Opini

Opini Henry Bouk: Memaknai Ruang-Waktu 05.00 Per Argumentum Ad Baculum

Editor: Alfons Nedabang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Siswa SMKN 4 Kupang pada hari pertama menerapkan sekolah masuk jam 5.30 pagi, Senin 6 Maret 2023. Henry Bouk menulis opini: Memaknai Ruang-waktu 05.00 Per Argumentum Ad Baculum.

Apakah orang-orang dari latarbelakang penganut budaya waktu siklik seperti masyarakat NTT dapat menyesuaikan diri dan hidup dalam sistem budaya waktu linear-aktif untuk meraih mimpi masa depan?

Memang, di seluruh dunia saat ini, hampir keseluruhan masyarakat berdinamisasi dan beraktivitas di sekolah, bandara, kampus, kantor, berdasarkan jadwal yang sudah diagendakan di dalam laptop, handphone, di layar pengumuman, di pojok jalan.

Semuanya merujuk pada kebiasaan budaya linear aktif yakni tersusun, terstruktur dan terjadwal.

Masyarakat dari latar belakang sistem budaya waktu berbeda memiliki konsep berbeda tentang waktu, semua yang menyatukan perbedaannya dalam dinamika waktu, yaitu waktu yang selalu dan terus selalu mengalir, “tempora mutantur, et nos mutamur in illis” artinya waktu terus berubah dan manusia turut berubah di dalamnya karena kesadaran diri manusia memaknai waktu secara berkualitas.

Baca juga: Opini Teguh Prakoso: Mengenal Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh

Saya coba mengambil inspirasi dari pemikiran filosofis Hegel dan Bergson yang ditulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya berjudul, “Multiplisitas dan Diferensi” (2008:113-133) memberikan pencerahan terkait waktu dan keterlibatan manusia dalam proses meruang dan proses mewaktu untuk memperoleh kecerdasan dan meraih kesuksesan.

Barangkali kita dapat menyimak pikiran mereka tentang waktu untuk memaknai kebijakan Gubernur Victor B. Laiskodat terkait sekolah jam 05.30 pagi.

Proses Meruang. Waktu bersifat dinamis, selalu mengalir dan karena itu waktu tidak pernah bisa diukur karena waktu juga bersifat tak terukur.

Menurut Hegel, di satu sisi, waktu terus mengalir, tapi pada sisi lain manusia dengan kesadaran diri yang utuh ingin berproses dalam dinamika waktu untuk mencapai kemajuan dalam dirinya, oleh sebab itu manusia membuat pengukuran waktu menggunakan metode metafora ruang yang hanya berfungsi sebagai kondisi untuk mengukur perbedaan di dalam ruang atau perbedaan meruang.

Waktu diukur dengan cara mengurungnya dalam ruang menggunakan ukuran perbedaan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun.

Pemikiran ini mirip dengan masyarakat yang menganut budaya waktu linear aktif : 1,2,3,..a,b,c.. Di dalam dinamika waktu yang diukur menggunakan metode metafora ruang ini dapat membantu mengkondisikan seseorang melakukan aktivitasnya sambil melakukan pengukuran perbedaan perubahan dan kemajuan dalam dirinya sendiri antara waktu sebelum kerja dan waktu sesudah kerja.

Baca juga: Opini Januar J Tell: Mengkritisi Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

Misalnya kerja mencuci mobil satu jam mendapat bayaran Rp 5.000, maka bekerja selama lima jam bayarannya Rp 25.000. Keberhasilan dan kemajuan diukur menggunakan metafora ruang: detik, menit, jam, hari.

Namun metafora waktu hanyalah kondisi, sedangkan yang menentukan perubahan adalah kesadaran dalam diri manusia itu sendiri. Identitas diri manusia berubah mengandaikan pergerakan dirinya di dalam ruang-waktu.

Perubahan identitas dan kemajuan dimungkinkan atau dikondisikan oleh mekanisme bergerak di dalam waktu untuk menghasilkan perbedaan antara masa lampau- masa sekarang-masa depan dalam rentang waktu kronologis.

Karena itu menurut Hegel, manusia mampu menghasilkan perbedaan absolut karena kesadaran diri akan keaktifannya bergumul dalam proses meruang.

Konsep kemajuan menurut Hegel diartikan sebagai kondisi, yang didalamnya diri mampu menciptakan permulaan baru dan permulaan baru menjadi konsep diri yang baru untuk berdinamisasi mencapai kemajuan terus-menerus.

Halaman
1234

Berita Terkini