Opini
Opini: Moralitas Disalib di Tengah Jalan
Tapi tahun ini, lokasi Hole menarik perhatian lebih: tepat di seberang Gereja GMIT Ebenhaezert dan tak jauh dari Sekolah Dasar.
Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru
Pendeta GMIT, berkarya di Kabupaten Sabu Raijua
POS-KUPANG.COM - Di Ledeke, Kecamatan Liae, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sebuah peristiwa tahunan digelar dengan gegap gempita.
Namanya Hole, sebuah tradisi adat yang konon katanya mengekspresikan kebersamaan, keberanian, dan kehormatan.
Tapi tahun ini, lokasi Hole menarik perhatian lebih: tepat di seberang Gereja GMIT Ebenhaezert dan tak jauh dari Sekolah Dasar.
Jalan utama membelah tiga kutub moralitas ini—gereja, sekolah, dan arena judi adat — seakan menjadi batas tipis antara keimanan, pendidikan, dan kesenangan yang membingungkan.
Ketika Anak Bertanya: Mana yang Salah, Mana yang Sah?
Bayangkan seorang anak duduk di ruang kelas mendengar gurunya menjelaskan bahwa judi itu dilarang.
Pulang sekolah, ia melihat ayahnya memasang taruhan sambil bersorak di seberang gereja.
Malamnya, ia diajak ibunya ke kebaktian dan mendengar pendeta berkata: “Jauhilah ketamakan dan cinta uang.”
Anak itu pulang dengan satu pertanyaan dalam kepala kecilnya: “Jadi... siapa yang harus saya percaya?”
Ini bukan sekadar soal lokasi. Ini soal pesan moral yang kabur. Hole yang dulunya bagian dari ritual sakral kini berevolusi jadi festival spekulasi.
Sabung ayam, bola guling, dan rentetan taruhan lainnya tidak lagi terselubung—mereka justru menjadi bintang utama.
Ketika guru dan pendeta menjadi penonton pasif, tradisi yang semestinya mendidik malah mendistorsikan nilai.
Teolog Stanley Hauerwas pernah berkata, “Nilai moral tidak diwariskan lewat dogma, tetapi lewat praktik hidup yang konsisten.” Dan praktik itu sedang runtuh di hadapan anak-anak kita.
Pemerintah: Penonton Diam atau Pendukung Halus?
Yang lebih ironis adalah ketika para pejabat, aparat, dan tokoh adat hadir bukan untuk menertibkan, tapi untuk berswafoto.
Berdiri di antara baliho berlogo pemda dan ayam yang dijagal, mereka menyambut “kearifan lokal” tanpa mengajukan satu pun pertanyaan etis.
Bukankah tanggung jawab kekuasaan adalah menjaga keseimbangan antara pelestarian dan perlindungan?
Bahkan dalam desas-desus rakyat, terdengar bahwa sebagian tokoh masyarakat memanfaatkan Hole untuk konsolidasi basis suara. Uang taruhan berubah jadi alat kontrol sosial.
Keluarga miskin menyumbang untuk bertaruh, lalu berharap menang agar bisa beli sembako.
Saat kalah, mereka kembali antre menerima bantuan dari program sosial yang dananya diatur oleh para “penyelenggara Hole”.
Adat Bukan Alat Legitimasi Eksploitasi
Tidak semua yang berlabel “adat” layak dirayakan tanpa koreksi. Ada batas etis antara penghormatan terhadap warisan budaya dan pembiaran terhadap eksploitasi massal.
Ketika Hole berulang kali digelar namun rakyat tetap hidup dalam derita yang sama, seharusnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan?
Masyarakat umum? Atau elite pemilik tanah dan panitia yang mengatur arus uang?
Yang terlihat jelas adalah polanya: masyarakat menanggung keramaian, elite panen keuntungan. Dan yang dilupakan? Anak-anak. Mereka menyerap semua itu sebagai hal biasa.
Mereka melihat uang lebih banyak berputar di arena daripada di gereja
atau sekolah. Mereka belajar bahwa suara gong lebih bergema dari suara iman.
Perjudian Tradisional: Ekonomi Palsu dan Pasar Tanpa Etika
Jika kita berani jujur, Hole bukan sekadar acara adat. Ia sudah bermetamorfosis menjadi pasar gelap emosional: tempat orang miskin membeli harapan dengan uang makan, dan orang kaya menonton sambil tertawa — karena mereka tidak pernah benar-benar rugi.
Hole telah menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai “segmentasi pasar perjudian desa”.
Kita bisa hitung siapa konsumennya: Para buruh musiman, tukang panjat kelapa, janda penerima bantuan, petani gagal panen, dan pemuda pengangguran. Mereka bukan pemilik modal. Mereka hanyalah pasar yang dibentuk oleh harapan palsu.
Dan siapa penjualnya?
- Pemilik lahan tempat Hole digelar.
- Panitia penyelenggara yang punya “hak eksklusif” atas lapak dan retribusi.
- Oknum tokoh publik yang tahu betul, makin ramai hole, makin besar kendali sosial atas kerumunan itu.
Teolog Gustavo Gutierrez menyebutkan bahwa “kemiskinan bukan hanya soal ketiadaan, tapi hasil dari sistem yang membiarkan ketidakadilan berlangsung sebagai hal normal.” Dan Hole menjadi salah satu instrumen dari sistem itu.
Kita Tahu Tapi Diam: Moralitas yang Luluh di Tengah Jalan
Apa yang lebih menyedihkan dari kemiskinan? Adalah kemiskinan yang dipertontonkan dalam pesta, dan kita semua menontonnya sambil tersenyum.
Kita tahu ini salah. Kita tahu anak-anak kita bingung. Kita tahu gereja dan sekolah jadi penonton. Tapi kita tetap bilang: “Tidak apa-apa, ini cuma setahun sekali.”
Ini bukan cuma soal Hole. Ini soal niat hati kolektif kita yang membiarkan kebodohan sosial terjadi di depan mata.
Dalam hati kecil kita, kita tahu perjudian ini tidak akan pernah menaikkan taraf hidup siapa pun.
Tapi kita biarkan itu terus berlangsung, seakan kita sudah kehabisan akal untuk mencari solusi lain.
Kita bahkan sudah lupa rasanya berpikir jernih. Karena setiap kali ada Hole, yang kita pikirkan cuma: “Taruhan ayam mana yang paling mungkin menang?”, bukan “Mengapa hidup kami begini-begini saja meski pesta ini sudah digelar bertahun- tahun?”
Gereja: Diam atau Menjadi Nabi?
Gereja tidak dipanggil untuk membenci budaya. Tapi gereja dipanggil untuk menyaringnya, mengujinya, dan menegurnya bila menyimpang.
Ketika adat menjadi selubung untuk perjudian dan eksploitasi, maka gereja harus tampil sebagai suara kenabian yang menolak kompromi.
Dietrich Bonhoeffer dalam “Ethics” mengingatkan bahwa “gereja yang tidak berbicara saat kebenaran diinjak, sedang berhenti menjadi gereja.”
Jika gereja hanya menggelar ibadah sementara di seberangnya orang berjudi, maka gereja sedang melakukan liturgi tanpa makna.
Iman bukan sekadar soal ritual—iman adalah keberpihakan pada kehidupan yang bermoral, bermartabat, dan bermasa depan.
Apa Yang Kita Wariskan?
Jika Hole terus dibiarkan berjalan seperti ini, maka anak-anak kita akan mewarisi kebingungan massal: agama jadi tontonan hari Minggu, pendidikan jadi hafalan moralitas di pagi hari, dan tradisi jadi arena perjudian di sore hari.
Kita menciptakan generasi yang tidak tahu lagi di mana batas benar dan salah, karena orang dewasa sendiri telah mengaburkannya.
Anak-anak kita belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang kita khotbahkan.
Mereka menyerap lebih banyak nilai dari arena Hole daripada dari bangku sekolah dan gereja. Dan saat mereka tumbuh, mereka akan mempertanyakan: apakah moralitas itu cuma dekorasi seremoni?
Penutup: Jalan Tengah Itu Harus Dibersihkan
Jalan yang membelah gereja, sekolah, dan arena Hole adalah simbol nyata dari pertarungan moralitas kita hari ini.
Dan jalan itu tidak boleh dibiarkan tetap kotor oleh abu rokok penjudi, serpihan bulu ayam sabung, dan suara-suara sok bijak yang berkata “ini budaya kita”.
Budaya harus disucikan, bukan diperdagangkan. Iman harus berbicara, bukan bersembunyi. Dan anak-anak kita, pantas mendapatkan warisan yang lebih baik dari sekadar kebingungan moral. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.