Kisah Warga Resettlemen Tanah Merah Kupang, Belasan Tahun Tak Pernah Dapat Bantuan
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Kisah warga resetlemen tanah merah, belasan tahun tak pernah tersentuh program pemerintah.
Rumah bantuan pemerintah itu tampak tua. Berdinding setengah tembok dengan paduan atasan bebak yang tampak menua. Di beberapa sisi, bebak itu menyisihkan lubang lubang yang menganga.
Temboknya pun tak lagi bisa dikatakan putih, pecah di beberapa sisinya. Pada pangkal dinding di bagian depan rumah, jejeran karung berisi pasir menyadari tembok. Di samping kanan, tampak beberapa potong batang kayu diletakan menyangga dinding itu. Terlihat seolah ingin menjaga agar dindingnya tak terjungkal.
• Menurut Hakim, Karen Agustiawan Terbukti Menguntungkan Korporasi Rp 568 Miliar, Ini Unsurnya
Pintu depan yang terbuat dari kayu pun tampak tak lagi utuh. Tak lagi dapat dibuka dengan nyaman. Rumah itu tampak miring ke arah kanan dengan atap yang terangkat pada beberapa sisinya.
Ada sebuah bale-bale usang di sisi kanan rumah, persis bersebelahan dengan dapur yang dindingnya juga telah ditambali terpal pada beberapa bagiannya. Di atas bale bale itu, sepasang suami-istri baya tampak duduk.
• Penjelasan Wiranto, Selasa Esok Polri Buka-bukaan soal Dalang Kerusuhan 21-22 Mei
Itu pasangan suami istri Paulinho Pinto (63) dan Maria Otu (50). Orang tua yang mendiami rumah repot itu.
Usai bersalaman dan berkenalan, POS-KUPANG.COM mulai mengajak mereka berdua berbincang. Informasi tentang mereka, sebelumnya telah POS-KUPANG.COM peroleh dari salah satu warga di tempat itu, tetangga mereka.
Mereka merupakan bagian dari warga pertama yang mendiami lokasi resetlemen itu. Usai mengalami konflik di Timor Leste, mereka memilih tinggal di Kupang dan menempati lokasi Resetlemen 22 RT.15/RW.08 Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.
Kepada POS-KUPANG.COM, Pinto berkisah. Awalnya, mereka tinggal di tempat itu hanya bersama beberapa keluarga. Ia dan istrinya dan beberapa keluarga lainnya menempati empat rumah yang di bangun pemerintah di area Resetlemen 22.
"Kami mulai tinggal di sini kalau tidak salah sejak tahun 2007," katanya.
Ia mengatakan, meskipun dalam kondisi terbatas, mereka memilih tetap bertahan di lokasi itu. Di rumah tersebut, ia hanya tinggal bersama istrinya yang juga telah berusia lanjut.
Anak-anaknya, lanjutnya telah berkeluarga dan memilih untuk menjadi warga negara Timor Leste (RDTL). Ia dan istrinya saja yang tetap bertahan di tempat itu dengan pekerjaan seadanya.
Ia sehari hari memelihara beberapa ekor ternak, bertani dan mengambil batu. Sedang istrinya, lebih sebagai ibu rumah yang sesekali membantunya dalam pekerjaannya.
Ia menceritakan, rumah mereka saat ini telah terancam rubuh. Ia berusaha untuk menjaganya tetap tegak dengan menopangkan bebarapa balok kayu pada tiang dan dinding di sisi-sisi rumah.