Opini
Opini: Ketika Algoritma Menentukan Kebenaran
Ia menawarkan dunia yang begitu luas, mudah dijangkau, dan banyak peluang untuk memperkaya wawasan individu.
Oleh: Antonius Guntramus Plewang
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Media digital telah mengubah cara kita memperoleh dan membagikan informasi.
Ia menawarkan dunia yang begitu luas, mudah dijangkau, dan banyak peluang untuk memperkaya wawasan individu.
Namun, di balik kemudahan akses yang tersedia, tersimpan paradoks yang sulit dibendung: semakin luasnya akses informasi ternyata tidak otomatis membuat kita menjadi lebih cerdas, bijak, atau kritis.
Alih-alih mendapat insight yang lebih komprehensif, kita justru dibanjiri oleh informasi yang simpang siur, tidak pasti, dan sifatnya manipulatif.
Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise memaparkan peristiwa banjir informasi yang terjadi di Amerika Serikat.
Dia berpendapat bahwa banyak informasi belum tentu lebih baik (Nichols, 2017). Ini sesuai dengan hukum Sturgeon yaitu lebih banyak belum tentu lebih berkualitas.
Informasi yang membanjir kerap memicu kebingungan bagi masyarakat digital dan mengobrak-abrik cara kita memandang dunia.
Masyarakat semakin sulit untuk memastikan informasi mana yang lebih akurat dan dapat dipercaya.
Selain banjir informasi, adapun gejala media digital yang membatasi informasi yang ada.
Gejala ini dipengaruhi oleh algoritma media digital yang beroperasi dengan logika komersial dan personalisasi.
Algoritma-algoritma tersebut belajar dari “remah-remah” jejak data yang kita tinggalkan di dunia digital (Schwab, 2019).
Bahwasannya, sistem akan menyaring, mengurutkan, dan menampilkan konten informasi yang melulu relevan dengan preferensi kita.
Oleh sebab itu, identitas kita ditentukan oleh algoritma ini. Dengan kata lain, kita adalah apa yang kita cari, temukan, dan akses dalam media digital.
Hasilnya adalah pencarian informasi yang sempit dan berulang, membatasi kesempatan untuk menemukan perspektif baru.
Maka muncul pertanyaan besar: apakah benar media digital memperkaya wawasan kita, atau justru menjerumuskan kita ke dalam perangkap keterbatasan berpikir?
Pengaruh Filter Bubble dan Echo Chamber
Ada dua konsep yang dapat menjelaskan fenomena ini yaitu filter bubble dan echo chamber.
Filter bubble (gelembung filter/epistemik) mengacu pada sistem algoritma yang hanya memungkinkan pengguna mengakses konten atau informasi yang sesuai dengan perilaku atau kebiasaan di internet atau web (Wulandari, dkk, 2021).
Filter bubble pertama kali diperkenalkan oleh Eli Pariser dalam acara Ted Talk (2011).
Dia menyadari kehadiran media digital seperti Facebook memiliki sistem algoritma untuk memunculkan topik-topik yang sering diklik di Facebook.
Dalam konteks saat ini, apabila dalam bermedia (Tiktok, Youtube, Instagram) pengguna sering melihat konten-konten yang bernuansa politik, maka algoritma akan memungkinkan pengguna untuk memperoleh konten serupa.
Sementara echo chamber atau ruang gema adalah suatu lingkungan yang membuat pengguna hanya menemukan informasi yang memperkuat pendapat atau pandangannya sendiri (GCFLearns, 2019).
Echo chamber dapat menjadi alat yang baik untuk mendukung, memperkuat kekuasaan melalui kontrol epistemik (Nguyen, 2018).
Algoritma akan mengelompokkan pendapat yang sama dalam satu ruang dengan mendiskreditkan pendapat lain yang bertentangan dengannya.
Akibatnya, ketika pengguna berinteraksi di ruang digital, mereka cenderung menolak wacana yang kontradiktif.
Pendapat yang berbeda atau dianggap “beroposisi” seringkali tidak hanya diabaikan, tetapi juga diserang bahkan disingkirkan.
Mereka akan terus-menerus menyuarakan pandangan yang benar-benar mendukung pandangan mereka sendiri.
Pada titik ini, masyarakat digital tidak lagi mencari informasi, melainkan konfirmasi (Nichols, 2017).
Apa pun yang meneguhkan keyakinan mereka sebelumnya adalah valid. Era Pasca-kebenaran Gejala ini menjadi semakin parah di era pasca-kebenaran.
Manusia sebagai Homo Sapiens adalah spesies dari pasca-kebenaran, yang kemampuannya bergantung pada penciptaan dan kepercayaan terhadap fiksi atau kebohongan (Harari, 2018).
Dalam masyarakat pasca-kebenaran, kebenaran tidak lagi dipersoalkan karena yang penting ialah apa yang dirasa benar menurut pandangan pribadi atau narasi fiktif yang seolah sudah mapan.
Data dan fakta mereka abaikan yang penting nyaman dengan pembenaran yang sudah ada (Setyo Wibowo, 2019).
Era pasca-kebenaran memiliki kaitan yang erat dengan filter bubble dan echo chamber.
Kedua konsep ini membentuk sistem algoritma yang memang mempengaruhi cara pandang kita dalam memahami kebenaran. Terutama, dalam echo chamber, permainan algoritma sangat kentara dalam menentukan subjektivitas kebenaran.
Dengan algoritma yang ada, kebenaran akan diproyeksikan sesuai dengan konten-konten yang disukai pengguna.
Sebagai contoh, apabila pengguna sering mengonsumsi konten yang sensasional, apakah dia bisa melihat sisi kebenaran dari konten itu?
Pada kenyataannya memang terjadi sehingga berita bohong, manipulasi narasi, dan propaganda digital mudah memakan korban karena lebih memikat secara emosional.
Saat ini masyarakat digital lebih tertarik dengan konten sensasional daripada yang esensial.
Ditambah lagi, minimnya kurasi informasi dan rendahnya keinginan untuk merefleksikan kebenaran dari sudut pandang yang berlawanan membuat masyarakat kehilangan kompas moral dan intelektual dalam memilah mana yang layak dipercaya.
Media digital, yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan informasi, justru menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks, disinformasi, dan pembelokan kebenaran.
Proposal Generatif: Membangun Kesadaran Digital Baru
Di tengah kekacauan informasi ini, sudah saatnya kita melakukan evaluasi mendalam terhadap identitas digital kita. Selama ini identitas digital kita sangat bergantung pada algoritma media.
Kita harus keluar dari sistem dan kembali membentuk identitas yang lebih integral serta terbuka terhadap dunia.
Pertanyaannya, bagaimana kita bersikap, berpikir, dan merespons informasi yang hadir di hadapan kita setiap hari?
Pertama, setiap pengguna perlu secara aktif menghindari resistensi terhadap informasi baru. Sikap terbuka, tanpa berarti mudah percaya, menjadi fondasi penting bagi literasi digital yang sehat.
Kita perlu memberikan ruang keberagaman perspektif dengan pikiran holistik dan tidak serta merta menolak hanya karena informasi itu berbeda dari keyakinan pribadi.
Kedua, cek dan ricek menjadi prinsip utama dalam menguji validitas informasi. Mengkritisi sebuah sumber untuk melihat data yang disajikan sumber tersebut (akurat atau tidak).
Cari referensi pembanding, gali informasi dari berbagai kanal, dan uji dengan nalar kritis. Jangan biarkan algoritma membatasi kita hanya pada satu sisi narasi.
Ketiga, penting bagi setiap pengguna untuk menyadari dan melawan sistem operasi algoritma digital yang mempersempit akses terhadap informasi global.
Kita bisa mengganggu algoritma dengan sengaja mencari topik yang tidak biasa, mengeklik konten yang di luar kebiasaan kita, atau mengikuti akun yang menawarkan sudut pandang berbeda.
Langkah kecil ini bisa membuka kembali jendela informasi yang lebih luas. Namun, tetap melakukan cek dan ricek.
Akhirnya, konsistensi dalam literasi digital adalah kunci. Bijak bermedia tidak cukup hanya dengan mengetahui cara menggunakan platform, tetapi juga memahami dampak sosialdan kognitif dari setiap interaksi digital.
Kita perlu memperlakukan media digital bukan sekadar sebagai hiburan atau pelarian, tetapi sebagai ruang intelektual yang bisa membawa kita pada pemahaman yang lebih luas, melampaui ketertarikan personal, dan mengedepankan nilai kebenaran universal. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.