Renungan Harian Kristen

Renungan Harian Kristen Selasa 16 Juli 2024, "Iman Kolektif yang Menggerakan"

Editor: Edi Hayong
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Renungan Harian Kristen Selasa 16 Juli 2024 oleh Pdt. Dina W. Dethan Penpada, M.Th

Oleh: Pdt. Dina W. Dethan Penpada, M.Th

POS-KUPANG.COM - Renungan Harian Kristen Selasa 16 Juli 2024, "Iman Kolektif yang Menggerakan" (Markus 2:1-12)

Dalam buku "Aristotle: Nicomachean Ethics", diterjemahkan oleh Roger Crisp dan diterbitkan oleh Cambridge University Press pada tahun 2014, berbicara tentang kebajikan komunal dan kerjasama dalam filsafat.

Kedua konsep ini menggambarkan bagaimana kebajikan tidak hanya tentang kebaikan pribadi tetapi juga bagaimana individu berkontribusi terhadap kebaikan bersama dalam komunitas mereka.

Sebelumnya di tahun 2012 Howord J Curzer menerbitkan bukunya (Oxford University Press) dengan judul "Aristotle and the Virtues", yang mengulas secara rinci tentang kebajikan-kebajikan individu yang diuraikan oleh Aristoteles serta implikasi komunalnya.

Apa yang dikatakan oleh Aristoteles tentang kebajikan dan kerjasama, bisa juga kita lihat dalam Injil Markus. Unsur Kerjasama Individu untuk kebaikan orang lain mendapatkan bentuknya yang lebih menarik dalam Injil Markus 2:1-12 yang menjadi bahan renungan ini.

Pada intinya mau menekankan bahwa iman individu yang menyatu menjadi iman kolektif yang mampu menggerakan untuk kesembuhan dan kebahagiaan orang lain.

Ada baiknya bapa, mama saudara-saudari semua perhatikan gambar-gambar tentang kisah Injil Markus 2:1-12. Tentu ada berbagai versi gambar, namun substansi pesan gambarnya selalu sama.

Dalam ilustrasi gambar di mana Yesus menyembuhkan orang yang sakit, kita melihat bagaimana usaha dari empat orang sehat menolong seorang lumpuh dengan cara menurunkannya dari atap rumah. Ini adalah sebuah tindakan yang berani bahkan tergolong nekad.

Ketika melihat gambar ini, saya membayangkan saat penguburan orang mati dan peti hendak diturunkan ke dalam lubang kubur. Tentu, hal ini membutuhkan kerjasama yang baik dan keseimbangan yang cukup dari para pemegang tali.

Kadang ketika menyaksikan keluarga menurunkan peti jenazah ke dalam lubang kubur, kaki saya tiba-tiba terasa kram karena tegang, saat membayangkan bagaimana jika tidak ada keseimbangan dan tiba-tiba peti jenazah jatuh.

Di ayat 3 bacaan kita, tidak diceritakan siapa empat orang ini dan bagaimana mereka bersepakat, tetapi kita hanya mendapat informasi bahwa ketika Yesus kembali ke Kapernaum dan berada di sebuah rumah, banyak orang berkumpul di sana untuk mendengarkan ajaran-Nya.

Baca juga: Renungan Harian Kristen Selasa 16 Juli 2024, Kita Semua Berkebutuhan Khusus

Tempat itu penuh sesak sehingga tidak ada ruang kosong, bahkan di depan pintu pun tidak ada tempat kosong. Melihat kondisi rumah yang tidak memungkinkan untuk masuk melalui pintu, maka empat orang ini membawa si lumpuh melalui atap rumah.

Dari segi sosiologi budaya, orang Yahudi memiliki posisi rumah yang unik. Ada tangga yang sudah menyatu dengan rumah sehingga memudahkan mereka, tetapi tetap membutuhkan keseimbangan.

Mereka menurunkan tempat tidur si lumpuh di depan Yesus. Mereka harus membuka atap rumah dan menjaga keseimbangan saat menurunkan orang lumpuh itu sehingga berhasil.

Menarik bahwa Yesus tidak memarahi empat orang ini atas perbuatan nekad mereka, yang bahkan bisa dikatakan cukup heroik. Di ayat 5, Yesus melihat tindakan mereka sebagai sebuah tindakan iman, sehingga dikatakan: “Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu, Hai anakku, dosamu sudah diampuni.”

Ucapan Yesus ini tidak berhubungan langsung dengan dosa sebagai penyebab kelumpuhan, seperti yang sering dipahami masyarakat pada umumnya.

Kalimat ini hendak menunjukkan bahwa Yesus bukan hanya pembuat mujizat, tetapi bahwa Yesus benar-benar Allah yang dapat mengampuni dosa dan hanya Allah yang dapat mengampuni dosa.

Ucapan itu sangat mengganggu ahli-ahli Taurat yang hadir, karena pernyataan Yesus tentang mengampuni dosa dianggap sebagai sebuah penghujatan terhadap Allah.

Kemarahan mereka disebabkan karena dalam Perjanjian Lama, orang yang mengaku dirinya Tuhan pasti dihukum mati karena hukum pertama mengatakan “hanya ada satu TUHAN.”

Mereka marah karena melihat cara Yesus bicara itu seperti memiliki otoritas sebagai Tuhan untuk mengampuni dosa.

Di ayat 8, Yesus segera mengetahui hati mereka sehingga Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu? Manakah lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan?” (ayat 8-9).

Dari pandangan ahli Taurat (dari sisi manusia), yang lebih susah tentu membuat mujizat, karena orang-orang Israel ini sudah pernah mendengar kalimat pengampunan dosa di Bait Allah setelah mereka mempersembahkan apa yang harus mereka lakukan, lalu imam bicara mewakili Tuhan bahwa dosamu sudah diampuni.

Baca juga: Renungan Harian Kristen Senin 15 Juli 2024, Kelayakan: Ukuran Allah!

Lagipula, dosa tidak bisa dibuktikan; bagaimana membuktikan dosa diampuni? Jadi yang lebih sulit bagi ahli-ahli Taurat tentu saja mujizat. Padahal, yang sesungguhnya lebih sulit adalah pengampunan dosa, karena untuk dosa kita diampuni, Yesus harus mati di kayu salib.

Setelah orang lumpuh itu dapat berjalan, mereka semua takjub lalu memuliakan Allah, katanya: "Yang begini belum pernah kita lihat" (ayat 11-12).

Yesus tidak hanya menyembuhkan si lumpuh itu, tetapi juga mengampuni dia, dan banyak orang memuliakan Allah.

Saudara-saudara yang terkasih dalam Yesus,

Dari kisah ini, kita dapat belajar beberapa hal penting:

Tidak ada manusia yang sanggup bertahan hidup dengan baik jika hanya sendirian. Kita sejak semula diciptakan sebagai makhluk sosial yang hidup dengan berinteraksi dengan sekitar kita. Yesus pun sangat mengerti akan hal ini.

Perhatikan ketika Yesus mengutus kedua belas rasul-Nya untuk melakukan tugas pelayanan. "Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua" (Markus 6:7a). Yesus tahu betul bahwa manusia punya keterbatasan dan tergolong lemah, sehingga jika mereka pergi berdua, ada satu yang akan menguatkan seandainya yang satu menjadi lemah.

Dari sini kita belajar tentang bagaimana saling menopang, sehingga yang lemah, yang sakit, yang berduka, yang berkekurangan, dapat menjadi kuat, terhibur, berkecukupan, dan melihat kasih Tuhan melalui pertolongan kita.

Pentingnya iman perorangan dan iman bersama. Dalam menjalani kehidupan rohani bersama, iman kolektif dapat menghasilkan banyak perkara besar. Jika kita dalam jemaat ini yang terdiri dari keluarga menyatukan iman kita seperti empat orang yang membawa orang lumpuh ini, maka tidak ada yang mustahil.

Kita tidak hanya bisa membangun satu gedung kebaktian, tetapi kita juga bisa membangun pastori dan membantu jemaat-jemaat GMIT lainnya menangani masalah 583 sekolah GMIT yang cukup memprihatinkan. Kita datang dengan iman kolektif, iman yang aktif, iman yang bergerak untuk perubahan.

Untuk mendukung pendidikan dan sekolah-sekolah GMIT, kita sudah mulai sejak minggu lalu dengan mengkhususkan satu tangguh kolekte untuk pendidikan. Bagi yang tergerak hati, bisa ambil bagian dengan cara yang lain.

Tapi kita mesti selalu letakkan dalam kerendahan hati karena persekutuan kita bukan tentang siapa yang hebat, tapi Tuhan. Karena empat orang dalam kisah penyembuhan si lumpuh ini, tidak disebut nama dan gelar mereka, tetapi tercatat iman mereka.

Baca juga: Renungan Harian Kristen Senin 15 Juli 2024, Pembebasan dari Penderitaan

Dan melalui mereka, nama Tuhan dimuliakan. Kadang nama kita, gelar, dan jabatan kita tidak disebutkan dalam pelayanan, tidak mengapa, asalkan tindakan-tindakan kita berdampak baik bagi orang lain dan Tuhan dimuliakan.

Makna Persekutuan atau Koinonia. Kata persekutuan atau koinonia bukan hanya menunjuk pada persekutuan antar sesama, seperti koperasi, arisan, atau perkumpulan-perkumpulan karena merasa senasib.

Persekutuan atau koinonia tidak hanya tentang persekutuan di antara sesama manusia (kita dengan kita), tetapi persekutuan itu terbentuk karena Tuhan, dan kita juga terikat dengan Tuhan.

Kita bersatu karena percaya/beriman pada satu Allah, satu baptisan, dan satu pengakuan percaya. Itu sebabnya semua bentuk perbedaan yang ada di tengah-tengah persekutuan kita sebagai jemaat harus dipandang sebagai anugerah Allah yang terindah dalam hidup untuk saling menolong, saling melengkapi sehingga kita dapat bergerak bersama untuk pembebasan, sesuai tema kita hari ini.

Dalam persekutuan, kita belajar makna kekompakan atau kerjasama tim yang baik. Kekompakan bukan tentang memiliki kemampuan yang sama, tetapi tentang memadukan kemampuan atau bakat-bakat berbeda yang bisa menjadi sesuatu yang luar biasa jika tersambung atau terhubung dengan orang-orang lain yang memiliki kemampuan berbeda untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu apa yang Tuhan mau bagi persekutuan kita.

Gagalnya orang percaya seringkali dikarenakan kita tidak berjalan ke arah tujuan yang sama. Empat orang yang menopang orang lumpuh itu berhasil, karena mereka bergerak ke arah yang sama sambil menjaga keseimbangan. Kita juga mesti berjalan ke arah yang sama, sambil terus menjaga keseimbangan, menghidupi tujuan yang sama.

Menjaga keseimbangan sangat penting, karena persekutuan kita sangat heterogen, tua muda, bergelar tidak bergelar, dll. Jangan hanya fokus pada kekurangan orang lain dan menganggap diri lebih baik.

Sebaliknya, kekurangan orang lain dilengkapi dengan kelebihan kita dan kekurangan kita dilengkapi oleh kelebihan orang lain.

Yakinlah bahwa kita bisa melakukan hal-hal yang luar biasa, karena Tuhan bilang, kita lebih dari pemenang.

Mari kita terus ingat, bahwa kekristenan tidak pernah berbicara tentang pribadi-pribadi yang mau terkenal dan menang sendiri, tertutup, diam, dan bersembunyi di balik kenyamanan urusan masing-masing.

Kekristenan adalah tentang menangkap dan menghidupi visi Tuhan, dan itu hanya dapat tercapai ketika setiap kita bahu-membahu bekerja sama, terlepas dari kemampuan apapun yang kita miliki. Tuhan berkati kita semua. Amin.(*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Berita Terkini