Opini
Opini: Dari Taupo ke Poco Leok, Menimbang Kembali Co-Management dalam Proyek Geotermal Flores
Keputusan eksplorasi dan eksploitasi kerap dibuat di tingkat pusat tanpa mekanisme persetujuan dari komunitas terdampak.
Timbrungan untuk saudari Maria Dolorosa Bria, S.Pi., MEnv.Sc
Oleh: Vitalis Wolo
Aktivis sosial dan peminat isu-isu lingkungan, tinggal di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Flores terus digaungkan sebagai tulang punggung energi terbarukan di kawasan timur Indonesia.
Pemerintah pusat menyematkan predikat "Pulau Geotermal" pada Flores dalam kerangka transisi energi nasional.
Namun, di balik gaungan ambisi itu, muncul paradoks: proyek-proyek panas bumi di Sokoria, Wae Sano, Mataloko, dan Poco Leok justru memicu resistensi sosial yang mendalam.
Baca juga: Opini : Co-Management untuk Geothermal Flores, Mungkinkah?
Warga memprotes, tokoh agama bersuara, dan konflik horizontal menguat. Ini bukan sekadar gejolak emosional masyarakat, tetapi sinyal kuat dari kegagalan struktural dalam tata kelola sumber daya.
Dalam pusaran ketegangan ini, wacana co-management atau pengelolaan bersama mulai mencuat.
Dalam opininya berjudul: Co-Management untuk Geothermal Flores, Mungkinkah?, di media Pos Kupang tanggal 4 Juni 2025, saudari Maria Dolorosa Bria, S.Pi., MEnv.Sc menawarkan konsep co-management dengan sejumlah prasyarat dalam implementasinya.
Istilah "co-management" pertama kali muncul dalam literatur akademik pada awal 1980-an, khususnya dalam konteks pengelolaan sumber daya alam.
Salah satu referensi awal yang signifikan adalah artikel oleh Fikret Berkes, Peter George, dan Richard J. Preston berjudul "Co-Management: The Evolution in Theory and Practice of the Joint Administration of Living Resources" yang diterbitkan pada tahun 1991.
Dalam artikel ini, mereka mendefinisikan co-management sebagai "pembagian kekuasaan dan tanggung jawab antara pemerintah dan pengguna sumber daya lokal."
Namun, sebelum publikasi tersebut, konsep serupa telah dibahas dalam berbagai studi pada tahun 1980-an yang menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
Meskipun istilah "co-management" mungkin belum digunakan secara eksplisit dalam literatur sebelumnya, gagasan tentang pengelolaan bersama telah berkembang seiring waktu.
Di atas kertas, model ini menjanjikan integrasi kepentingan negara, sektor swasta, dan komunitas lokal. Ia menyuarakan kemitraan, partisipasi, dan keadilan.
Namun pertanyaannya: mungkinkah co-management diterapkan secara otentik dalam konteks Flores yang ditandai oleh relasi kekuasaan timpang, lemahnya pengakuan atas hak masyarakat adat, dan dominasi rezim pembangunan nasional?
Studi-studi menunjukkan bahwa proyek panas bumi di Flores sarat dengan pendekatan top-down.
Keputusan eksplorasi dan eksploitasi kerap dibuat di tingkat pusat tanpa mekanisme persetujuan dari komunitas terdampak.
Sosialisasi dilakukan setelah izin keluar, bukan sebelum desain proyek dirancang.
Dalam situasi seperti ini, prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)—sebuah standar internasional yang dijunjung dalam tata kelola sumber daya alam—nyaris tidak pernah menjadi bagian dari praktik.
Model co-management menuntut prasyarat dasar: pengakuan hukum atas hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan wilayah hidup.
Namun di Indonesia, khususnya di Flores, pengakuan ini masih bersifat diskresioner dan prosedural.
Banyak komunitas adat tidak diakui secara administratif, padahal mereka telah eksis secara kultural dan historis selama berabad-abad.
Ketika entitas hukum tidak mengakui subjek hukum lokal, maka hak atas pengelolaan bersama menjadi ilusi.
Bandingkan dengan pengalaman pengelolaan Selandia Baru yang diangkat saudari Maria sebagai best practice.
Di negara itu, masyarakat Māori tidak hanya diakui secara legal, tetapi diberikan porsi kepemilikan dan kendali dalam proyek-proyek panas bumi seperti di Taupō dan Kawerau.
Treaty of Waitangi menjadi fondasi hukum untuk redistribusi kekuasaan dan sumber daya.
Māori tidak sekadar dilibatkan, mereka memegang saham, memiliki hak veto, dan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam pengelolaan energi. Tanah bukanlah komoditas; ia adalah tipuna—leluhur yang hidup.
Flores, dengan kosmologi yang kaya, memperlakukan ruang hidup sebagai warisan spiritual.
Di Wae Sano, danau bukanlah sumber air semata, tetapi tempat para arwah leluhur bersemayam.
Di Poco Leok, hutan adalah tanah pusaka yang dijaga secara turun-temurun.
Ketika negara memaksakan proyek eksplorasi tanpa mengindahkan relasi sakral ini, maka proyek tidak hanya bertentangan dengan hak ekonomi, tetapi juga mengguncang sendi kultural dan ekologis masyarakat.
Lebih jauh lagi, proyek panas bumi di Flores dikemas dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana kecepatan menjadi indikator keberhasilan.
Namun, dalam atmosfer percepatan itu, prosedur penting seperti AMDAL, konsultasi publik, dan studi antropologis justru dipangkas.
Hal ini membuka ruang lebar bagi praktik rent seeking—pemburuan rente ekonomi oleh elite yang memanfaatkan kebijakan negara untuk kepentingan privat.
Penelitian Jeffrey Winters dan Ed Aspinall menunjukkan bagaimana aliansi oligarki menggerakkan banyak proyek infrastruktur dan energi di Indonesia dengan mengabaikan transparansi dan akuntabilitas.
Dalam konteks ini, co-management bisa berubah menjadi alibi baru dari kooptasi lama.
Ketika forum konsultasi dikendalikan oleh pihak dominan, dan struktur kepemilikan tetap eksklusif, maka partisipasi hanyalah legitimasi, bukan demokrasi.
Apalagi jika masyarakat lokal hanya diminta menyetujui keputusan yang telah dikunci sebelumnya, tanpa ruang untuk menolak atau merevisi.
Namun demikian, bukan berarti gagasan co-management layak dibuang. Justru sebaliknya: ia harus diperjuangkan sebagai arah pembaruan tata kelola sumber daya.
Tetapi prasyaratnya jelas dan tak bisa ditawar: pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat secara hukum, moratorium terhadap proyek yang belum memenuhi prinsip FPIC, pembagian keuntungan yang proporsional dan transparan, serta forum pengambilan keputusan yang inklusif dan deliberatif.
Pembangunan energi terbarukan tak bisa berjalan dengan cara-cara eksploitatif yang lama. Energi bersih harus dibarengi dengan politik yang bersih.
Flores bukan sekadar wilayah eksplorasi; ia adalah rumah budaya, ruang spiritual, dan ladang pengetahuan lokal.
Mengabaikan hal itu sama artinya dengan mereduksi pembangunan menjadi proyek teknokratis yang membunuh makna kehidupan komunitas.
Jika negara sungguh ingin menjadikan Flores sebagai ikon transisi energi, maka ia harus belajar dari Selandia Baru, bukan sekadar menirunya.
Ia harus menata ulang relasi kekuasaan, membuka ruang partisipasi sejati, dan menempatkan masyarakat sebagai pemilik sah dari ruang hidupnya.
Hanya dengan demikian, co-management bisa menjadi kenyataan, bukan sekadar narasi.
Energi panas bumi memang menjanjikan. Tetapi lebih dari itu, keadilan sosial, penghormatan budaya, dan demokrasi lokal adalah energi sejati yang membuat pembangunan berakar dan berkelanjutan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini - Banjir Bali dan Nagekeo: Pelajaran Mitigasi untuk Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Opini - Causa Etika: Putusan PTDH Kompol Cosmas |
![]() |
---|
Opini: Dari Ujung ke Ujung Elar Selatan, Cermin Keabadian Janji Pemerintah |
![]() |
---|
Opini: Ekonomi Politik Kenaikan Tunjangan DPRD NTT |
![]() |
---|
Opini: Pemilihan Rektor PTN dan Matematika Abunawas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.