Itu artinya, siapa pun yang beragama itu dan berapa pun jumlah mereka di dalam masyarakat, memiliki hak untuk menjalankan hidupnya menurut identitas religiusnya itu.
Pertanyaannya: apakah kaum agama di Indonesia sudah siap menjalankan pluralisme modern yang menekankan kesamaan dan multikulturalisme yang menekankan pengakuan terhadap siapa saja dengan segala keunikan identitasnya?
Nilai-nilai Pancasila dan Kerukunan
Untuk menjalankan pluralisme religius itu, tanpa merusak kehidupan yang rukun antarumat beragama, maka setiap kaum agama dituntut untuk tidak hanya menjadi seorang religius (sila pertama), melainkan juga harus menjadi agen kerukunan. Sebagai agen kerukunan ia harus memiliki keempat nilai sosial-religius berikut ini: kemanusiaan (sila kedua), kesatuan (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan (sila kelima).
Seorang beragama adalah seorang humanis
Seorang agen kerukunan adalah seorang humanis. Kata humanis dipakai di sini dalam arti yang paling umum, yakni sebagai sikap menghormati setiap orang dalam keutuhannya sebagai manusia, dalam martabatnya sebagai makhluk yang bebas, yang berhak menentukan sendiri arah kehidupan serta keyakinannya.
Humanisme adalah keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati sebagai persona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, tidak tergantung dari komunitas agama apa pun. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya.
Dan karena setiap orang itu adalah dirinya sendiri, jadi unik, maka humanisme berarti menghargai keunikan orang lain. Keunikan itu bisa dalam hal keyakinan, cita-cita dan kebutuhan-kebutuhannya. Jadi humanisme adalah paham yang mengajarkan bahwa seseorang dihormati bukan karena status sosial-ekonomi-politis dan religius, melainkan melulu karena ia seorang manusia. Dengan alasan apa pun dan dalam situasi apa pun, kekejaman tak pernah dapat dibenarkan.
Inti sikap humanis adalah menolak untuk bertindak kejam, atas nama apa pun entah itu bangsa atau agama. Seorang humanis solider dengan orang-orang miskin, lemah dan tertindas dan ia menentang segala ketidakadilan.
Wawasan ini mencapai ungkapan yang paling fundamental dalam keterbukaan manusia terhadap Allah. Akan tetapi martabat manusia tidak ditentukan oleh kepercayaan. Semua orang entah beragama atau tidak beragama, memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Kepercayaan kepada Allah tidak menjamin martabat manusia lebih tinggi daripada yang tidak percaya kepada Allah.
Sorang yang sungguh-sungguh beragama harus membuktikan kemurnian keyakinannya dalam sikap hormat terhadap keyakinan hati orang lain merupakan kesadaran yang pada hakekatnya sudah dapat kita temukan dalam ajaran inti masing-masing agama, yang pada tahun 1948 dirumuskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Seorang beragama adalah seorang pluralis
Seorang agen kerukunan adalah seorang pluralis. Di sini nilai kesatuan kita sebut dengan nama pluralis karena kita menganut faham kesatuan dalam Pancasila, yaitu faham kesatuan menurut filsafat ex pluribus unum (bhineka tunggal ika).
Satu ada dua macam, yaitu unum in se (satu itu sendiri, contohnya, seorang indvidu) dan unum ordinis (satu susunan, contohnya, individu yang satu dan individu yang lain menyatukan dirinya menjadi suatu masyarakat). Karena itu, kesatuan sebagai suatu nilai etika sosial selalu yang dimaksud adalah unum ordinis. Itulah faham filsafat bahwa kesatuan sebagai nilai etika sosial tidak berasal dari satu, melainkan dari banyak (ex pluribus).
Karena itu, seorang religius adalah juga serang pluralis dan sejauh sebagai seorang pluralis, maka ia menghormati dan menghargai sesama manusianya dalam identitasnya. Sebagai seorang pluralis ia memiliki kesediaan untuk menerima kenyataan sosial bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya dan keyakinan agama yang berbeda.