Talkshow Pancasila FKUB Provinsi NTT

Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 1)

Editor: Agustinus Sape
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr. Norbertus Jegalus

Jawaban kita dari dahulu sampai sekarang dan juga ke depan adalah Pancasila. Pancasila adalah philosphische grondslag (dasar filosofis) bagi Negara yang majemuk agama dengan etika politiknya Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu).

Prinsip Bhineka Tunggal Ika adalah suatu kebenaran filosofis yang dalam rumusan filsafatnya berbunyi, ex pluribus unum (kesatuan berasal dari banyak). Prinsip ex pluribus unum ini mengajarkan bahwa kesatuan berasal dari banyak, jadi kesatuan tidak pernah dan tidak akan pernah berasal dari satu, melainkan berasal dari banyak.

Kalau kesatuan berasal dari satu, maka prinsipnya harus berbunyi ex unitatis unum. Akan tetapi, prinsip ex unitatis unum ini hanya membuka pintu bagi pembentukan suatu masyarakat yang bersifat monolitis. Kita membuat masyarakat Indonesia monolitis, itu sama artinya, kita mematikan kemajemukan Indonesia. 

Karena itu, jawaban kita atas masalah kemajemukan agama-agama itu bukan monolitisme, melainkan pluralisme . Akan tetapi, faham pluralisme ini bukanlah suatu yang khas masyarakat modern. Dalam masyarakat tradisional juga sudah ada paham pluralisme suku dan agama. Perbedaannya terletak dalam prinsip yang melandasinya.

Dalam pluralisme tradisional, fakta pluralitas itu dijalankan berdasarkan pada prinsip ketidaksamaan, sedangkan dalam pluralisme modern, fakta kemajemukan itu dijalankan atas prinsip kesamaan. Dalam masyarakat tradisional, mereka yang berkebudayaan atau beragama lain dihargai dan mempunyai tempat di dalam masyarakat. Tetapi, mereka dihargai sebagai orang asing. Mereka dihargai karena tradisi mengajarkan bahwa orang asing harus dihormati dan dijamin hidupnya.

Karena itu, orang yang tidak beragama sama, tempat mereka terjamin di dalam masyarakat, tetapi terjamin sebagai orang asing. Itulah pluralisme tradisional yang berdasarkan pada asas ketidaksamaan.

Sedangkan pluralisme modern berdasarkan pada asas kesamaan. Tuntutan kesamaan itulah yang menjadikan pluralisme modern berdasarkan Pancasila tetap bermasalah. Karena masih ada komunitas agama yang merasa tidak enak kalau semua agama yang hidup di Indonesia diperlakukan secara sama.

Atau, dalam konteks wilayah, misalnya di Nusa Tenggara Timur ini, masih ada komunitas agama atau kaum agama yang merasa tidak enak dan tidak nyaman kalau semua agama di bumi NTT ini diperlakukan sama.

Kemudian sejak Reformasi kita mengembangkan faham pluralisme itu menuju faham multikulturalisme. Apa perbedaannya? Baik pluralisme maupun multikulturalisme mengakui keberbedaan dan keanekaragaman. Namun masyarakat plural dan masyarakat multikultural tidaklah sama.

Dalam masyarakat plural diakui bahwa tatanan masyarakat terbentuk dari berbagai unsur yang memiliki ciri-ciri budaya berbeda satu sama lain. Dalam masyarakat plural, masing-masing entitas relatif hidup dalam dunianya sendiri-sendiri; hubungan antarberbagai komponen masyarakat yang berbeda ditandai oleh corak hubungan yang dominatif dan selanjutnya juga diskriminatif, walaupun wujud dominasi dan diskriminasi itu sangat tersamar.

Sedangkan dalam multikulturalisme ada pengakuan akan perbedaan dalam kesederajatan, baik pada level individual maupun pada level kultural-komunal dan karena itu tidak ada peluang ke arah dominasi dan diskriminasi yang lahir dari adanya klaim superioritas suku atau agama.

Sejauh ini kita telah menjalankan dua macam pendekatan terhadap kemajemukan berdasarkan etika pluralisme itu, yakni asimilasi dan integrasi. Akan tetapi di dalam etika multikulturalisme kedua pendekatan itu sudah tidak memadai dan karena itu ditinggalkan.

Pertama, pendekatan asimilasi tidak memadai untuk menjawab masalah kemajemukan karena pendekatan ini bertolak dari kesadaran tentang yang asli yang dilawankan dengan yang asing. Yang asli harus dilindungi dari yang asing, karena yang asing itu dipandang sebagai pengancam yang asli.  Atas dasar itu, pendekatan ini menekankan bahwa yang asing itu harus membaur.

Kedua, pendekatan integrasi juga tidak memadai untuk menjawab kemajemukan kita, karena di dalam pendekatan ini tidak adanya konsepsi masyarakat majemuk yang partisipatoris dan emansipatoris. Karena dengan berintegrasi kita akhirnya harus meninggalkan apa yang khas dari identitas kita demi kesesuaian dengan apa yang berlaku umum dalam masyarakat.

Dari segi isi sebenarnya multikulturaslisme kurang lebih sama dengan pluralism modern. Perbedaannya terletak pada penekanannya, pluralisme modern menekankan prinsip kesamaan, sedangkan multikulturalisme lebih menekankan pengakuan sehingga disebut juga dengan nama politik pengakuan (politics of recognition).

Halaman
1234

Berita Terkini