Opini

Opini: Jangan Takut pada One Piece, Rayakan Kreativitas dalam Semangat Kemerdekaan

Jangan buru-buru memberi makna yang menimbulkan ketakutan, seolah simbol tersebut merupakan ancaman. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI YAYAN SAKTI SURYANDARU
Yayan Sakti Suryandaru 

Oleh: Yayan Sakti Suryandaru
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga, Surabaya

POS-KUPANG.COM - Menjelang peringatan HUT ke-80 RI pada 17 Agustus 2025, publik dibuat heboh oleh munculnya bendera bergambar tengkorak—simbol Jolly Roger dari serial One Piece

Tak sedikit yang merasa khawatir, bahkan memandang fenomena ini sebagai ancaman. 

Sebagai pengamat komunikasi budaya dan politik, penulis justru mengajak kita mengubah perspektif. 

Jangan cepat takut dan bereaksi defensif terhadap kelompok-kelompok “nyeleneh” seperti ini. 

Bisa jadi, mereka sebenarnya seperti anak-anak muda yang hanya ingin diperhatikan — dengan cara mereka sendiri: unik, kreatif, dan berbeda.

Baca juga: Opini: Makna Tersembunyi Fenomena Pengibaran Bendera One Piece

Jangan buru-buru memberi makna yang menimbulkan ketakutan, seolah simbol tersebut merupakan ancaman. 

Sikap seperti ini justru bisa mencerminkan ketidakmampuan memahami cara generasi muda mengekspresikan nasionalisme secara kreatif. 

Simbol alternatif seperti Jolly Roger bisa menjadi pintu masuk untuk dialog, bukan alasan untuk curiga.

One Piece, lewat kisah Monkey D. Luffy dan kru Topi Jerami, sebenarnya melukiskan semangat kebebasan dan perjuangan untuk mimpi besar. 

Simbol Tengkorak Jolly Roger bukan semata-lambang pemberontakan negatif, melainkan identitas kelompok yang mengejar cita-cita dan kebebasan. 

Di balik fantasi itu, ada pesan kuat tentang perjuangan, solidaritas, pembebasan diri dari penindasan, dan tekad untuk mengejar mimpi besar.

Dalam konteks peringatan kemerdekaan, kehadiran simbol ini dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi alternatif yang merefleksikan kerinduan akan makna kemerdekaan yang lebih hidup dan kontekstual bagi generasi muda. 

Mereka ingin memaknai “merdeka” bukan sekadar mengenakan batik atau memasang bendera secara seremonial, melainkan dengan menciptakan simbol sendiri yang menggugah dan mengundang perhatian.

Budaya Tandingan: Ruang Alternatif Ekspresi

Fenomena ini bisa dibaca melalui kacamata budaya tandingan (counter culture), yakni ekspresi budaya yang lahir dari ketidakpuasan terhadap budaya dominan. 

Teoretikus budaya Dick Hebdige (1979) dalam bukunya Subculture: The Meaning of Style, menjelaskan bahwa subkultur sering kali menggunakan simbol-simbol yang dimaknai ulang (re-appropriated) untuk menantang tatanan sosial yang mapan. 

Dalam hal ini, penggunaan simbol Jolly Roger adalah strategi kreatif untuk menciptakan ruang makna baru di tengah rutinitas nasionalisme yang makin seragam dan institusional. 

Mereka bukan sedang melecehkan kemerdekaan, melainkan ingin menjadi bagian dari narasi itu, dengan bahasa dan simbol mereka sendiri.

Dari sisi psikologi komunikasi, keberanian menampilkan sesuatu yang berbeda atau menyimpang dari norma umum merupakan strategi untuk menarik perhatian publik. 

Fenomena ini dijelaskan oleh Berlyne (1960) dalam konsep arousal potential, bahwa manusia lebih mudah merespons stimulus yang bersifat baru, kompleks, atau tidak terduga karena memicu rasa ingin tahu dan perhatian. 

Itulah sebabnya, tindakan nyeleneh, seperti mengibarkan bendera bajak laut, lebih cepat viral daripada upacara bendera biasa.

Jadi, mereka yang memasang simbol One Piece bukan semata ingin memberontak, melainkan ingin didengar. 

Simbol itu adalah “pancingan” komunikasi: agar negara, media, atau komunitas dewasa lainnya mau membuka ruang dialog.

Kemerdekaan Bukanlah Monumen, tapi Ruang Hidup

Melihat kemunculan simbol Jolly Roger dari One Piece di ruang publik menjelang peringatan HUT ke-80 RI, kita sebaiknya berhenti menilai ekspresi semacam ini sebagai gangguan atau pembangkangan. 

Sebaliknya, ini adalah sinyal bahwa generasi muda sedang berusaha membangun hubungan emosional dan simbolik mereka sendiri dengan makna kemerdekaan.

Ketimbang sekadar mengulang bentuk-bentuk simbolik yang bersifat seremonial, mereka memilih jalan yang lebih kontekstual. 

Rasanya ini relevan dengan identitas budaya dan media yang mereka konsumsi sehari-hari.

Kemerdekaan tak layak dibakukan hanya dalam bentuk monumen, upacara formal, atau simbol-simbol yang beku dalam narasi masa lalu. 

Ia adalah ruang hidup, yang dinamis, terbuka terhadap perubahan, dan tumbuh bersama generasi yang berbeda-beda. 

Jika negara ingin kemerdekaan tetap bermakna lintas generasi, maka negara juga harus siap menghadirkan ruang yang memberi tempat bagi ekspresi baru. 

Inilah ujian nyata keberanian kita sebagai bangsa: bukan hanya mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga merawat relevansinya.

Kita perlu memahami bahwa simbol-simbol populer yang digunakan anak muda hari ini adalah bagian dari bahasa budaya mereka. 

Negara yang bijak seharusnya mampu membaca lapisan makna ini dan menjadikannya peluang untuk menjembatani kesenjangan antar-generasi.

Daripada menanggapinya dengan pendekatan pengawasan atau represi, negara dan institusi budaya bisa memilih strategi yang lebih partisipatif. 

Dengan begitu, kemerdekaan bukan hanya menjadi milik masa lalu, tetapi juga menjadi pengalaman hidup yang relevan hari ini.

Akhirnya, perayaan kemerdekaan yang sejati adalah perayaan terhadap keberagaman cara memaknai Indonesia. 

Kita tidak sedang bertarung melawan bajak laut, melainkan menghadapi tantangan untuk tetap menjadi bangsa yang terbuka, kreatif, dan tidak takut pada perbedaan. 

Jangan biarkan ketakutan terhadap simbol asing menutupi potensi dialog dan kolaborasi budaya yang sangat kaya. 

Mari sambut setiap bentuk cinta pada Indonesia, termasuk yang datang dalam bentuk tak biasa. Karena dari situlah, kemerdekaan terus menemukan hidupnya kembali. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved