POS-KUPANG.COM, KUPANG - Sidang perkara perdata dengan penggugat PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) dan tergugat I Pemprov NTT dan tergugat II BUMD PT Flobamor, kembali berlanjut Selasa 12 September 2023.
Dalam sidang dengan agenda pembuktian yang digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang itu, pihak penggugat, PT SIM menghadirkan 14 bukti tambahan.
Tim kuasa hukum PT SIM, Shiddiq Surya Pratama, S.H., mengatakan, bukti-bukti tambahan yang dihadirkan dalam sidang berupa surat dan dokumen-dokumen yang menegaskan kerugian yang terjadi yakni biaya pembangunan kurang lebih Rp 25 miliar dan kehilangan potensi pendapatan sejak diputus hubungan kerja (PHK) tahun 2020 sampai tahun berakhirnya kontrak 25 tahun (tahun 2043) yang mencapai ratusan miliar.
Baca juga: Gugatan Perdata Sementara Proses, Jaksa Tetapkan Tersangka, Pengacara PT SIM Surati Kejaksaan Agung
Selain itu juga, laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman NTT yang menilai perkara harus diselesaikan di Pengadilan Negeri juga disertakan tim kuasa hukum PT SIM.
Tim kuasa hukum juga menemukan fakta jika Pemprov NTT menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2018 dalam menghitung kontribusi yang harus diserahkan.
Sementara perjanjian antara PT SIM dan Pemprov NTT dalam menentukan nilai kontribusi tersebut ditandatangani pada 23 Mei 2014.
Menurut kuasa hukum, penilaian harusnya mengacu atau menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penilaian Barang Daerah, serta Permendagri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah yang menyebutkan acuan estimasi terendah adalah dengan menggunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Dalam PKS tersebut, Pemprov NTT dalam menentukan nilai kontribusi tetap berada pada acuan nilai wajar yang di atas NJOP sekalipun tidak menggunakan penilai independen (KJPP).
Baca juga: Pemutusan Kontrak Sepihak Kelola Pantai Pede, PT SIM Gugat Pemprov NTT dan PT Flobamor
Hal tersebut menurut tim kuasa hukum PT SIM, menimbulkan kesewenang-wenangan, sehingga penilaian yang sudah dilakukan sebelumnya menjadi dievaluasi seluruhnya.
"Jika tidak cocok harganya maka akan dianggap salah dan tidak benar, bahkan dianggap merugikan keuangan negara dan dikriminalisasi, mengikuti selera rezim yang berkuasa," kata Shidiq.
Fakta lain, di tahun 2016, menurut Keputusan Gubernur NTT Nomor: 339/KEP/HK/2016, tanggal 21 Oktober 2016 tentang Besaran Persentase Kontribusi Tahunan dari Pelaksanaan Bangun Guna Serah atas Pemanfaatan Barang Milik Daerah Provinsi NTT, besaran persentase yang harus digunakan adalah 2 persen untuk dikalikan dengan nilai tanah dan luas tanah.
"Persentase ini sah bahkan sudah digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI dalam audit 2019 hingga 2021 dalam memberikan saran agar Pemprov NTT lebih mendapatkan untung, bukan kerugian keuangan negara," tutur Shidiq.
Baca juga: Kejati NTT Pasang Plang Sita di Keliling Sudut Bangunan Hotel Plago Labuan Bajo
Lebih lanjut dirinya membeberkan, dalam kontrak PKS 23 Mei 2014, Pemprov NTT menentukan nilai persentase sebesar 3 persen yang mengacu pada Peraturan Menkeu tentang Pengelolaan Barang Milik Negara, nilai persentasenya lebih besar dari acuan di tahun 2016.
"Masalah nilai wajar itu hasil riset lapangan yang sangat subjektif dari penilai pemerintah yang mengevaluasi, dia mau mengeluarkan harga yang lebih besar atau lebih kecil," ungkapnya.