Opini

Opini: Imunitas Advokat Antara Perlindungan Profesi dan Kekebalan yang Mengancam Keadilan

Jika kita ingin sistem peradilan kita bermartabat, maka profesi advokat harus mulia tidak hanya dalam haknya, tetapi juga dalam etikanya. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Heryon Bernard Mbuik 

Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen PGSD FKIPUniversitas Citra Bangsa Kupang, Peneliti bidang Manajemen Pendidikan, kepemimpinan pendidikan, dan reformasi peradilan di NTT

POS-KUPANG.COM - Reformasi hukum pidana nasional telah resmi dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Di tengah sorotan publik terhadap isu-isu besar seperti living law, penghinaan terhadap Presiden, dan pidana mati, satu pasal yang relatif luput dari perhatian luas publik adalah Pasal 282 KUHP tentang hak imunitas advokat.

Pasal ini menyatakan bahwa advokat tidak dapat dipidana atau digugat secara perdata atas pernyataan yang disampaikan di dalam sidang pengadilan, sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan dalam rangka pembelaan hukum. 

Sekilas pasal ini terdengar masuk akal: advokat memang seharusnya bebas menyampaikan pembelaan tanpa takut dikriminalisasi. 

Namun ketika dipahami lebih dalam, ketentuan ini menyimpan potensi dilematis antara menjamin kemerdekaan profesi, atau menciptakan celah impunitas hukum yang dapat merusak keadilan.

Sepakat di Dua Undang-Undang Sekaligus

Polemik makin mengemuka ketika dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), ketentuan serupa kembali dimasukkan secara eksplisit. 

Pada 24 Maret 2025 lalu, Komisi III DPR RI dan Pemerintah menyepakati penambahan Pasal 140 ayat (2) RUU KUHAP yang menyatakan:

“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan.” Sumber: antaranews.com, 25 Maret 2025).

Tak hanya itu, pasal kontroversial 142 ayat (3) RKUHAP yang sebelumnya melarang advokat memengaruhi saksi di luar ruang sidang, dihapus atas desakan organisasi advokat

Maka, secara normatif, posisi advokat kini mendapat dua lapis perlindungan hukum: di KUHP dan KUHAP.

Organisasi profesi seperti PERADI SAI menyambut langkah ini sebagai tonggak perlindungan terhadap advokat dari kriminalisasi. 

Ketua Umum Peradi SAI, Juniver Girsang, menyebutnya sebagai “keputusan bersejarah yang menjawab keresahan praktisi hukum.” (liputan6.com, 25/03/2025)

Namun, dalam perspektif yang lebih kritis, para akademisi hukum dan kelompok masyarakat sipil seperti ICJR dan PSHK justru mengingatkan bahwa penguatan imunitas tanpa batas dan tanpa mekanisme etik yang transparan akan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dalam profesi advokat.

Perlindungan atau Kekebalan?

Sebenarnya, hak imunitas bukanlah barang baru. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga mencantumkan ketentuan serupa dalam Pasal 16. 

Namun KUHP dan RKUHAP kini mengangkatnya ke dalam struktur hukum pidana dan acara pidana nasional, menjadikannya bagian dari sistem hukum utama, bukan sekadar lex specialis.

Pertanyaannya, apakah imunitas yang diberikan itu benar-benar untuk melindungi profesi dari intimidasi hukum, atau justru akan menjadi alat legal untuk melontarkan tudingan, fitnah, bahkan ujaran tidak berdasar dalam ruang sidang tanpa takut dituntut?

Dalam praktik pengadilan, sangat mungkin terjadi kasus di mana advokat melempar tuduhan kepada saksi, menyudutkan korban, atau bahkan menyerang pribadi jaksa dan hakim, lalu berlindung di balik pasal imunitas

Jika tidak ada mekanisme etik yang ketat, maka itikad baik hanya akan menjadi frasa basa-basi yang sulit dibuktikan.

Bandingkan dengan Negara Lain

Dalam sistem hukum lain seperti Belanda dan Australia, hak imunitas advokat juga diakui, tetapi dengan batasan ketat. 

Di Australia, High Court dalam kasus Giannarelli v. Wraith (1988) menegaskan bahwa imunitas advokat diberikan bukan untuk melindungi individunya, tetapi untuk menjaga proses peradilan agar berjalan efisien dan adil. 

Imunitas tidak menghapus tanggung jawab etik atau profesional.

Di Inggris, qualified privilege berlaku: advokat tidak bisa digugat atas pernyataannya dalam sidang, selama ia bertindak profesional dan dalam konteks pembelaan yang wajar. 

Ketika melampaui itu misalnya membuat pernyataan fitnah yang disengaja advokat tetap bisa dikenai sanksi etik bahkan pidana.

Mengapa Indonesia malah bergerak ke arah yang lebih longgar?

Risiko terhadap Keadilan Substantif

Ada risiko besar bila hak imunitas advokat tidak diimbangi oleh akuntabilitas etik. 

Dalam laporan tahunan Komnas HAM (2022), salah satu keluhan terbesar dari saksi dan korban adalah perlakuan intimidatif di ruang sidang, baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh kuasa hukum pihak lawan.

Dalam posisi ini, hak imunitas yang tidak terawasi bisa menjadi senjata yang mengintimidasi alih-alih membela. Apalagi tidak semua advokat menjunjung tinggi kode etik. 

Laporan Dewan Kehormatan PERADI (2023) mencatat lebih dari 300 pelanggaran etik sepanjang tahun, banyak di antaranya berkaitan dengan pernyataan tidak pantas di ruang sidang.

Kita tentu tidak ingin ruang pengadilan sebagai simbol keadilan berubah menjadi panggung adu kekuasaan, di mana pihak dengan kuasa hukum terkuat bisa menekan siapa pun yang berbeda suara.

Solusi: Batasi, Awasi, dan Didik

Alih-alih mencabut pasal imunitas yang memang penting untuk keberanian advokat dalam membela klien pemerintah dan DPR seharusnya:

  • Membuat peraturan pelaksana (PP atau Perma) yang menjelaskan dengan rinci apa yang dimaksud dengan “itikad baik”, dan bagaimana menilainya secara objektif.
  • Menguatkan peran Dewan Kehormatan Organisasi Advokat agar bisa melakukan penyelidikan cepat jika ada dugaan pelanggaran etik yang dilindungi dalih imunitas.
  • Memasukkan pendidikan etik hukum yang mendalam dalam kurikulum pendidikan advokat dan pelatihan profesi.
  • Memberikan hak jawab dan perlindungan hukum kepada saksi, korban, atau pihak lain yang dirugikan oleh pernyataan advokat di pengadilan.

Penutup: Imunitas Bukan Impunitas

Hukum adalah alat untuk keadilan, bukan tameng bagi kekuasaan. Ketika seorang advokat berbicara dalam ruang sidang, ia membawa suara hukum, bukan sekadar suara klien. 

Maka hak imunitas harus dimaknai sebagai jaminan kebebasan untuk membela dengan tanggung jawab, bukan kebebasan untuk menyerang tanpa batas.

Jika kita ingin sistem peradilan kita bermartabat, maka profesi advokat harus mulia tidak hanya dalam haknya, tetapi juga dalam etikanya. 

Dalam hal ini, itikad baik tak bisa dibiarkan menjadi frasa kosong. Ia harus hidup dalam peraturan, diawasi oleh mekanisme, dan dipelihara dalam nurani profesi. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved