Ayo mari membaca dan simak isi Opini Pos Kupang berjudul Makna Merdeka belajar
Oleh: Florianus Dus Arifian, M. Pd.Dosen UNIKA St. Paulus Ruteng
POS-KUPANG.COM - Kini, Merdeka belajar menjadi tesis viral. Penampakan setelahnya adalah perampingan format rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan pembukaan lebih luas akses pengalaman belajar out class.
Kedua hal tersebut menimbulkan mispersepsi pada praktisi pendidikan yang mesti mewujudkan ide merdeka belajar itu. Mispersepsi itu adalah merdeka belajar berarti pengurangan rutinitas administratif agar tidak membelenggu guru dan perluasan ruang fisik belajar sehingga peserta didik tidak terpenjara dalam kelas tertutup.
• Mungkinkah PDIP Sapu Bersih Pilkada NTT
Di sisi lain, muncul selentingan bahwa tesis merdeka belajar sengaja dimunculkan agar terkesan ada yang baru dari Nadiem Anwar Makarim selaku pencetusnya. Dengan demikian, sang Mendikbud itu patut dicatat dalam perjalanan pendidikan di negeri ini. Di titik ini dibutuhkan kajian yang menjernihkan pemahaman.
Hakikat Pendidikan
Walaupun terkesan usang, tampaknya pembicaraan tentang hakikat pendidikan masih relevan guna menyisir makna dari merdeka belajar. Dalam konteks itu, tentu tidak semua pandangan perlu diuraikan, tetapi cukup diambil beberapanya saja untuk dipetik intinya.
Pertama-tama, pendidikan adalah transformasisasi budaya, yakni proses mewariskan budaya lintas generasi. Namun, transformasisasi budaya bukan tanpa perubahan. Budaya itu diteruskan tetap dengan sikap kritis sehingga apa yang baik ditingkatkan dan yang buruk diperbaiki.
• Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar Ajak Masyarakat Belu Tetap Semangat
Selanjutnya, pendidikan merupakan proses sistematis untuk membentuk pribadi insani. Sebagai proses sistematis, pendidikan berlangsung dalam tahap-tahap yang berkesinambungan dan lingkungan-lingkungan yang saling menunjang. Di titik ini, pendidikan tidak dapat direduksi dalam satu tahap dan satu lingkungan saja.
Sebagai proses yang membentuk pribadi insani, pendidikan mesti mengembangkan keseluruhan potensi manusia sebagai perseorangan sehingga menghasilkan kompetensi untuk mengarungi kehidupannya.
Ki Hadjar Dewantara menandaskan pendidikan sebagai proses belajar sepanjang hayat untuk menjadi manusia paripurna dengan cara mempelajari dan mengembangkan lingkungan mikrokosmos dan makrokosmos.
Lingkungan mikrokosmos itulah manusia dan sifat kemanusiaannya. Lingkungan makrokosmos itulah alam semesta dengan segala isinya.
Pendidikan juga dilihat Langeveld sebagai segenap dukungan kepada manusia agar mencapai kedewasaan. Artinya, pendidikan perlu memberdayakan insan sehingga bisa berdikari. Dengan formulasi lain, pendidikan perlu mematangkan manusia dalam banyak segi agar bisa mandiri.
Sementara itu, menurut Dewey, pendidikan merupakan proses pembentukan kecakapan fundamental ke arah alam dan sesama manusia. Artinya, pendidikan perlu membentuk daya tahan dan daya lentur. Daya tahan itulah karakter dan daya lentur itulah kreativitas. Kedua daya itu memungkinkan manusia bisa menghadapi perubahan zaman.
Di pihak lain, Driyarkara melihat pendidikan sebagai proses homonisasi dan humanisasi. Dalam proses homonisasi, pendidikan mesti menempatkan manusia sebagai makhluk fisik-biologis. Adapun dalam proses humanisasi, pendidikan harus memperlakukan manusia sebagai makhluk berbudaya.
Hemat penulis, walaupun berbeda dalam formulasi, semua pandangan di atas sama-sama menekankan satu hal penting, yakni kemandirian atau merdeka belajar sebagai esensi pendidikan. Bahkan, semua pandangan tersebut melihat kemandirian atau merdeka belajar sebagai pangkal atau bagian yang utama dari esensi pendidikan. Hal ini dapat dirasionalisasikan sebagai berikut.