Opini
Opini: Rantai Pelayanan atau Lingkar Kekuasaan, Sebuah Refleksi Etis
Artinya pemerintahan hadir untuk menjawab persoalan konkret masyarakat, bukan untuk memperbesar lingkar kuasa.
Oleh: Alfandy Florian Manuain dan Chandra Iktias Widiastuti Rohi *
POS-KUPANG.COM - Di lantai 2 gedung Perpustakaan Oeripan Notohamidjojo, tepatnya di Museum Universitas Kristen Satya Wacana ( UKSW) Salatiga, sebuah mural menyambut setiap pengunjung.
Tertera kalimat dari Dr. (H.C.) Oeripan Notohamidjojo, S.H, rektor pertama UKSW: “kita sudah cukup pemimpin, tetapi kurang pengabdi yang menyumbangkan dirinya secara diam-diam untuk kepentingan dan kesejahteraan sesama kita.”
Sosok beliau digambarkan tengah berpidato, seolah suara dari masa lalu yang terus menegur generasi kini.
Baca juga: Opini: Setitik Optimisme Dari Kota Karang di Tengah Kemuraman Nasional
Kalimat itu bukan sekadar hiasan, melainkan warisan moral dan intelektual yang menggambarkan kepemimpinan sejati lahir bukan dari haus kuasa, melainkan dari kerendahan hati untuk melayani.
Dalam kerangka iman kristiani, Roma 13 menegaskan bahwa pemerintah adalah pelayan Allah bagi kebaikan.

Ajaran agama menempatkan pemerintahan dalam hierarki ketiga setelah ketaatan kepada Tuhan dan para nabi.
Artinya pemerintahan hadir untuk menjawab persoalan konkret masyarakat, bukan untuk memperbesar lingkar kuasa.
Jika roh pengabdian ini hilang, maka pemerintahan akan berbalik menjadi sumber masalah.
Perayaan kemerdekaan selalu mengingatkan kita pada dua wajah bangsa: riuh gempita pesta rakyat dan hening renungan para pejuang.
Dahulu, kemerdekaan direbut dengan darah dan air mata; kini, ia diuji dalam ruang kebijakan, di meja birokrasi, dan di percakapan digital.
Perbandingan ini menegaskan bahwa perjuangan tidak pernah usai tetapi hanya berganti wujud.
Muncul pertanyaan di tengah euforia perayaan peringatan hari kemerdekaan, apakah pemerintahan masih berjalan di jalan pengabdian, atau terjebak dalam labirin kekuasaan?
Rantai Pelayanan atau Lingkar Kekuasaan?
Awal tahun dimulai dengan Program Makan Bergizi Gratis ( MBG), ibarat negara mengundang rakyat ke meja makan bersama.
Program ini membawa janji keadilan sosial, namun janji itu menuntut konsistensi distribusi yang jujur dan merata.
Program ini menggemakan prinsip kasih dan kepedulian Allah terhadap yang kecil dan lemah, namun ini menjadi ujian solidaritas sosial yang mempertanyakan, apakah masyarakat benar-benar merasakan keadilan ataukah justru lingkaran kekuasan yang mengambil keuntungan dari program ini?
Program ini membutuhkan tata kelola yang efisien, rantai distribusi yang transparan, dan akuntabilitas birokrasi yang nyata.
Jika gagal, program besar ini bisa kehilangan legitimasi moral maupun kepercayaan sosial.
Efisiensi mengingatkan bahwa sumber daya adalah amanat ilahi dan publik yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Prinsip ini diwujudkan melalui kebijakan efisiensi anggaran, yang lahir dari Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, dengan tujuan menata “dapur” negara agar pengeluaran lebih hemat dan manfaatnya nyata bagi rakyat.
Kebijakan ini memengaruhi relasi antara negara dan masyarakat, efisiensi dapat meningkatkan rasa percaya publik jika manfaatnya tetap terjaga, tetapi sebaliknya menimbulkan ketidakpuasan bila rakyat merasa dikorbankan.
Birokrasi dituntut bersikap adaptif, mampu menyeimbangkan rasionalitas fiskal dengan kualitas pelayanan publik.
Lalu lahirlah Danantara sebagai lembaga yang mengelola investasi nasional dan mengoptimalkan aset negara, khususnya BUMN.
Ia digadang sebagai “gudang raksasa” yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Mengelola kekayaan negara merupakan amanat penatalayanan kepada pemimpin.
Muncul pertanyaan tentang keadilan distribusi: siapa yang akan merasakan manfaatnya, kelompok mana yang akan tersisih?
Danantara menjadi ujian akuntabilitas fiskal: seberapa transparan manajemen aset negara, dan seberapa jauh lembaga ini melayani publik alih-alih memperkuat lingkar kekuasaan.
Di tengah jalannya program, muncul suara getir yang viral di kalangan anak muda Indonesia dalam ruang digital.
Tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap, merupakan bentuk ekspresi kekecewaan yang mencerminkan retaknya kepercayaan rakyat kepada pemerintah terhadap kondisi sosial dan ekonomi negara.
Fenomena ini adalah peringatan bahwa pemerintah seakan kehilangan nilai kenabian seperti keadilan, kebijaksanaan, dan keberpihakan pada rakyat.
Narasi digital ini menunjukkan resistensi masyarakat, lahir sebagai bahasa simbolik yang menggugat ketidakadilan struktural dan sinyal defisit legitimasi yang mana komunikasi pemerintah gagal mengimbangi ekspektasi publik, sehingga ruang digital menjadi arena kritik dan delegitimasi.
Menjelang Agustus 2025, bendera Jolly Roger berkibar di ruang publik. Simbol bajak laut dari manga dan anime populer One Piece yang dipakai rakyat sebagai bahasa protes.
Fenomena ini merupakan teguran moral bagi pemerintah yang dipanggil untuk menjadi terang, bukan bayangan gelap.
Ini merupakan ekspresi kolektif rakyat yang menggunakan simbol populer untuk melawan ketidakadilan.
Pengibaran bendera ini adalah kritik terhadap rapuhnya legitimasi, birokrasi yang gagal mendengar aspirasi akan dilawan dengan simbol alternatif yang lebih mengena di hati rakyat.
Panggilan sebagai Pengabdian
Pemerintahan, sejatinya lahir dari fondasi iman dan roh kenabian yang adil, bijaksana, dan berani memikul tanggung jawab besar.
Tanpa itu, ia justru menjadi sumber persoalan bagi masyarakat. Kuasa politik pada dasarnya adalah mandat spiritual yang dilahirkan bukan untuk memperbesar lingkar kekuasaan, melainkan untuk memberi jawaban nyata atas kebutuhan masyarakat yang bernaung di bawahnya.
Karena itu, tidaklah tepat bila pemerintahan diisi oleh orang-orang yang kehilangan nilai ketuhanan dan abai pada perilaku kenabian.
Pemerintah dipanggil untuk tampil sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana, bahkan lebih dari itu, menjadi penyelamat atas persoalan rakyatnya.
Roma 13 mengingatkan, tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; bahkan Paulus menyebut pemerintah sebagai diakonos, pelayan Allah.
Kuasa sejati bukanlah puncak kejayaan, melainkan kerendahan hati untuk mengabdi.
Oeripan Notohamidjojo telah lama mengingatkan: bangsa ini tidak kekurangan pemimpin, melainkan kekurangan pengabdi yang bekerja dalam sunyi demi kesejahteraan bersama.
Maka kemerdekaan ke-80 harus dimaknai sebagai panggilan untuk kembali pada roh pengabdian yang menjadi diakon di tengah masyarakat, menyalakan terang di tengah gelap, dan meneguhkan kemerdekaan sebagai rahmat yang nyata bagi semua. (*)
Biodata penulis
1. Alfandy Florian Manuain adalah Dosen Dosen Prodi Ilmu Administrasi Publik, Fisip Undana Kupang.
2. Chandra Iktias Widiastuti Rohi adalah Mahasiswa Magister Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, UKSW Salatiga.
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMOObjgswqIKhAw?hl=id&ceid=ID:id≷=ID
Alfandy Florian Manuain
Chandra Iktias Widiastuti Rohi
Opini Pos Kupang
Universitas Kristen Satya Wacana
FISIP Undana Kupang
Oeripan Notohamidjojo
POS-KUPANG.COM
Opini: Istana Merdeka Tabola Bale |
![]() |
---|
Opini: Antara Konservasi dan Komersialisasi |
![]() |
---|
Opini: Di Balik Slogan Rakyat Sejahtera, Realitas Pahit Tenaga Kesehatan Indonesia |
![]() |
---|
Opini: Byung-Chul Han, Hiperaktivitas Mendaruratkan Kemanusiaan |
![]() |
---|
Opini: 80 Tahun Indonesia Merdeka dan Tantangan Kesenjangan Akses Pendidikan di NTT |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.