Pada 15 Agustus 1940, ia mengucapkan kaul kekal sebagai anggota SVD di Seminari Tinggi SVD.
Tepat satu bulan kemudian pada 15 September 1940, ia menerima tahbisan diakonat.
Ia ditahbiskan sebagai imam pada 28 Januari 1941 oleh Mgr. Hendrikus Leven di Gereja Nita, Maumere.
Ia menjadi imam pribumi pertama di Nusa Tenggara Timur bersama dengan R.P. Karolus Kale Bale, S.V.D.
Sebagai imam muda, ia bekerja sebagai pastor pembantu di Paroki Nita, Flores.
Baca juga: Keamanan Arab Saudi Terancam, Ledakan Keras Terdengar di Kota Riyadh, Ada Pemberontak Houthi?
Baca juga: Panglima TNI Mutasi 50 Perwira Tinggi, Ini Jabatan Baru Mantan Pangdam III/Siliwangi, Daftar Nama
Baca juga: Danlantamal VII Kupang Kukuhkan Kapal Perang KRI Escolar-871
Pada masa penjajahan Jepang, ia bekerja sebagai imam di seluruh daerah Flores Timur, Pulau Alor dan Pantar, karena kebanyakan imam diinternir.
Ia kemudian bertugas di Lahurus dan terlibat dalam dunia politik atas izin Gereja.
Saat itu, Manek bertugas sebagai Anggota Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Kefamenanu.
Ia bertugas di Timor pada periode 1946 hingga 1951.
Kunci yang menjadi pokok perhatiannya adalah menyapa setiap umat secara personal, mengenal mereka; memperhatikan persoalan yang sedang dihadapi dan mencari upaya untuk meningkatkan kualitas iman umat.
Sebagai pastor pribumi pertama di Nusa Tenggara itu, Manek dikenal dermawan dan penuh perhatian kepada kaum papa.
Dia kerap menggunakan sampan kecil untuk menyeberang ke pulau-pulau di luar Larantuka guna menyapa umatnya.
Dari Flores, ia kembali ke Timor dengan tugas khusus membuka dan memimpin Seminari Menengah St Maria Immakulata Lalian pada tahun 1950 bersama dengan Pastor Heinrich Janssen S.V.D.
Ia diberi tugas sebagai Direktur Seminari, sementara Janssen menjadi Prefek Seminari.
Ia sempat menjabat sebagai anggota parlemen Negara Indonesia Timur.