Breaking News

Opini

Opini: Percikan Liur Etnosentrisme di Kursi Rektor

Aksen episode pemilihan rektor  kali ini memang agak seru. Sebab, setiap kandidat boleh berakrobatik dan terjun bebas ke jurang politik.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Marsel Robot 

Oleh: Marsel Robot
Dosen Bahasa dan Sastra FKIP Universitas Nusa Cendana  (Undana) Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Kemanakah kau Undana? Pertanyaan pendek ini seakan menggunting embusan angin  kemarau di sela pohon lontar dan gamal di Penfui Hill  (bukit Penfui, Kupang, Nusa Tenggara Timur),  tempat Universitas Nusa Cendana ( Undana) bertakhta dan bertitah. 

Maklum, hari-hari ini, suhu tubuh Undana ( Universitas Nusa Cendana) mulai naik. Pasalnya, musim semi politik alias pemilihan rektor universitas negeri itu telah tiba. 

Terasa suasana mulai  melankolis. Perlahan mengalami ereksi dan berulah. Misalnya, muncul komplotan kecil yang memulai memiuh isu dan menggandeng nama para kandidat.  

Aksen episode pemilihan rektor  kali ini memang agak seru. Sebab, setiap kandidat boleh berakrobatik dan terjun bebas ke jurang politik. Sebab, incumbent tak ikut bertaji. 

Prof. Max Sanam, Rektor Undana sekarang melambaikan tangan  sayonara dari kursi rektor oleh karena usia tidak memungkinkan lagi. Itu berarti pula, tingkat oportunitas setiap kandidat berbeda halus. 

Beberapa kandidat yang namanya mulai dijemur di teras kampus seperti Prof. Malkisedek Taneo, sekarang masih menjabat sebagai dekan FKIP Undana. Fakultas terbesar di Undana. 

Ada juga Prof. Apris Adu, Prof. Jefri S. Bale (wakil rektor IV).  Tentu, masih banyak tokoh lain dan tokoh muda  yang potensial dan berpandangan inklusi dan dapat menggotong Undana pada kampus modern yang lebih adaptif dengan keadaan.  

Sekadar menyebut beberapa  nama seperti Prof. Paul Tamelan,  Dr. Hamzah Wulakada, M.Si. intelektual progresif yang rendah hati  mempunyai relasi menebas batas eksklusivisme, Dr. Sipri Suban Garak yang sederhana dan cakap bergaul dan salah satu tokoh perempuan paling energik, progresif dan responsif adalah  Prof. Dr. drh. Annytha I.R. Detha, M.Si (wakil rektor I sekarang).

Sesungguhnya ventilasi etnosentrisme di Undan perlahan dibuka  oleh Prof. Maxs Sanam. 

Gulma-gulma etnosentrisme mulai disisir ke tepi kampus dengan cara menempatkan pejabat sesuai keahlian dan kualitas pengabdiannya.

Satu hal lagi, Prof. Sanam tidak menjadikan ruang rektor sebagai ruang raung kekuasaan. Berbicara lebih terang  dengan kata-kata yang cukup bersih. 

Dugaan kuat, modus pemilihan rektor tidak jauh berbeda dengan episode-episode sebelumnya. Yang digadang adalah tokoh atau nama. 

Modus ini memunculkan konsekuensi etnosentrisme yang pesing dan pusing, sebab, percikan liur etnosentrisme membentuk sejumlah pertanyaan di kursi rektor seperti, dari mana? Suku apa? Apa agamanya? Unsur-unsur semacam itu  begitu kuat menggerogoti tubuh Undana. 

Artinya, rumusan pembilang dan penyebut dalam matematika politik pemilihan rektor Undana, toh itu-itu juga.  

Seorang teman yang tak ingin bernarasi, malahan mengajukan rumus kepada saya. Katanya, pemilihan rektor Undana dapat dibuatkan rumus seperti ini.  


         S 
-------------------   =   r
(s x a x a x g)    

Lalu, ia menerangkan rumus sederhana itu. S  singkatan dari Siapa. Ditulis dengan huruf besar ditafsirkan juga secara semiologi  (ilmu tanda) adalah orang (manusia). 

Dibagikan dengan s (suku) dikalikan a (agama) dikalikan a (asal) dikalikan g (golongan) sama dengan r (rektor). Tentu,  Anda boleh mengembangkan lebih detail atau lebih sederhana sesuai dengan keahlian Anda. 

Bila  Anda yang lazim terlibat politik praktis, maka rumus ini bisa diubah. 
Sebab, penalaran normatif tidak berlaku di sana. Hukum logika normatif dari A ke B. Sedangkan logika politik dari A ke mana-mana. 

Jika rumus itu  yang digunakan, maka kualitas demokrasi di kampus Undana selevel dengan pemilihan kepala desa. 

Artinya, di lembaga ilmiah Undana masih saja bertahan dalam  peradaban demokrasi kolot. 

Percikan etnosentris seperti menjadi serangga paling akut menyerang entitas lembaga ilmiah. 

Undana dibangkrutkan secara akademis, dan terasa sangat kerdil. Lagi-lagi, teman yang  menanak isu dalam rumus itu mengajukan rumus baru. Ia menulis rumus di papan tulis di bawah lampu kampus yang mulai redup.

   T5
-------  =  r
   p

Rumus ini lebih sederhana. T5 menjelaskan target lima tahun  yang akan datang. Dibagikan dengan p (program atau strategi yang dilakukan untuk mencapai target sama dengan r (rektor).   

Rumus terakhir itu berusaha meminimalisasikan etnosentrisme ini. Konsekuensi rumus ini meminta mekanisme semacam tender. Katakan, yang mempunyai  perusahaan adalah Undana yang diwakilkan oleh  para senat.  

Misalnya, para senat  yang konon dihuni para profesor itu  menanak  visi dan misi Undana 5 tahun atau 25 tahun yang akan datang. 

Tentu, rumusan visi dan misi diuji publik biar kelar dan kelir. Sebab, rektor bukan wakil senat, tetapi wakil sivitas akademika Undana dan masyarakat Nusa Tenggara Timur.  

Visi dan misi itu ditenderkan atau dijualkan kepada kandidat. Para senat dapat menentukan siapa yang paling ideal dan paling rasional memenangkan pemilihan itu. 

Setiap calon kandidat dan tim suksesnya merumuskan langkah dan target capaian setiap tahun. Tentu dengan analisis akademis.  Dengan demikian,  siapapun yang memenuhi syarat itulah yang dipilih.  

Tiga keuntungan dari rumus ini. Pertama, mekanisme lebih ilmiah. Karena, senat telah membaringkan mimpi Undana dalam visi dan misi lima  tahun yang akan datang. 

Kedua, para kandidat berusaha keras menampilkan gagasan dan strategi untuk mencapai target. 

Dengan demikian, tim sukses tidak hanya bekerja untuk memiuh isu murahan, melainkan mengonstruksi program dan target tahunan yang menggotong Undana ke bukit kesuksesan.  

Ketiga, pergumulan para calon justeru memungkinkan muncul ide-ide cemerlang untuk membangun  Undana  dan masyarakat NTT. 

Isu-isu penting seperti transparansi keuangan, jurusan, dan prodi yang adaptif dengan kebutuhan lapangan kerja, pola pelibatan Undan memajukan NTT menjadi menu utama dalam diskusi. Juga,  adab pelayanan dan komunikasi organisasi yang lebih humanis (bukan mekanis). 

Kadang, lebih mudah menghubungi rektor dan pembantu rektor ketimbang pegawai. Pelayanan terhadap kebutuhan akademik mahasiswa lebih profesional dan  responsif. 

Sarana dan prasarana gedung, halte, dan ruang perpustakaan digital setiap program studi menjadi kebutuhan untuk memenuhi gizi akademik bagi mahasiswa. 

Juga riset-riset monumental dan hilirisasi temuan biar dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. 

Sebab, Undana, bukan kepunyaan rektor, dosen atau pegawai, melainkan  kepunyaan mahasiswa atau lebih tepatnya kepunyaan masyarakat Nusa Tenggara Timur atau Indonesia. 

Undana terlibat dan hadir dalam menjawab persoalan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur

Undana yang unggul sesungguh ditandai dengan kehadirannya di tengah masyarakat, menyumbangkan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan ikut mendesain solusi  permasalah kemiskinan di Nusa Tenggara Timur.  

Dengan demikian, masyarakat tidak lagi  mewanti. “Hei! Masih di sini juga?” Lalu, Undana tertegun. Tubuhnya belepotan dengan  air liur etnosentrisme yang membuatnya pasih. 

Pertanyaan itu perlahan berjalan seraya mendorong matahari punggung senja. Dan Undana masih saja betah di sini menatap kepergian pertanyaan itu. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved