warna alam membentuk geometri penuh makna.
Motif “batu hidup” (megalitik) dan “tulang manusia” (darah Bumi) berkembang dan dikembangkan di Desa Jopu dan Nggela. Warna merah tua mendalam, simbol darah bumi, menjadi pelindung magis.
Tenun menyatu dengan kosmos dihidupi di Rendubutewo dan Bena (Nagekeo/Ngada), di mana tenun bukan hanya untuk manusia.
Kain khusus menyelimuti bhaga dan ngadhu (batu leluhur). Menenun di sini adalah meditasi; benangnya "bernyanyi" tentang asal-usul.