Cerpen
Cerpen: Luka yang Bersuara
"Luka itu tidak pernah benar-benar sembuh," tulis Ratih, "ia hanya berubah bentuk, menjadi kebijaksanaan yang pahit."
Oleh: Rismayani Achmad *
POS-KUPANG.COM - Di ujung Jalan Malioboro yang basah oleh hujan senja, Arjuna menemukan buku tipis bersampul kuning pudar.
"Jejak-jejak yang Hilang" tertulis dengan huruf kecil di sampulnya. Nama penulisnya: Ratih Kusuma.
Arjuna membaca buku itu di warung kopi Pak Haji Usman sambil menyeruput wedang jahe.
Setiap kalimat di dalamnya seperti cermin yang memantulkan lukanya sendiri.
Ratih menulis tentang kepercayaan yang dikhianati, tentang cinta yang dibiarkan mati perlahan oleh kebohongan. Tentang perempuan yang menemukan suaminya berselingkuh dengan adik iparnya sendiri.
"Luka itu tidak pernah benar-benar sembuh," tulis Ratih, "ia hanya berubah bentuk, menjadi kebijaksanaan yang pahit."
Tiga tahun lalu, Arjuna juga merasakan pahitnya pengkhianatan serupa.
Wanita yang dicintainya dan telah dilamarnya, ternyata hamil dengan pria lain—sahabat karibnya sendiri.
Yang lebih menyakitkan, semua orang di fakultasnya sudah tahu, kecuali dirinya. Rencana pernikahan yang sudah disiapkan hancur dalam sekejap.
Keesokan harinya, Arjuna datang ke toko buku tempat ia membeli karya Ratih.
Mbah Karto, pemilik toko, bercerita bahwa Ratih sering datang untuk membaca di pojok toko pada sore hari.
"Perempuan pendiam itu, Mas. Tapi matanya dalam, seperti sumur tua yang menyimpan banyak cerita."
Arjuna memutuskan menunggu. Saat senja mulai menyapa, seorang perempuan berambut sebahu masuk ke toko.
Ia bergerak pelan menuju rak sastra Indonesia, mengambil sebuah buku, lalu duduk di kursi kayu di pojok ruangan.
"Permisi," Arjuna menghampiri, "Anda Ratih Kusuma?"
Perempuan itu mendongak. Matanya letih tapi hangat. "Ya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya membaca buku Anda. Sangat... menyentuh."
Ratih tersenyum tipis. "Kadang luka perlu disuarakan agar tidak membusuk di dalam dada."
Mereka berbincang hingga toko tutup. Arjuna bercerita tentang pengkhianatannya, Ratih mendengarkan sambil sesekali mengangguk.
Tanpa mereka sadari, ada kelegaan yang aneh ketika berbagi luka dengan seseorang yang memahami.
"Apakah Anda percaya pada cinta kedua?" tanya Arjuna ketika mereka berjalan keluar toko, angin malam Yogya menerpa wajah mereka.
"Saya percaya pada penyembuhan," jawab Ratih. "Dan kadang, penyembuhan datang dalam bentuk yang tidak pernah kita duga."
Pertemuan itu menjadi awal rutinitas baru. Setiap sore, mereka bertemu di toko buku Mbah Karto.
Arjuna menceritakan hari-harinya sebagai jurnalis di sebuah koran lokal, sementara Ratih berbagi proses kreatifnya sebagai penulis.
Perlahan, mereka menemukan bahwa kesamaan luka mereka menciptakan bahasa tersendiri.
"Kita seperti dua buah vas yang retak," kata Ratih suatu sore, "tapi retakannya saling melengkapi sehingga menjadi utuh kembali."
Enam bulan kemudian, ketika hujan senja kembali membasahi Malioboro, Arjuna dan Ratih berjalan berdampingan menuju Taman Sari.
Di sana, di antara reruntuhan istana yang pernah megah, Arjuna menggenggam tangan Ratih.
"Ratih," katanya pelan, "saya mencintaimu. Bukan karena ingin menyembuhkan luka kita, tapi karena saya ingin berbagi sisa hidup dengan seseorang yang memahami."
Ratih terdiam sejenak, menatap mata Arjuna yang tulus. "Jika memang serius, temui kedua orang tua dan kakak saya. Mereka perlu tahu siapa yang ingin berbagi hidup dengan saya."
Dua minggu kemudian, Arjuna datang ke rumah keluarga Ratih di Umbulharjo dengan membawa oleh-oleh gudeg.
Pertemuan dengan ayah, ibu, dan kakak Ratih berlangsung hangat meski canggung di awal.
Arjuna bercerita tentang pekerjaannya sebagai jurnalis, cita-citanya, dan dengan jujur menyampaikan niatnya untuk menikahi Ratih.
"Kami berdua pernah terluka," kata Arjuna kepada ayah Ratih, "tapi kami percaya bahwa Allah memberikan kesempatan kedua untuk belajar mencintai dengan cara yang lebih bijaksana."
Setelah berbincang panjang dan shalat Maghrib bersama, keluarga Ratih memberikan restu mereka.
Pernikahan mereka sederhana, dihadiri keluarga kecil dan beberapa sahabat di Masjid Gedhe Kauman.
Tidak ada janji-janji muluk tentang kebahagiaan abadi. Yang ada adalah komitmen dua insan yang telah belajar bahwa cinta terdalam lahir dari pemahaman, bukan dari khayalan.
Kini, dua tahun setelah pernikahan, Ratih telah menerbitkan novel keduanya: "Luka yang Bersuara".
Novel tentang dua orang yang menemukan cinta di tengah kerapuhan masing-
masing.
Sementara Arjuna, masih setia menulis berita di kantornya, sering menulis feature tentang kisah-kisah inspiratif warga Yogya yang bangkit dari keterpurukan.
Di malam-malam hujan, mereka duduk berdampingan di teras rumah kecil mereka di Kotagede.
Ratih menulis, Arjuna menyiapkan kopi. Tidak banyak kata yang diucapkan, tapi keheningan di antara mereka penuh dengan pemahaman.
"Apakah kamu bahagia?" tanya Arjuna suatu malam.
Ratih berhenti menulis, menatap suaminya. "Saya tidak tahu apa itu bahagia yang sempurna. Tapi saya tahu apa artinya damai. Dan kedamaian ini, kurasa, lebih berharga dari kebahagiaan yang rapuh."
Arjuna mengangguk. Mereka telah belajar bahwa cinta yang tahan lama bukan yang lahir dari euphoria, tapi yang tumbuh dari keputusan untuk tetap memilih satu sama lain, hari demi hari, termasuk di hari-hari ketika luka lama kembali berdenyut.
Di luar, hujan terus turun, membasahi kota Yogya yang telah menyaksikan pertemuan mereka.
Dan di dalam rumah kecil itu, dua hati yang pernah hancur menemukan cara baru untuk berdetak, tidak dalam irama yang sempurna, tapi dalam harmoni yang tulus. (*)
*) Penulis adalah seorang guru yang hobi menulis.
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.