Bagaimana Gereja Katolik? Patut diakui bahwa pada awalnya Gereja Katolik masih enggan ber-ekumene dengan cara seperti dilaksanakan Gereja-Gereja Protestan. Cukup lama Gereja Katolik mengharapkan dan terus mendoakan "kembalinya mereka yang telah terpisah ke dalam rumah besarnya yaitu Gereja Katolik."
Karena itu Paus Pius XI dalam ensiklik Mortalium Animos (1928) mengeritik konsep persatuan yang didiskusikan dalam beberapa pertemuan Gereja-Gereja Protestan sebagai persatuan yang bercorak minimalis dan tidak sejati. Demikian pula, ketika diundang menjadi anggota DGD, Gereja Katolik tidak bersedia.
Berbeda dari posisi resmi Gereja Katolik di atas, sudah sejak tahun 1930-an terdapat pemikir-pemikir Katolik yang lebih maju, antara lain teolog Yves Congar dan Paul Catourier.
Catourier memilih mendoakan persatuan yang dikehendaki Allah sendiri ketimbang mendoakan "kembalinya mereka yang terpisah ke dalam Gereja Katolik".
Perubahan sikap Gereja Katolik baru terjadi dalam Konsili Vatikan II. Dalam Dekrit Unitatis Redintegratio (UR), dikatakan bahwa Gereja Katolik mengakui banyak sekali nilai berharga yang ditemukan dalam Gereja-Gereja yang terpisah itu seperti Sabda Allah dalam Kitab Suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh Kudus lainnya. Karena itu mereka memang layak termasuk dalam Gereja Kristus yang satu (UR no. 2). Atas dasar itu, Gereja Katolik melihat ekumene sebagai tanggungjawabnya.
Segera setelah Konsili, beberapa usaha awal gerakan ekumene ditingkatkan menjadi bagian tugas resmi Gereja. Pusat persatuan umat kristiani yang dimulai Charles Boyer SJ ditingkatkan menjadi Sekretariat untuk Persatuan umat Kristiani dengan pemimpin pertamanya Kardinal Agostino Bea SJ. Sekretariat itu ditingkatkan lagi menjadi Dewan Kepausan untuk Memajukan Persatuan umat Kristiani (DKMPK) dengan tugas menyelenggarakan ekumene dan membina relasi dengan berbagai Gereja.
Sampai kini DKMPK telah memprakarsai sejumlah dialog ekumenis baik bilateral maupun multilateral dan melibatkan banyak Gereja.
Vatikan juga menjalin hubungan dengan DGD. Gereja Katolik mulai menghadiri Sidang Raya DGD sebagai peninjau sejak di New Delhi (1961). Sejumlah pimpinan Gereja Protestan diundang pula sebagai peninjau Konsili Vatikan II. Sebagai follow up, dibentuk kelompok kerja sama untuk mendiskusikan persoalan teologis berkaitan dengan usaha persatuan kembali Gereja-Gereja. Kelompok ini menyelenggarakan sejumlah pertemuan. Bahkan Vatikan mengutus 12 teolog menjadi anggota Komisi Faith and Order dalam DGD.
Hasil Gerakan Ekumene
Saat ini dapat dikatakan bahwa secara umum Gereja-Gereja telah menjalin relasi kedekatan dan kerja sama satu sama lain. Selain itu melalui berbagai pertemuan dan dialog ekumenis telah diangkat di meja perundingan apa yang dulu dianggap sebagai doktrin yang memisahkan.
Sebagai contoh adalah hasil dialog antara Gereja Katolik dan Federasi Gereja-Gereja Lutheran sedunia (FDL) tentang pokok kontroversi pada masa reformasi yaitu pembenaran karena iman.
Selama berabad-abad pokok ini dianggap doktrin yang secara fundamental memisahkan antara Gereja Katolik dan Gereja Lutheran bersama Gereja reformasi lainnya. Tetapi melalui dialog dan pendalaman bersama kedua pihak, akhirnya diungkapkan sejumlah kesamaan pemahaman di balik rumusan yang berbeda menurut tradisi Gereja masing-masing.
Di ambang milenium ketiga, tepatnya tanggal 31 Oktober 1999, akhirnya ditandatangani di Augsburg, Jerman kesepakatan antara Gereja Katolik dan FDL tentang Doktrin Pembenaran karena Iman dan sekaligus dihapus penghukuman timbal balik antara Luther dan Gereja Katolik yang pernah terjadi di masa lampau.
Contoh lain adalah dokumen Baptism, Eucharist and Ministry yang dihasilkan kelompok kerja bentukan DGD. Yang terlibat di dalam kelompok kerja itu, selain Gereja-Gereja anggota DGD, juga 12 teolog Katolik. Dokumen itu mengemukakan sejumlah kesamaan pemahaman mengenai Baptisan, Ekaristi dan Jabatan Gerejawi.
Tanggapan Gereja-Gereja atas dokumen tersebut, cukup positif, sekalipun dikemukakan beberapa masukan mengenai pokok-pokok tertentu yang belum sungguh disepakati. Gereja Katolik pun pada dasarnya memuji dan menerima isi dokumen itu dengan beberapa catatan kritis.