Opini

Opini: Makna Tersembunyi Fenomena Pengibaran Bendera One Piece

Aksi ini memicu beragam interpretasi, dari sekadar hobi hingga sebuah ekspresi sosial yang kompleks dan sarat akan pesan. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Abner Paulus Raya Sanga 

Oleh: Abner Paulus Raya Sanga
Dosen pada Prodi Ilmu Komunikasi Undana, Penggemar Anime One Piece. Tinggal di Kupang

POS-KUPANG.COM -  Saat Indonesia bersiap merayakan HUT Kemerdekaan ke-80 pada Agustus 2025, sebuah fenomena menarik dan penuh makna telah mencuri perhatian publik. 

Fenomena ini adalah kemunculan bendera Bajak Laut Topi Jerami dari serial anime One Piece yang berkibar di berbagai lokasi dan menyebar luas di media sosial. 

Aksi ini memicu beragam interpretasi, dari sekadar hobi hingga sebuah ekspresi sosial yang kompleks dan sarat akan pesan. 

Masyarakat, khususnya generasi muda, secara kreatif menggunakan simbol ini untuk menyampaikan aspirasi dan kritik yang relevan dengan kondisi bangsa. 

Untuk memahami lebih dalam fenomena ini, kita perlu menganalisisnya tidak hanya dari sudut pandang sosial-politik, tetapi juga melalui kerangka teoretis ilmu komunikasi.

Simbolisme yang Mendalam di Balik Jolly Roger

Untuk memahami fenomena ini, kita harus terlebih dahulu menyelami makna yang terkandung dalam serial One Piece

Karya ciptaan Eiichiro Oda ini bukan sekadar cerita petualangan bajak laut.  Ia adalah sebuah epik yang sarat dengan kritik sosial, politik, dan humanisme. 

Di dunia One Piece, bendera bajak laut atau Jolly Roger, adalah deklarasi identitas dan ideologi. 

Bendera Bajak Laut Topi Jerami, dengan tengkorak yang tersenyum mengenakan topi jerami, melambangkan lebih dari sekadar kelompok kriminal. 

Ia adalah simbol perlawanan terhadap tirani, kebebasan berpendapat, dan persahabatan yang tak terpisahkan. 

Luffy, sang kapten, menolak tunduk pada otoritas Pemerintah Dunia yang korup, yang memaksakan kehendak, mengaburkan sejarah, dan menindas rakyat kecil. 

Setiap aksi Luffy dan krunya adalah wujud nyata dari perjuangan untuk keadilan, kebebasan, dan hak untuk bermimpi tanpa batasan. Konsep-konsep inilah yang relevan dengan kondisi Indonesia. 

Masyarakat, khususnya generasi muda yang tumbuh dengan tontonan One Piece, menemukan resonansi antara cerita fiksi tersebut dengan realitas yang mereka hadapi. 

Pengibaran bendera Topi Jerami di tengah perayaan kemerdekaan adalah cara mereka untuk mengatakan: "Semangat kemerdekaan yang kita perjuangkan 80 tahun lalu, di mana letak wujudnya saat ini?"

Membongkar Makna di Balik Jolly Roger: Perspektif Komunikasi

Dalam ilmu komunikasi, sebuah objek atau tanda memiliki makna yang jauh melampaui wujud fisiknya. 

Bendera One Piece, yang awalnya hanya simbol fiksi, kini telah bertransformasi menjadi alat komunikasi yang kuat, berfungsi sebagai medium untuk menyampaikan pesan- pesan yang mendalam.

Teori Semiotika: Ketika Simbol Berbicara.  Teori semiotika, yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, menjelaskan bahwa setiap tanda terdiri dari penanda (signifier), yaitu bentuk fisik yang dapat dilihat, dan petanda (signified), yaitu konsep atau ide yang diwakilinya. 

Bendera One Piece, dengan gambar tengkorak bertopi jerami, adalah penanda yang mewakili petanda-petanda kompleks. 

Di sisi lain, Bendera Merah Putih adalah penanda sakral bagi petanda kemerdekaan, kedaulatan, dan persatuan. 

Namun, di tengah berbagai isu seperti ketidakadilan, korupsi, dan manipulasi kekuasaan, sebagian masyarakat merasa bahwa makna luhur tersebut belum sepenuhnya terwujud. 

Di sinilah bendera Bajak Laut Topi Jerami masuk sebagai penanda pelengkap. 

Petandanya adalah perlawanan terhadap tirani, kejujuran sejarah, dan perjuangan untuk kebebasan sejati. 

Pengibaran bendera ini lantas menjadi sebuah pernyataan diam yang kuat bahwa, meskipun telah merdeka, semangat perlawanan terhadap penindasan masih sangat relevan. 

Melalui lensa semiotika, fenomena ini dapat diartikan sebagai pergeseran makna simbolis. 

Masyarakat tidak ingin mengganti Merah Putih, melainkan ingin menambahkan lapisan makna baru. 

Mereka ingin menggarisbawahi bahwa perayaan kemerdekaan seharusnya tidak hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang terus berjuang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan di masa kini.

Teori Dramatisme Kenneth Burke: Aksi Simbolis di Panggung Nasional. Teori Dramatisme Kenneth Burke memandang interaksi manusia sebagai sebuah pertunjukan drama simbolis.

Untuk mengkaji sebuah tindakan, Burke menggunakan konsep pentad, yang terdiri dari: Tindakan (Act): Mengibarkan bendera One Piece

Pelaku (Agent): Masyarakat, khususnya kaum muda yang menganggap diri mereka "Nakama"  (teman seperjuangan) dalam dunia nyata.

Panggung (Scene): Momen perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-80, sebuah panggung yang ideal untuk menyampaikan pesan yang berhubungan dengan nilai-nilai perjuangan. 

Peralatan (Agency): Bendera One Piece sebagai medium untuk mengekspresikan kritik. 

Motivasi (Purpose): Menyuarakan kegelisahan atas berbagai masalah bangsa dan mendorong refleksi kolektif. 

Berdasarkan pentad ini, pengibaran bendera tersebut bukanlah tindakan acak. Ini adalah sebuah "drama sosial"  yang disusun untuk menyampaikan pesan yang kuat dan provokatif di momen yang paling sakral bagi bangsa. 

Tindakan ini secara sengaja memanfaatkan latar historis perayaan kemerdekaan untuk menciptakan kontras antara janji kemerdekaan dan realitas yang dirasakan oleh masyarakat.

Teori Interaksionisme Simbolik: Penciptaan Makna Kolektif. Teori ini meyakini bahwa makna sebuah simbol tidaklah baku, tetapi tercipta dan berkembang melalui interaksi sosial. 

Bendera One Piece, yang awalnya hanya dikenal sebagai ikon fiksi, kini mendapatkan makna baru sebagai simbol protes dan aspirasi berkat interaksi masif di media sosial. 

Para penggemar secara kolektif berdiskusi, berbagi interpretasi, dan memperkuat pemahaman bahwa bendera ini adalah representasi dari perjuangan melawan ketidakadilan. 

Proses ini menunjukkan bagaimana kekuatan budaya populer dapat dimanfaatkan untuk menyuarakan gagasan politik dan sosial yang mendalam.

One Piece sebagai Cermin Realitas: Analogi yang Relevan

Kisah One Piece menawarkan analogi yang sangat relevan dengan realitas di Indonesia, menjadikannya medium yang sempurna untuk kritik sosial.

Analogi 1: Pemerintah Dunia sebagai Tirani Kekuasaan. Pemerintah Dunia dalam One Piece adalah representasi dari kekuasaan yang sewenang-wenang dan korup. 

Mereka memanipulasi informasi, menindas rakyat, dan menggunakan Angkatan Laut sebagai alat kekerasan. 

Analogi ini sangat relevan dengan isu-isu yang terus-menerus dihadapi Indonesia, seperti korupsi yang tak pernah tuntas, penyalahgunaan wewenang, dan tumpulnya hukum bagi pihak yang berkuasa.

Pengibaran bendera Topi Jerami menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan structural ini.

Analogi 2: Abad Kekosongan dan Kebenaran Sejarah. Kisah tentang Abad Kekosongan (Void Century) yang sengaja dihapus oleh otoritas penguasa menjadi metafora kuat untuk praktik manipulasi sejarah. 

Di Indonesia, masih ada perdebatan tentang peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu, seperti tragedi 1965 atau kasus-kasus pelanggaran HAM, yang hingga kini belum sepenuhnya terungkap. 

Perjuangan Nico Robin untuk mencari kebenaran adalah cerminan dari semangat para aktivis, sejarawan, dan jurnalis di Indonesia yang berupaya menyingkap tabir masa lalu demi keadilan. 

Bendera One Piece menjadi simbol dari perjuangan untuk kejujuran sejarah dan melawan narasi tunggal yang dipaksakan.

Analogi 3: Kebebasan dan Impian. Perjuangan Luffy untuk menjadi Raja Bajak Laut, yang diartikan sebagai "orang yang paling bebas di lautan",  menginspirasi generasi muda untuk memperjuangkan kebebasan mereka dari batasan sosial, ekonomi, dan politik. 

Ini adalah refleksi dari semangat kemerdekaan yang sesungguhnya: kebebasan untuk hidup tanpa penindasan, kebebasan untuk berpendapat, dan kebebasan untuk mengejar impian. 

Bendera ini menjadi simbol dari harapan bahwa Indonesia dapat menjadi negara di mana setiap warganya benar-benar merdeka untuk mencapai potensinya.

Merespons Fenomena Ini dengan Bijak: Sebuah Refleksi untuk Bangsa

Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan. Ini adalah hasil dari kombinasi beberapa factor sosial dan budaya:

Keterlibatan Budaya Populer: One Piece adalah salah satu waralaba media terbesar di dunia.

Generasi muda Indonesia, yang tumbuh dengan cerita ini, telah menginternalisasi nilai-nilai persahabatan, keadilan, dan perlawanan yang terkandung di dalamnya. 

Budaya pop menjadi bahasa universal yang efektif untuk menyampaikan pesan politik dan sosial.

Kekecewaan Publik: Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu-isu ketidakadilan, korupsi, dan masalah ekonomi telah menciptakan kekecewaan yang mendalam. 

Pengibaran bendera ini adalah saluran ekspresi kreatif untuk menyalurkan perasaan tersebut.

Kekuatan Media Sosial: Media sosial memainkan peran krusial dalam menyebarkan dan menguatkan makna di balik aksi ini. 

Melalui tagar, meme, dan diskusi daring, fenomena ini menjadi gerakan kolektif yang sulit diabaikan.

Fenomena pengibaran bendera One Piece memicu beragam respons. Sebagian pihak menganggapnya tidak pantas dan merendahkan simbol negara, bahkan menilainya sebagai ancaman persatuan. 

Namun, banyak juga pengamat justru melihatnya sebagai sinyal positif bahwa masyarakat masih peduli dengan kondisi bangsa. Merespons fenomena ini dengan bijak adalah keharusan. 

Daripada menghakimi atau mengkriminalisasi, pemerintah seharusnya melihat fenomena ini sebagai sinyal peringatan yang harus didengarkan. 

Ini adalah kesempatan emas untuk membuka dialog dengan generasi muda dan memahami kegelisahan mereka. 

Pengibaran bendera One Piece ini pada dasarnya adalah pengingat bahwa semangat perlawanan terhadap ketidakadilan, yang juga merupakan inti dari kemerdekaan, harus terus hidup. 

Ini bukan tentang mengganti Merah Putih, melainkan tentang mengingatkan kembali makna di balik bendera kita sendiri, yaitu perjuangan tanpa henti untuk sebuah Indonesia yang adil dan makmur. 

Pada akhirnya, ini adalah cerminan dari sebuah bangsa yang masih kritis dan berani berharap akan hari esok yang lebih baik, persis seperti kru Bajak Laut Topi Jerami dalam petualangan mereka
mencari One Piece

Fenomena ini mengajak kita untuk merenung: apakah kemerdekaan sejati hanya tentang bendera yang berkibar, ataukah tentang cita-cita yang harus terus diperjuangkan?

Jawabannya mungkin ada pada setiap bendera yang diibarkan, baik Merah Putih yang suci maupun Jolly Roger yang simbolis, yang sama-sama berteriak lantang tentang perjuangan dan harapan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved