Opini
Opini: Perempuan dalam Bingkisan Sastra
Cerita rakyat sebagai potret kehidupan masa lalu, membawa Anda pada ruang privat yang dapat diakses oleh semua orang.
Oleh: Gregorius Nggadung
Alumni Program Studi Ilmu Linguistik Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Cerita rakyat sebagai salah satu jenis sastra lisan, sangatlah enteng dan hampir tidak terdengar lagi di telinga zaman.
Bukan karena kekosongan jalan, tetapi justru bersandar pada ketiadaan peran.
Jika dulu, salah satu cara membentuk karakter seorang anak adalah dengan sepotong cerita, tetapi sekarang justru menggunting dan memberi jarak.
Zaman memberi rasa tidak nyaman pun mengubah pandangan, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Jarak yang sangat jauh antara cerita rakyat yang melibatkan unsur imajinatif dengan kita yang masih membutuhkan asupan naratif.
Buktinya, anak-anak dininabobokan oleh potret android, sedangkan tradisi mendengar dan mendengarkan sudah jauh di kaki musim.
Ini hanya sebuah pengantar, bentuk penguatan, dan gejolak musiman, Ketika kurikulum berbasis muatan lokal masih bermain di pagar rumah itu.
Cerita rakyat sebagai potret kehidupan masa lalu, membawa Anda pada ruang privat yang dapat diakses oleh semua orang.
Hal ini dipancarkan melalui cerita rakyat yang dapat didengar oleh semua orang, khusus kepada anak-anak yang membutuhkan asupan logika naratif yang dapat membangun kepribadian dan kesadaran nalar.
Setiap cerita rakyat di Manggarai Timur – Flores, Nusa Tenggara Timur, khususnya di Kota Komba, selalu melibatkan unsur perempuan sebagai tokoh utama maupun pelengkap dalam sebuah cerita.
Buktinya, ada beberapa cerita yang menarasikan kedudukan perempuan sebagai makhluk yang pantas hidup dan sepenuhnya harus dihormati seperti manusia pada umumnya.
Tidak heran, dalam setiap cerita, ada nyanyian yang berusaha membawa kita pada ketenangan yang bersifat persuasif.
Kedudukan Perempuan dalam Cerita Rakyat Enu Maria
Cerita yang mengisahkan tentang perempuan yang tidak mempunyai ruang untuk mengartikan dirinya dan kekuatan ideologi laki-laki yang mengisi setiap ruang pendefinisian.
Zaman itu, dalam cerita itu, seorang suami enggan mempunyai anak perempuan. Bahkan, ia meminta kepada istrinya, jika melahirkan anak perempuan – maka harus dibunuh.
Hal yang menggambarkan kerakusan kekuasaan sang suami adalah ia meminta hati dari anak perempuan itu agar diberikan kepadanya.
Bagi seorang Ibu, tidak ada jawaban lain selain menyembunyikan anaknya itu dengan membunuh seekor anjing sebagai pengganti anaknya dan tak lupa, hati tetap untuk sang suami.
Namun, cerita ini berakhir pada kekuatan perempuan menerjemahkan dirinya dalam album yang tertutup, sehingga dengan kekuatan, ketabahan, dan kerumitan yang datang dari dalam dirinya, mampu mendapatkan tempat yang seutuhnya dengan melumpuhkan keegoisan kaum laki-laki.
Hal ini merepresentasikan perempuan dalam mempertahankan haknya sebagai perempuan dan kekuatan cinta yang datang dari hati yang bersih, dapat melumpuhkan keegoisan laki-laki.
Adapun nyanyian yang membawa kita pada perenungan panjang. Sang Ibu meminta anaknya untuk pulang dengan sebuah nyanyian.
Eee enu Maria, mai gha nggita kole, nenge taun ele papa gau. ‘Nona Maria, marilah kita pulang, Bapakmu sudah panggil’.
Maria pun menjawab dengan nyanyian, Een mama, tombo di agu papa, za’o manga muas temu, po’o wuk.
‘Ialah, Mama. Sampaikan kepada Bapak, saya sementara mencuci muka dan merapikan rambut.
Pendefinisian yang lahir dari seorang perempuan adalah ketangguhan yang datang secara lembut. Kekuasaan seakan terbalik.
Ideologi laki-laki yang digambarkan melalui tokoh Bapak, seakan kehilangan kekuatannya – ketika harus berhadapan dengan kelembutan, ketangguhan, dan ketabahan yang datang dari dalam hati sang anak perempuan dan seakan menyatakan, perempuan mempunyai hak dan kewajiban untuk mendefinisikan dirinya.
Belakangan ini muncul frasa molas nai ‘baik hati’ yang mengantar perempuan pada kedudukan yang setara bahkan tertinggi.
Perempuan Berbicara tentang Perempuan
Perempuan dapat melemahkan kedudukannya melalui objek lain dan tidak dapat dipisahkan dan dibatasi.
Sederhananya, perempuan dapat menghukum dan merendahkan martabatnya melalui perempuan lain.
Representasi terselubung ini terdapat pada bagian lain dari cerita rakyat enu Maria.
Ketika anak perempuan itu dilahirkan, sang Ibu menyembelih seekor anjing dan membagikan dagingnya ke seluruh warga kampung sebagai cara untuk menutup rahasia kepada sang suami.
Rencana sang Ibu pun sia-sia, ketika salah seorang warga (perempuan) tidak mendapatkan bagian dari pembagian tersebut.
Akhirnya melaporkan kepada ayah dari anak perempuan tersebut, jika yang ia makan itu bukanlah hati dari anak perempuannya, tetapi hati dari seekor anjing, dan anak perempuan itu belum dibunuh.
Pelemahan kedudukan yang sangat jelas ditujukan langsung oleh tokoh sampingan dalam cerita tersebut.
Hal ini bertentangan dengan sikap sang Ibu yang dengan cara sederhana meluputkan anak perempuannya dari kekejaman laki-laki.
Terkadang, ideologi laki-laki semakin kuat, karena selalu diberikan peluang lebih dari sisi yang berbeda.
Secara spontan, perempuan sebagai tokoh sampingan dalam cerita tersebut membuka realita, merelakan anak perempuan itu dibunuh akibat dari ketidakadilan yang diciptakan sang Ibu.
Namun, berkat kekuatan sang Ibu, anak perempuan itu dapat menjatuhkan kekejaman sang Bapak dengan selembar gaun putih dan sepotong hati yang bersih.
Masih banyak cerita rakyat yang sebetulnya membicarakan tentang kedudukan perempuan masa lalu dan dapat diterjemahkan pada situasi zaman ini.
Cerita rakyat adalah warisan lisan yang disebarkan melalui dialog dengan pendekatan alamiah.
Kehadirannya dapat merevitalisasi ide yang dapat membangun psikologis pendengar dan berujung pada tumbuh pada tempatnya.
Maka dari itu, pentingnya revitalisasi cerita rakyat dan dibentuk menjadi sebuah kurikulum berbasis muatan lokal, agar sifat lokalitas manusia dapat didefinisikan secara alamiah. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.