Opini
Opini: Joko Widodo, Dedy Mulyadi dan Feodalisme
Ia menyebut ini sebagai "sistem yang tidak adil" karena hanya segelintir orang yang bisa menikmati keuntungan.
Oleh: RD. Polikarpus Mehang Praing
Tinggal di Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang
POS-KUPANG.COM - Feodalisme berasal dari kata feudum yang berarti tanah. Ini adalah kekuasaan aristokrasi atau kebangsawanan dalam sistem penguasaan tanah dan ekonomi di masyarakat.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga menjelaskan, feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberi kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
Dikatakan, istilah feodalisme muncul pertama kali di Prancis pada abad ke-16.
Ada tiga prinsip utama dalam feodalisme. Pertama, Kekuasaan. Sistem feodalisme fokus pada kekuasaan yaitu menguasai politik, sosial, ekonomi, budaya dan segala aspek kehidupan.
Bentuk kekuasaan dalam sistem feodalisme, adalah sentral pada satu pemimpin.
Kedua, Kekerabatan. Kekuasaan dalam feodalisme hanya berkutat dengan kelompok tertentu, yang kerabat.
Misalnya, ketika seorang pemimpin meninggal akan digantikan anaknya. Jika tidak memiliki anak maka yang gantikan adalah keluarganya lain.
Ketiga, Pengkultusan. Ada pengkultusan terhadap pemimpin. Mereka tidak hanya dihormati tapi juga dipuja. Biasanya pengkultusan ini tidak terlepas dari mitos yang diciptakan.
Selain itu, mengutip Bayu Ardi Isnanto, ada empat orientasi feodalisme.
Pertama, Harta. Dalam pemerintahan feodal, para penguasa selalu berorientasi pada harta kekayaan dalam wujud apa saja, terutama penguasaan tanah.
Penguasa sering menjadikan rakyat sebagai alat untuk menambah harta para penguasa.
Kedua, tahta. Ini adalah jabatan atau posisi tertentu dalam pemerintahan. Mereka yang dekat dengan pemerintahan atau memiliki gelar bangsawan akan lebih dihormati dan memiliki hak-hak istimewa.
Ketiga, wanita. Bangsawan dikenal memiliki banyak istri. Mereka menjadikan wanita sebagai budak untuk memenuhi hasrat seksual.
Para filsuf telah melakukan kritik atas sistem ini. Jean-Jacques Rousseau, filsuf abad ke-18, menyatakan bahwa sistem ini menimbulkan kesenjangan sosial yang besar antara kelas atas dan kelas bawah.
Ia menyebut ini sebagai "sistem yang tidak adil" karena hanya segelintir orang yang bisa menikmati keuntungan.
Menurut Rousseau, feodalisme bertentangan dengan kesetaraan dan kebebasan asli manusia.
Sistem feodalisme menempatkan kelas atas sebagai penguasa dan kelas bawah sebagai subjek yang harus taat pada mereka. Ini melawan prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan dalam sistem sosial.
Karl Marx, filsuf abad ke-19, menganggap feodalisme sebagai bentuk masyarakat yang melelahkan sebelum penjajahan kapitalis.
Marx berpendapat bahwa sistem feodalisme menciptakan bencana ekonomi karena upah yang diterima pekerja sangat sedikit dan sebagian besar pendapatan dihasilkan oleh tuan tanah, pemilik tanah.
Produksi dijalankan oleh rakyat jelata, sedangkan tanah dan peralatan dikuasai oleh tuan tanah. Oleh sebab itu, Marx, meminta rakyat jelata memperjuangkan hak-hak mereka.
Menurut Marx ada konsekuesi perpanjangan sistem feodalisme pada kapitalisme. Ia memberi konsep supaya kelas pekerja bersatu dan memberontak melawan kaum borjuis atau pemilik modal.
Marx berpendapat bahwa feodalisme bukan hanya memperburuk ekonomi tetapi menjadi perjuangan kelas.
Oleh karena itu, bisa disimpulkan, sistem feodalisme, yang eksis dalam kemimpinan berbangsa dan bernegara adalah hal sulit untuk diterima.
Atau pemimpin–pemimpin, yang lahir dari sistem feodal, sulit mengeksekusi spirit kepemimpinan yang merakyat atau berpihak untuk kesejahteraan rakyat kecil, tidak bisa mendekati dan menyatu dengan orang kecil, tidak bisa hidup ditengah rakyat yang susah.
Mereka tidak tahu kesusahan orang kecil bahkan memeras rakyat kecil dan miskin.
Indonesia, dengan penduduk mayoritas petani, sulit beradaptasi bahkan tidak cocok dengan bentuk kepemimpinan ini.
Bangsa, dengan masyarakat demikian, lebih merindukan pemimpin yang hadir di tengah tengah mereka; duduk bersama, turun ke sawah dan “mandi lumpur” bersama mereka.
Itu berat, tidak mungkin dan mustahil dilakukan pemimpin dari kalangan feodal, bangsawan.
Spirit mereka, seperti konsep di atas; dilayani bukan melayani. Mereka terbiasa memerintah dan menyuruh hamba hamba atau budak budak, duduk menjaga tahta dan istana, dijaga dan dikawal pengawal dan tidak bisa dikritik oleh siapapun karena kehormatan mereka sebagai bangsawan.
Ada dua figur pemimpin di Indonesia Jokowi dan Dedy Mulyadi. Dua figur yang populer.
Jokowi adalah presiden ke-7 Indonesia yang memimpin selama dua periode. Wali Kota Solo 2005 dan 2010. Gubernur Jakarta 2012. Presiden 2014-2024.
Dedy Mulyadi; DPRD Purwakarta 1999-2004, Wakil Bupati Purwakarta 2003, Bupati Purwakarta dua periode. Sekarang Gubernur Jawa Barat periode 2025-2030.
Latar belakang Jokowi adalah anak pengusaha dan penjual kayu dan bambu di sekitar bantaran kali Karanganyar, Solo. Jokowi jauh dari kata mewah.
Bapaknya bernama Noto Mihardjo dan Ibu bernama Sujiatmi. Keluarga Jokowi bisa dikatakan keluarga yang kurang mampu khususnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kesulitan membayar uang sekolah, kesulitan mencari makan, dan lain lainnya.
Jokowi di masa mudanya, membantu ayahnya yang bekerja sebagai tukang kayu.
Kadang setelah pulang sekolah, ikut menagih pembayaran kepada pelanggan yang sudah membeli kayu dan membantu menaikkan kayu yang sudah dibeli oleh pelanggannya ke atas becak atau gerobak.
Bersama keluarga, dia pernah mengalami penggusuran rumah kediamannya.
Dedy Mulyadi juga adalah masyarakat biasa. Ayahnya bernama Sahlin Ahmad Suryana dan ibu Bernama Karsiti. Bapaknya pensiunan tentara prajurit kader dengan usia karier 28 tahun.
Ayahnya bertugas menjaga kebun karet dan setelah merdeka diberi tempat penjagaan. Dan ayahnya meninggal lantaran sakit.
Menariknya kedua orang ini menjadi pemimpin yang disukai dan dicintai oleh masyarakat Indonesia. Ini fakta.
Mereka berulang-ulang menjadi pemimpin di berbagai level. Tanpa mengingkari kekurangan manusiawi dan siasat politik lainnya, mereka berdua didukung dan dicintai mayoritas masyarakat Indonesia.
Perlu dikatakan masyarakat dukung, menjadikan mereka pemimpin, karena ada yang baik dan bagus dilakukan. Masyarakat percaya karena ada bukti yang baik dan benar.
Apanya? Satu hal dari banyak hal, mereka adalah pemimpin yang tidak sulit dan gampang hadir dan ada di tengah masyarakat teristimewa yang kecil, orang orang sederhana dan para petani.
Gampang blusukan, masuk gorong gorong atau turun lapangan. Mereka dekat dan tidak jijik dengan petani dan orang sederhana.
Mereka pemimpin bukan hanya memerintah atau menjaga tahta tetapi bersama rakyat dan tahu serta memahami kerinduan orang orang kecil atau sederhana.
Kemampuan dan kekuatan itu, dipahami dan dilakukan, karena sudah belajar dan hidup sebagai masyarakat biasa. Dan cara itu sulit bagi pemimpin dengan latar belakang feodalisme.
Jadi Jokowi dan Dedi Mulyadi, dalam konteks tertentu, adalah kritik bahkan perlawanan terhadap kepemimpinan feodal untuk Indonesia.
Pertama, Indonesia dengan mayoritas petani bahkan miskin, butuh pemimpin yang bisa dekat, tahu persoalan dan mampu memberi solusi bagi rakyat.
Kedua, calon atau pemimpin dari masyarakat sipil, non-feodal, perlu apresiasi masyarakat dan dikritik bila tidak bijak.
Ketiga, demi kemajuan dan perkembangan wilayah atau bangsa, sesuai konsep feodalisme diatas, tinggalkan spirit kepemimpinan yang demikian. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Polikarpus-Mehang-Praing1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.