Opini
Opini: Bahaya Ekosida
Dalam dirinya, minimal defakto, Prof David Pandie sesungguhnya telah menjadi Profesor dan Mentor sudah sejak lama.
Sebuah Apresiasi atas Orasi Ilmiah Profesor David W Pandie
Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Tulisan ini merupakan catatan ringan, atas Orasi Ilmiah Profesor David B.W Pandie, M.S ( Prof DP), pada Rapat Senat Luar Biasa Pengukuhan tiga Guru Besar Undana (Senin, 11 Agustus 2025).
Karena catatan ringan maka kadar kualitas tulisan ini pun tentu sangat jauh dari bobot dan kualitas terutama untuk memberikan apresiasi atas orasi ilmiah Sang Profesor.
Meski jauh dari kualitas, saya harus tetap memberikan testimoni. Dua alas an utama testimoni saya. Pertama, secara internal (minimal sebagai kolega di Fisip Undana) Prof David Pandie tentu bukan ilmuwan kaleng-kaleng.

Dalam dirinya, minimal defakto, Prof David Pandie sesungguhnya telah menjadi Profesor dan Mentor sudah sejak lama.
Bagi saya, pengukuhan hari Senin 11 Agustus 2025 hanyalah praksis pelaksanaan aspek legalitas dejure sebagai Guru Besar.
Kedua, isi orasi ilmiah secara terang benderang menelanjangi mazhab dan sistem yang menempatkan manusia sebagai pusat jagat raya. Prof David Pandie mengeluarkan pernyataan yang provokatif dan menantang.
Beliau lantang memberikan awasan kepada manusia di jagat ini. Dua alasan di atas memantik diskusi lanjutan.
Apakah sumbangan utama dari aspek keilmuan Sang Profesor untuk pengembangan ilmu Administrasi Publik?
Bagaimanakah Administrasi Publik Hijau (GPA) memberikan sumbangan secara sosial?
Banyak orang bisa menjawab dengan jawaban sama atau berbeda dengan saya. Silakan. Namun, satu yang pasti adalah, untuk konteks keilmuan, Administrasi Publik Hijau, masih segelinitir ahli yang menekuninya.
Prof David Pandie merupakan satu di antara para ahli tersebut. Membaca rekam kerja dan jejak riset Prof David Pandie, sulit untuk tidak mengatakan bahwa beliau sungguh menempatkan energi hijau dan kearifan lokal sebagai basis pengembangan ilmu.
Administrasi Publik Hijau yang menjadi konsen Sang Profesor tentu berangkat dari sebuah kegelisahan sosial Sang Guru atas dominasi paradigma positivis dalam ilmu sosial, termasuk ilmu Administrasi Publik.
Beliau sungguh menyadari bahwa determinasi paradigma positivisme berimplikasi pada penempatan hukum ekonomi dan kalkulasi matematik sebagai pilihan Utama pengambilan kebijakan publik.
Dampak lanjutannya ialah semua kebijakan mesti diarahkan untuk tujuan konomi dan harus diukur dengan angka matematis. Ini soal dan sial.
Dalam kerangka itu, kebijakan publik berkiblat mengabdi pada kekuasaan ekonomi dan jauh dari penanaman nilai sosial budaya termasuk dalam bidang lingkungan.
Dari Genosida ke Ekosida
Dunia tengah bergerak ke arah kehancuran. Kehancuran karena ulah manusia. Manusia yang konon merupakan mahluk paling sempurna.
Makhluk yang memiliki akal dan rasio di atas mahluk lain. Kehancuran dunia ditandai oleh dua gejala sekaligus. Kehancuran manusia dan alam.
Di fenomena pertama, sumber utama kehancuran tersebut ialah paradoks eksistensi manusia. Fenomena kehancuran manusia disebabkan karena kealpaan manusia menerapkan nilai dalam kehidupan sosialnya.
Homo sapien yang digadang sebagai mahluk paling cerdas di muka bumi karena kepemilikan akal budi, ternyata menjadi aktor pertama degradasi sosial dan lingkungan.
Wujud nyata kehancuran paling mudah dilihat dalam berbagai macam tragedy genosida. Laporan Journal of Peace Research (Birch & van Bergen, 2022) menyebutkan peningkatan 40 persen konflik bersenjata sejak 2022.
Hal ini disebabkan karena absennya praksis nilai dan etika dalam kehidupan sosial. Tesis Hobbes (1651) tentang perang melawan semua mendapatkan kepenuhan di abad ini.
Perang yang terjadi di mana-mana di belahan bumi cenderung menverifikasi tesis manusia menjadi serigala bagi yang lain tersebut.
Pada titik yang lain, superioritas manusia nampak dalam fenomena yang lebih krusial lagi. Itulah yang oleh Prof David Pandie sebagai gejala Ekosida.
Jika genosida merupakan perwujudan karakter rakus manusia terhadap manusia lain, ekosida adalah wajah buruk manusia terhadap alam.
Studi UNEP (2025) menunjukkan kecepatan kepunahan spesies 1000 kali lebih cepat dari evolusi alami. Dari kasus itu, 70 persen ekosistem darat mengalami kepunahan paling parah.
Pada kasus lain, proses perusakan hutan Amazon, perusakan pantai, dan eksploitasi batu bara secara masif membalikan wajah hidup alam ke zona kematian abadi (Finn et al., 2023).
Laporan Global Risks Report 2025 oleh World Economic Forum menyebut bahwa 93 persen perubahan populasi dunia bersifat antropogenik (disebabkan oleh manusia).
Fatalnya, kemampuan kognitif manusia justru digunakan sebagai mesin penghancur. Di sana, etika khas menjadi hiasan simbolis semata (IPBES, 2023). Anthropocene (yang didominasi manusia) bergeser ke thanatocene (zaman kematian ekologis) (Corlett, 2015).
Dua fenomena kehancuran ini bertemu di titik yang sama yakni dehumanisasi. Jika genosida menurunkan nilai kemanusiaan (human dignity), ekosida merusak relasi simbiotik manusia dengan alam.
Tiga Batu Tungku GPA
Sesungguhnya, Prof David Pandie menawarkan pendekatan baru kebijakan public dalam memahami alam; dari antroposentris ke biosentris.
Pendekatan yang menjadi kerangka konseptual dan epistemik untuk melawan dominasi paradigma lama kebijakan publik.
Kritik utama dan pertama tentu diarahkan kepada paradigma antroposentris. Paradigma antroposentris dikritisi secara vulgar sebagai mazhab yang menghancurkan tidak saja manusia tetapi terutama alam itu sendiri.
Menurut Prof David Pandie, kala antroposentris ditopang nilai kapitalisme maka keduanya dituntun oleh egoisme, materialisme, individualisme dan intelektualisme. Kekuatan menaklukan alam merupakan motif lahiriahnya.
Diperlukan solusi bijak agar manusia dapat segera keluar dari jebakan ekosida yang dibuatnya sendiri.
Beliau menyebut tiga batu tungku Green Public Administration/GPA, yakni kebijakan (mengarahkan), pemerintahan (Lembaga, alat dan mekanisme), dan kapasitas (keterampilan, pola piker, dan nilai).
Peran tiga elemen ini sangat penting dalam menjaga relasi manusia dengan alam.
GPA memposisikan kebijakan sebagai landasan utama yang menginternalisasikan batas ekologis dalam kerangka hukum.
Pilar pemerintahan menempatkan transformasi kelembagaan sebagai pilihan utama untuk menentukan batasan otoritas lingkungan dan elemen ekonomi.
Restrukturisasi kelembagaan integratif merupakan pekerjaan utama pilar kedua ini.
Selanjutnya, pilar ketiga GPA berfokus pada pembentukan kapasitas holistik yang mengelaborasi keterampilan teknis, pola pikir, dan nilai.
Literasi ekologi dapat dipakai sebagai inti pengembangan kapasitas bagi semua elemen. Yang dibahas di sana ialah jejak ekologis (ecological footprint) dan simulasi krisis iklim.
Di sudut yang lain, praksis nilai membutuhkan perubahan filosofis; mengganti pandangan alam sebagai objek menjadi subjek kolektif melalui pendidikan ekosentris.
Akhirnya, Prof David Pandie mengingatkan kita. Merusak alam adalah proyek destruktif untuk menghancurkan tidak saja alam tetapi juga manusia.
Dua elemen utama kehidupan bakal hancur berantakan. Bahaya ekosida ada di situ! (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.