Opini
Opini: Sekolah Mahal Guru Sengsara, Ironi Pendidikan Kita
Sekolah negeri maupun swasta menarik pungutan dalam berbagai rupa: dari seragam, sumbangan bangunan, daftar ulang, hingga ekskul wajib.
Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen PGSD Universitas Citra Bangsa Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Tahun ajaran baru seharusnya menjadi momen sukacita bagi keluarga. Namun bagi banyak orang tua di Kota Kupang, bulan Juli berubah menjadi musim keluh kesah.
Sekolah negeri maupun swasta menarik pungutan dalam berbagai rupa: dari seragam, sumbangan bangunan, daftar ulang, hingga ekskul wajib.
Di saat yang sama, para guru honorer dan pengajar sekolah swasta hidup dalam keterbatasan ekonomi.
Inilah ironi pendidikan kita: biaya pendidikan melambung, tetapi kesejahteraan guru tetap tenggelam.
Pungutan yang Membebani
Kasus-kasus berikut menggambarkan realitas berat yang dihadapi orang tua.
SMAN 5 Kota Kupang memungut biaya siswa baru hingga Rp2,2 juta, termasuk pembelian seragam batik, topi, dasi, uang pembangunan, dan "sumbangan delapan standar pendidikan" sebesar Rp900 ribu⊃1;.
Ombudsman NTT menilai pungutan ini bertentangan dengan prinsip keadilan pendidikan karena banyak komponen sudah seharusnya ditanggung oleh Dana BOS.
SMAN 3 Kota Kupang memberlakukan pungutan pembangunan lapangan basket/futsal sebesar Rp550 ribu untuk kelas X, Rp450 ribu (kelas XI), dan Rp350 ribu (kelas XII) dengan total RAB proyek hampir Rp500 juta⊃2;.
Padahal, tanggung jawab penyediaan fasilitas pendidikan adalah kewajiban pemerintah, bukan beban orang tua.
Di salah satu sekolah swasta di Kelapa Lima, orang tua diwajibkan membeli paket seragam lengkap seharga Rp1,8 juta, tanpa diberi opsi menjahit sendiri atau membeli dari luar⊃3;.
Beberapa SD swasta di Kota Kupang menetapkan pungutan daftar ulang tahunan Rp600 ribu–Rp900 ribu, berdalih untuk perawatan gedung.
Namun, orang tua tidak mendapatkan laporan atau transparansi terkait penggunaan dana tersebut⁴.
Praktik-praktik ini menimbulkan pertanyaan: apakah pungutan-pungutan tersebut benar-benar atas dasar sukarela?
Banyak orang tua tidak tahu hak mereka untuk menolak, bahkan takut jika anaknya akan diperlakukan berbeda jika tidak ikut.
Rapat komite pun sering hanya menjadi formalitas legalisasi, bukan forum dialog demokratis.
Ketimpangan Kesejahteraan Guru
Ironisnya, di balik besarnya pungutan, guru tetap hidup dalam keterbatasan. Di beberapa sekolah swasta di Kecamatan Alak, Maulafa dan Oebobo, guru hanya digaji Rp400.000–Rp600.000 per bulan, tanpa BPJS dan tanpa tunjangan.
Bahkan di sekolah negeri, guru honorer banyak yang menerima honor di bawah UMK Kota Kupang (sekitar Rp2,1 juta).
Mereka tetap mengajar penuh waktu, menyusun administrasi pembelajaran, menghadapi tekanan dari orang tua, dan harus tetap profesional.
Tetapi sistem belum menempatkan mereka secara adil. Dalam banyak kasus, dana yang dikumpulkan melalui pungutan tidak menyentuh peningkatan kesejahteraan guru sama sekali.
Ketimpangan ini menunjukkan sistem yang pincang: orang tua membayar mahal, tapi guru tetap dalam kemiskinan. Sekolah menjadi arena transaksi, bukan transformasi.
Sekolah Bukan Pasar
Pendidikan seharusnya menjadi hak warga negara, bukan produk yang dijual. Namun kenyataannya, sekolah kerap berubah fungsi menjadi "pasar pendidikan".
Seragam dijual oleh vendor eksklusif sekolah, buku wajib melalui koperasi, ekskul menjadi ladang pemasukan, dan pungutan dibungkus dengan istilah sumbangan.
Regulasi sudah jelas. Permendikbud No. 75 Tahun 2016 melarang komite sekolah memungut dana yang bersifat memaksa atau dijadikan syarat layanan.
Sayangnya, banyak sekolah masih menyalahgunakan celah ini. Pungutan dilakukan atas nama “kesepakatan”, padahal tanpa musyawarah yang inklusif dan transparan.
Negara Harus Hadir
Pemerintah Kota Kupang dan Dinas Pendidikan perlu bertindak. Selama ini, respons terhadap kasus pungutan baru muncul setelah viral di media sosial atau dilaporkan ke Ombudsman. Ini mencerminkan lemahnya pengawasan.
Langkah-langkah yang perlu segera dilakukan:
- Audit terbuka dan rutin terhadap semua pungutan sekolah.
- Publikasi penggunaan dana BOS dan DAK melalui papan informasi sekolah dan situs resmi.
- Mekanisme keberatan formal bagi orang tua yang merasa keberatan dengan pungutan.
- Peningkatan tunjangan atau insentif lokal untuk guru non-ASN dan guru swasta dengan penghasilan di bawah UMK.
Pendidikan yang Adil
Kita tidak boleh lagi membiarkan sistem pendidikan tumbuh di atas ketimpangan. Biaya pendidikan yang tinggi dan gaji guru yang rendah adalah dua sisi dari koin yang sama: kegagalan tata kelola.
Reformasi pendidikan lokal harus dimulai dari komitmen keadilan, keberpihakan pada keluarga kecil, dan penghormatan terhadap tenaga pendidik.
“Pendidikan yang baik bukan diukur dari besarnya pungutan, tetapi dari seberapa adil ia memperlakukan guru dan siswa dari keluarga kecil.”
Sudah saatnya Kota Kupang menjadi contoh bahwa pendidikan bermutu tidak harus mahal, dan guru yang hebat harus hidup layak. Jangan biarkan sekolah menjadi pasar, dan anak-anak kita menjadi komoditas. (*)
Catatan Kaki
⊃1; Detik.com. “Disdikbud NTT Izinkan Sekolah Lakukan Pungutan Terhadap Siswa Baru”, 26 Juni 2025.
⊃2; Antaranews.com. “Ombudsman NTT Ingatkan Penyelenggara Sekolah Pahami Arti Pungutan dan Sumbangan”, 26 Juni 2025.
⊃3; Wawancara lapangan orang tua murid (Kelapa Lima, Kupang, Juli 2025).
⁴ Wawancara lapangan dan observasi administrasi orang tua siswa SD swasta di Kota Kupang (Juli 2025).
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Heryon Bernard Mbuik
Pungutan Masuk di SMA/K
Opini Pos Kupang
kesejahteraan guru
Pos Kupang
Pendidikan di NTT
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.