Opini
Opini: Mengatasi Akar Sosioekonomi Penyebab 145 Ribu Anak Tidak Sekolah di NTT
Ironisnya, sebagian besar ATS tumbuh di wilayah dengan indeks pembangunan manusia (IPM) terendah di Indonesia.
Oleh: Dr. Rikardus Herak, S.Pd., M.Pd
Akademisi Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Fakta bahwa 145.268 anak tidak sekolah (ATS) di Nusa Tenggara Timur hingga 8 Juli 2025 mengungkapkan krisis pendidikan yang berakar kuat pada ketimpangan sosioekonomi.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret generasi muda yang terpinggirkan oleh realitas kemiskinan, jarak, dan keterbatasan akses.
Setiap angka menyimpan cerita tentang keluarga yang menahan lapar agar anaknya bisa bersekolah jika saja ada sekolah.
Ironisnya, sebagian besar ATS tumbuh di wilayah dengan indeks pembangunan manusia (IPM) terendah di Indonesia.
Kondisi ini menuntut kita melihat lebih jauh ke dalam struktur sosial yang menciptakan ketidaksetaraan.
Kemiskinan ekstrem di banyak kabupaten NTT menjadi penyebab utama tingginya ATS.
Keluarga yang bergantung pada penghasilan pertanian subsisten atau nelayan aral kecil seringkali memilih menarik anak-anak mereka dari sekolah demi menambah tenaga kerja di ladang atau perahu.
Situasi ini membuat pendidikan dipandang sebagai kemewahan, bukan kebutuhan dasar.
Belum lagi fluktuasi harga komoditas pertanian yang membuat penghasilan keluarga makin tak menentu.
Akibatnya, anak-anak kehilangan kesempatan tumbuh dan belajar, sehingga jeratan kemiskinan terus berulang sepanjang generasi.
Kondisi geografis NTT, yang terbagi pada banyak pulau dengan topografi terjal, menambah rintangan.
Anak-anak di desa terpencil harus menempuh perjalanan jauh dan berbahaya hanya untuk sampai di sekolah terdekat, sehingga banyak yang akhirnya tak melanjutkan pendidikan.
Perjalanan puluhan kilometer di jalan tak beraspal, dengan risiko longsor saat hujan, memaksa banyak keluarga memilih menyekolahkan anak di kota jika ada biaya.
Seringkali, keputusan untuk berhenti sekolah menjadi satu-satunya jalan selamat bagi keselamatan anak, padahal, akses pendidikan seharusnya menjadi hak universal tanpa memandang geografis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.