Oleh: RD Herman P. Panda
Praeses Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui-Kupang
POS KUPANG.COM -- Lima ratus tahun yang lalu, pada 31 Oktober 1517, Martin Luther mencetuskan reformasi dengan memasang 95 thesisnya di depan gereja Wittenberg. Thesis-thesis itu berkaitan dengan "sertifikat pengampunan dosa" dari Paus yang sedang dipromosikan di Jerman.
Umat diimbau memiliki sertifikat tersebut dengan cara menjalankan sejumlah praktik rohani dan membayar sejumlah uang. Luther, yang kala itu masih berstatus Imam Katolik, memprotes keras praktik seperti itu serta menantang para pengkhotbah yang sedang mempromosikan sertifikat itu berdiskusi dengannya.
Protes Luther sebenarnya mewakili suara umat yang sudah jenuh dengan Gereja yang kian terbuai kemegahan, kemewahan dan kuasa, lalu makin melupakan hakikatnya sebagai institusi spiritual.
Sayangnya pimpinan Gereja waktu itu resisten terhadap pembaruan. Akibatnya, apa yang tidak pernah dikehendaki Luther sendiri pun terjadi yaitu perpecahan Gereja. Selanjutnya, gerakan pembaruan bagaikan bola panas yang bergulir cepat karena segera disusul para reformator lainnya seperti John Calvin dan Huldrych Zwingli.
Pada tahun 1530-an Gereja di Inggris ikut bergolak, yang dipicu penolakan Paus atas permohonan annulasi perkawinan Raja Henry VIII dan istrinya Katharina dari Aragon. Gereja di Inggris terpisah dari Roma dan berdirilah Gereja Anglikan.
Setelah itu pembaruan terus bergulir, sehingga lahir pula sejumlah Gereja kecil lainnya. Demikianlah sampai sekarang kita kenal sejumlah Gereja yang lahir dari gerakan reformasi: Gereja Lutheran, Calvinis, Anglikan, Methodis, Baptis, Pentakosta, dll. Apa yang terjadi setelah 500 tahun reformasi Luther?
Setelah berpisah, para Gereja saudari itu ternyata saling merindukan satu sama lain, karena menyadari mereka sesungguhnya lahir dari rahim ilahi yang sama.
Perpisahan tidak pernah dikehendaki langsung oleh Gereja mana pun, apalagi Tuhan. Santo Yohanes Paulus II menyebut perpecahan itu "terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus dan menjadi batu sandungan bagi dunia serta merugikan perutusan suci yakni mewartakan Injil kepada semua makhluk" (Ensiklik Ut Unum Sint, no. 6).
Sejak abad-abad lalu banyak usaha dilakukan menuju persatuan kembali baik yang diinisiasi kalangan Protestan maupun dari kalangan Katolik.
Usaha kalangan Protestan telah muncul di abad ke-19 dan awal abad 20 yang ditandai beberapa gerakan dalam semangat lintas Gerejawi. Ada Konferensi Misi sedunia di Edinburg (1910), yang mengispirasi lahirnya gerakan Life and Work (LW) dan Faith and Order (FO).
Bila gerakan LW amat peduli terhadap kerja sama di antara Gereja-Gereja untuk perdamaian dunia serta keadilan, gerakan FO mendiskusikan iman dan tata tertib gerejawi. Dalam perjalanan waktu, mulai dipikirkan berdirinya Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD).
Langkah awal diambil dalam pertemuan LW dan FO di Utrecht, Belanda (1938), walaupun realisasi berdirinya DGD baru tahun 1948. Sejak itu DGD mengadakan sidang raya setiap 7-8 tahun dan anggotanya bertambah. Dalam Sidang Raya ke-10 di Busan, Korea Selatan (2013) misalnya tercatat 349 Sinode Gereja sebagai anggota DGD.
DGD adalah persekutuan Gereja-Gereja dan bukan suatu super body yang melebur Gereja-Gereja anggotanya, apa lagi mengikat mereka dengan doktrin yang wajib diterima bersama.
Sambil menghormati otonomi setiap anggota, DGD berperanan penting membangkitkan kesadaran bersama atas hal-hal yang mempersatukan Gereja serta membangun solidaritas dan kerja sama praktis di antara anggota.