Opini

Opini: Wajah Kemanusian yang Terabaikan

Sebaliknya, wajah adalah sebuah manifestasi ontologis dari Yang Lain (Autre) yang tak bisa dikuasai atau direduksi menjadi objek. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Angka ini diprediksi akan terus meningkat, mengingat total kasus pada tahun 2023 mencapai 323 kasus. 

Mirisnya, banyak dari kasus-kasus ini terjadi di dalam rumah tangga atau melibatkan kerabat korban, di mana pelaku memanfaatkan relasi kekuasaan berlapis. 

Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "fenomena gunung es" menunjukkan bahwa angka yang dilaporkan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi. 

Di balik setiap kasus tersebut, ada wajah-wajah yang terabaikan, suara-suara yang dibungkam, dan martabat yang diinjak-injak.

Belajar dari kasus tragis Prada Lucky, kita harus mengakui bahwa kekerasan tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menggerus pondasi moral masyarakat. 

Untuk menumbuhkan kembali sikap empati dan saling menghormati, terutama terhadap mereka yang lemah dan tidak berdaya, kita perlu mengambil langkah-langkah konkret dan sistematis.

Pertama, pembentukan karakter dan etika sejak dini di tingkat keluarga, sekolah, dan komunitas. 

Kurikulum pendidikan harus menekankan pentingnya empati, resolusi konflik non-kekerasan, dan menghormati perbedaan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang mampu melihat dan merespons wajah Yang Lain dengan penuh tanggung jawab.

Kedua, reformasi budaya di dalam institusi, termasuk militer dan kepolisian, untuk menghapus tradisi-tradisi yang melanggengkan kekerasan. Lingkungan kerja harus menjadi tempat yang aman dimana setiap individu dihargai, bukan diintimidasi. 

Pendidikan ulang bagi para pemimpin dan perwira, serta mekanisme pelaporan kekerasan yang aman dan rahasia, adalah langkah penting untuk memutus rantai kekerasan.

Ketiga, penguatan peran komunitas dan tokoh agama di NTT untuk secara aktif mengkampanyekan anti-kekerasan dan memberikan edukasi tentang hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan. 

Program-program rehabilitasi bagi pelaku dan pendampingan psikologis serta hukum bagi korban juga sangat penting untuk memulihkan trauma dan mencegah kekerasan berulang.

Terakhir, tuntutan hukum yang tegas dan keras kepada para terduga pelaku yang terbukti melakukan kekerasan. Hukuman bukan hanya pemecatan secara dinas dan militer tetapi harus terbuka dan jujur sehingga bisa mengobati luka keluarga Prada Lucky yang sudah tersayat karena kisah pilu kepergian anak mereka.

Levinas mengingatkan kita bahwa "wajah adalah awal dari sebuah perintah.
 
Tragedi Prada Lucky adalah peringatan tragis bahwa ketika kita gagal melihat wajah sesama, kita gagal menjadi manusia. 

Tugas kita, sebagai individu dan masyarakat, adalah untuk terus-menerus mendengarkan panggilan wajah tersebut, menjadikannya landasan bagi setiap interaksi kita, dan berani melawan segala bentuk kekerasan dan dominasi yang mencoba mengabaikannya. Semoga! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved