Opini
Opini: Mengatasi Akar Sosioekonomi Penyebab 145 Ribu Anak Tidak Sekolah di NTT
Ironisnya, sebagian besar ATS tumbuh di wilayah dengan indeks pembangunan manusia (IPM) terendah di Indonesia.
Keterlibatan tokoh adat dan pemuka agama dapat membuka jalan: mereka memiliki wibawa untuk mendorong keluarga adat agar mengutamakan pendidikan anak-anak.
Kolaborasi ini kerap tercipta dalam forum-forum desa, tetapi perlu diperluas ke seluruh NTT.
Dengan dukungan mereka, stigma "pendidikan bukan keharusan" perlahan bisa dihapus.
Tokoh adat dan pemuka agama juga bisa menjadi mentor bagi siswa, memberi teladan bahwa pendidikan adalah jalan menuju kesejahteraan.
Dialog lintas budaya semacam ini memperkuat akar sosial untuk mendukung sekolah.
Teknologi digital-seperti pembelajaran jarak jauh melalui radio komunitas atau modul offline-bisa menjadi jmwaban bagi anak-anak di wilayah tanpa internet.
Pilot project sudah menunjukan keberhasilan di beberapa kecamatan, menurunkan angka drop-out hingga 30 persen.
Namun, perangkat dan pelatihan guru masih kurang memadai. Pemerintah perlu berinvestasi pada infrastruktur teknologi dan pelatihan literasi digital agar solusi ini skala besarnya optimal.
Dengan model blended learning, anak-anak di pelosok pun dapat mengikuti kurikulum nasional.
Lembaga Alternatif Learning Center (ALC) di desa-desa perlu diperkuat. ALC memungkinkan anak usia sekolah menerima pendidikan dasar di waktu dan tempat yang fleksibel, menyesuaikan dengan musiman kerja keluarga.
Model ini telah menolong ratusan ATS kembali ke bangku sekolah. Namun, dana operasional ALC masih bersumber dari sumbangan lokal sehingga keberlanjutannya terancam.
Pertu regulasi yang mengikat pemerintah daerah untuk mendanai ALC sebagai bagian dari sistem pendidikan formal.
Pendidikan vokasi berbasis kearifan lokal juga membuka peluang pelatihan keterampilan pertanian, perikanan, atau kerajinan lokal dapat menarik minat ATS untuk kembali bersekolah dengan janji keterampilan yang langsung berdaya guna.
Misalnya, kursus membatik endek atau pengolahan rumput laut dapat diselenggarakan di sekolah kejuruan setempat.
Hal ini menjadikan pendidikan relevan dengan kehidupan sehari-hari dan kebutuhan pasar. Dengan begitu, ATS melihat nilai langsung dari sekolah sebagai jalan keluar dari kemiskinan.
Isu kesetaraan gender memerlukan perhatian khusus. Angka putus sekolah anak perempuan lebih tinggi, sehingga program beasiswa dan wali kelas perempuan perlu diperkuat untuk memastikan hak belajar mereka terpenuhi.
Role model perempuan sukses dari NTT bisa diundang berbicara di sekolah-sekolah desa untuk mematahkan stereotip.
Pendekatan sensitively gender juga wajib diintegrasikan dalam kurikulum Hal ini akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif bagi siswa perempuan.
Kemitraan antara pemerintah, swasta, dan Lembaga donor telah menunjukkan dampak positif.
Beberapa perusahaan lokal menyediakan beasiswa dan membangun ruang kelas, tetapi cakupan program masih terbatas.
Diperlukan mekanisme insentif pajak atau CSR yang lebih transparan agar partisipasi sektor swasta makin masif.
Selain itu, laporan dampak sosial (social impact report) wajib dipublikasikan untuk menilai efektivitas investasi pendidikan swasta. Sinergi seperti ini memperkuat ekosistem pendidikan.
Peran organisasi keagamaan masjid, gereja, dan pura tidak kalah penting. Mereka bisa mengintegrasikan pendidikan karakter dan pengetahuan dasar di kegiatan keagamaan rutin, menarik miniat keluarga untuk mendaftarkan anak.
Banyak pesantren dan gereja telah membuka kelas bimbingan belajar pagi hari dengan biaya nol rupian.
Model ini bisa diadopsi lebih luas di NTT, memanfaatkan fasilitas ibadah sebagai ruang belajar tambahan. Kolaborasi lintas agama ini memperkuat persatuan dan mendukung pendidikan.
Sistem monitoring berbasis data real-time dari BPMP NTT harus terus diperbaiki.
Pelaporan berkala dan transparan memungkinkan pemangku kebijakan segera merespons lonjakan ATS di zona tertentu.
Dashboard digital yang dapat diakses publik juga bisa mendorong partisipasi masyarakat dalam permantauan.
Dengan cara ini, data bukan hanya tersimpan di kantor, tetapi menjadi alat advokasi masyarakat.
Tindakan cepat berbasis data akan meminimalkan anak-anak yang terdampak lebih parah.
Akhirnya, solusi bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Dibutuhkan sinergi multisektoral- pemerintah pusat dan daerah, masyarakat adat, LSM, sektor swasta, dan lembaga keagamaan-untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.
Rapat koordinasi lintas sektor harus digelar minimal setiap triwulan untuk evaluasi dan perbaikan bersama.
Masyarakat sipil perlu memastikan suara keluarga miskin terdengar dalam penentuan kebijakan.
Dengan kolaborasi berkelanjutan, angka ATS bisa ditekan secara signifikan.
Dengan membuka peluang melalui kebijakan pro-rakyat, pemberdayaan komunitas, dan inovasi pendidikan, NTT dapat menurunkan angka ATS secara signifikan.
Ini bukan hanya soal menuntaskan angka, melainkan memberi harapan dan masa depan cerah bagi 145 ribu anak yang selama ini terpinggirkan.
Semangat kolaborasi dan komitmen semua pihak adalah modal utama. Jika kita gagal, generasi NTT selanjutnya akan terus terperangkap dalam kemiskinan dan ketidaktahuan. Namun, dengan tekad bersama, masa depan mereka dapat berubah. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.