Kisah 5 Jurnalis Australia Tewas Misterius saat Meliput Invasi Timor Leste oleh Indonesia
POS-KUPANG.COM -- Inilah Balibo Five, ketika 5 Jurnalis Australia tewas misterius saat meliput invasi Timor Leste oleh Indonesia
Tidak hanya penduduk sipil yang tewas selama masa invasi oleh Indonesia di Timor Leste pada tahun 1975. Faktanya disembunyikan mati-matian.
Baca juga: Kemensos Lakukan Perbaikan Data Penerima Bansos
Baca juga: Anggaran Terpangkas Akibat Covid-19, Dua Tahun Event Bola Voli dan Sepak Bola Ditiadakan
Baca juga: Gejolak Partai Demokrat Dinilai Berdampak ke Iklim Investasi, Benarkah?
Selain menewaskan banyak penduduk Bumi Lorosae, sejarah Timor Leste juga diwarnai kematian misterius lima orang jurnalis Australia saat masa invasi oleh Indonesia.
Kasus pembunuhan jurnalis yang dijuluki sebagai 'Balilo Five' itu masih menyisakan misteri, menjadi hutang penegakan keadilan bagi para korbannya.
Rahasia kekejaman pembantaian tersebut menghantui Australia, seperti yang diungkapkan Susan Connelly, penyelenggara Forum Keadilan Laut Timor, dalam artikel berjudul 'Empat puluh lima tahun kemudian, Rahasia Kekejaman Balibo menghantui Australia' di The Sydney Morning Herald.
Melansir smh.com.au (16/10/2020), kurang lebih empat puluh lima tahun yang lalu, pada 16 Oktober 1975, lima jurnalis yang berbasis di Australia dekat kota Balibo melaporkan invasi Indonesia yang akan datang ke Timor Portugis.
Mereka adalah Gary Cunningham, Brian Peters, Malcolm Rennie, Greg Shackleton dan Tony Stewart.
Dikatakan, militer Indonesia, khususnya Yunus Yosfiah dan Cristoforo da Silva, membunuh para pemuda ini untuk mencegah mereka menyebarkan informasi tentang invasi tersebut.
Delapan investigasi telah diadakan sejak saat itu. Yang terakhir adalah pemeriksaan koroner di Sydney pada 2007, dan temuannya diserahkan kepada Polisi Federal Australia (AFP).
Namun, tujuh tahun kemudian, pada Oktober 2014, AFP membatalkan penyelidikan, dengan alasan tantangan yurisdiksi dan bukti yang tidak cukup.
Tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban atas pembantaian jurnalis tersebut.
Susan mengatakan bahwa sampai hari ini, dokumen yang relevan ditolak untuk dibuka pada publik Australia, mengabaikan aturan tiga puluh tahun deklasifikasi dokumen yang biasanya.
Penolakan tersebut menurutnya menyembunyikan sejauh mana sebenarnya pengetahuan Australia tentang invasi tersebut, dan menghindari menyinggung Indonesia karena takut akan dampak ekonomi atau politik.
Tindakan penolakan tersebut dibuat atas dasar melindungi "keamanan nasional".