Opini
Opini: Ekologi yang Mendukung Kemampuan Praliterasi Anak
Tema ini urgen terutama untuk konteks NTT yang memiliki catatan kelam tentang kemampuan literasi anak usia dini.
Oleh: Florianus Dus Arifian
Dosen Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng, Mahasiswa Doktor Pendidikan Dasar Universitas Negeri Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Pada beberapa dekade ini, selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, ada kesadaran global untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Untuk menggapai mimpi itu, dibutuhkan gerakan kolektif yang melibatkan masyarakat sampai pada level lokal.
Selain itu, perhatian harus dimulai dari fondasi yang terdekat dengan warga lokal.
Maka dari itu, diskusi seputar pertumbuhan dan perkembangan termasuk pembentukan kemampuan praliterasi anak usia prasekolah sebagai penentu kualitas pendidikan di fase selanjutnya bukan lagi milik eksklusif ahli tumbuh-kembang anak, melainkan milik bersama yang perlu digumuli warga biasa.
Artikel ini hendak berpartisipasi dalam diskusi pembentukan kemampuan praliterasi anak sebagai fondasi terdekat untuk diintervensi warga bagi misi pembentukan Pendidikan yang berkualitas.
Tema ini urgen terutama untuk konteks NTT yang memiliki catatan kelam tentang kemampuan literasi anak usia dini.
Satu dekade lalu, Early Grade Reading Assessment (EGRA) menemukan hanya 23 persen anak kelas I dan II SD bisa membaca lancar dan 22 persen anak tidak bisa membaca (nonreader) di wilayah Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua (Stern & Nordstrum, 2014).
Anjarningsih (2025) memeriksa ketajaman studi EGRA itu. Temuannya adalah materi EGRA terlalu mudah sehingga keterbelakangan literasi anak usia dini sesungguhnya lebih parah.
Fondasi Bahasa Lisan
Ketertinggalan kemampuan membaca anak usia dini yang biasa terpantau di kelas-kelas awal SD selain karena dampak dari ekologi pembelajaran di kelas-kelas awal itu, juga karena dampak dari ekologi pemerolehan bahasa yang dialami anak di jenjang pra-SD.
Jadi, keterbelakangan kemampuan membaca anak usia dini juga disebabkan oleh kualitas pembentukan kemampuan praliterasi ketika anak belum bersekolah, yakni saat anak masih dalam ekologi pengasuhan orang tua, anggota keluarga inti, tetangga, warga sekampung domisili, dan ekologi terdekat lainnya.
Apa dan bagaimana pembentukan kemampuan praliterasi yang bersumber dari ekologi pengasuhan orang-orang terdekat itu?
Jangan membayangkannya dengan rumit seperti orang tua harus melatih anaknya sejumlah simbol huruf lewat kegiatan membaca dan menulis di rumah.
Jangan pula harus menunggu salah satu anggota keluarga atau sahabat yang berpendidikan untuk melakukannya.
Jangan juga harus menunggu dibukanya Lembaga PAUD di kampung/desa. Orang-orang di ekologi pengasuhan terdekat dapat melakukannya dengan cara sederhana.
Para pakar membaca di seantero dunia menekankan dengan kuat tentang perlunya penguatan kemampuan berbahasa lisan bagi anak usia dini sebagai fondasi mahapenting untuk pembentukan kemampuan berbahasa tulis.
Hal ini sejalan dengan fakta bahwa dalam pembelajaran di kelas-kelas awal SD dijumpai bahwa kemampuan berbahasa tulis anak lebih bercorak ekspresif.
Artinya, apa yang dibaca dan ditulis anak haruslah apa yang didengar dan dibicarakannya. Sebaliknya, apa yang didengar dan dibicarakan anak itulah yang ditulis dan dibacanya.
Ketika ada jarak antara dua ragam bahasa itu, anak akan berkesulitan mempelajari literasi membaca dan menulis.
Jadi, untuk membentuk kemampuan mengenal simbol bahasa tulis, perhatian pertama-tama dan terutama harus ditujukan pada kemampuan berbahasa lisan anak usia dini, suatu area yang justru lebih banyak berada di bawah ekologi pengasuhan orang-orang di dekat anak, tetapi seringkali tidak disadari sehingga tidak digarap dengan baik agar kondusif bagi tumbuh-kembang anak.
Pilar Kunci Spesifik
Secara spesifik, unit bahasa lisan sebagai fondasi yang menentukan bahasa tulis anak usia dini dapat dipetakan berdasarkan beberapa elemen kunci.
Catts (2021) menyebutnya sebagai lima pilar kunci membaca (the big five pillars of reading), bisa disingkat the big five.
Walaupun dari segi penamaan menunjukkan area membaca, tetapi pilar-pilar tersebut beririsan dengan area bahasa lisan.
The big five mencakup kesadaran fonemik, kemampuan fonik, kefasihan, kosakata, dan pemahaman bahasa.
Kesadaran fonemik berarti kemampuan untuk mengenali bunyi-bunyi tertentu yang membentuk kata-kata dalam bahasa lisan.
Anak dengan kesadaran fonemik pasti memiliki kemampuan fonik, yakni kesanggupan memahami hubungan antara bunyi bahasa lisan dan bentuk lambangnya dalam bahasa tulis.
Anak dengan kemampuan fonik akan dapat mengeja dan membaca dengan lancar. Kemampuan membaca lancar itulah kefasihan. Kefasihan penting dikejar karena berhubungan dengan pemrosesan di sistem memori.
Jika anak tidak dapat membaca secara lancar, informasi yang masuk akan melemah sebelum diproses oleh sistem memori di otaknya.
Absennya kefasihan akan menggangu perhatian yang selanjutnya mengganggu pemahaman. Adapun kemampuan kosakata berarti perbendaharaan kata untuk berkomunikasi lisan dan tulis.
Penguasaan kosakata selain bersumber dari kefasihan/kelancaran membaca, juga dari komunikasi lisan.
Adapun pemahaman bahasa berarti kemampuan menyerap dan membangun makna dengan mengubungkan bahasa tulis dan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Tampak bahwa kemampuan berbahasa tulis berakar dari kemampuan berbahasa lisan.
Kemampuan mendengarkan dan berbicara, dalam bentuknya yang paling sederhana, berawal dari kesanggupan mengenal bunyi.
Sampai di titik ini, segera tampak senjata rahasia yang menentukan semua kemampuan itu, yakni ekologi pengasuhan orang tua, anggota keluarga inti, tetangga, warga sekampung, singkatnya ekologi anak sebelum mempelajari bahasa tulis secara formal di sekolah.
Pada ekologi pengasuhan semacam itu, terdapat kekuatan bahasa lisan yang tak ternilai sekaligus tak terbatas yang dapat didayagunakan untuk mempersiapkan kemampuan literasi anak usia dini.
Aksi Nyata
Ikhtiar memperkuat kemampuan berbahasa lisan menjadi fokus dari pembentukan kompetensi praliterasi anak usia dini. Aksi semacam ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang selalu dekat dengan anak usia dini.
Pertama, keikhlasan untuk mendengarkan perkataan anak dan memberikan respons yang relevan dan mendidik perlu menjadi gerakan warga lokal di berbagai ekologi pengasuhan.
Sesibuk apa pun para pengsuh, tetap perlu disadari bahwa setiap perkataan anak dan respons atasnya merupakan momen berharga untuk pembelajaran yang mengarah ke pemantapan kemampuan praliterasi anak.
Kedua, keaktifan orang terdekat di berbagai ekologi pengasuhan dalam menginisiasi percakapan dengan anak juga sangat penting.
Para pengasuh dapat mengeksploralsi berbagai pengalaman dan teknik yang merangsang anak untuk berbahasa lisan.
Para pengasuh, misalnya, bisa berpura-pura mengucapkan secara salah kata/kalimat atau mengucapkan kata/kalimat yang berbunyi mirip dari yang sesungguhnya agar anak terpancing untuk meluruskannya.
Ketiga, bernyani lagu anak untuk dan bersama dengan anak adalah juga kekuatan untuk membentuk kesadaran tantang bunyi kepada anak usia dini.
Untuk itu, selain aspek konten, perlu diperhatikan aspek bunyi dari kata-kata dalam lagu.
Para ahli merekomendasikan penggunaan lagu anak dengan bunyi syair yang mirip perlu diprioritaskan untuk mengasah kepekaan bunyi pada anak.
Keempat, membentuk persepsi awal anak tentang bahasa tulis juga perlu dilakukan para pengasuh.
Pada momen anak berulang tahun, misalnya, seisi rumah berkumpul dan merayakannya sambil orang dewasa menulis pesan untuk si anak pada secarik ketas lalu dikumpulkan dalam kotak untuk selanjutnya dibacakan saat duduk bersama.
Langkah kecil ini tampak sedikit merepotkan orang dewasa, tetapi berkekuatan dasyat dalam membentuk imajinasi awal tentang bahasa tulis pada anak.
Minimal anak menyadari bahwa pesan tidak selamanya diucapkan, tetapi bisa ditulis atau tulisan di kertas adalah juga satu bentuk komunikasi yang tak berbeda dengan pembicaraan lisan.
Alternatif dari langkah keempat ini, misalnya, para pengasuh meminta anak untuk berbelanja di kios.
Barang yang perlu dibeli tidak selamanya harus diucapkan secara lisan, tetapi sesekali perlu ditulis pada secarik kertas untuk ditentengkan anak ke kios.
Langkah kecil ini juga membentuk persepsi tentang bahasa tulis pada anak usia dini.
Alternatif lainnya adalah bercerita untuk anak sambil sedapat mungkin ditunjukkan teksnya pada anak. Korespondensi antara ucapan lisan dan penunjukan bentuknya di teks harus kuat.
Langkah ini selain berguna bagi pembentukan karakter anak melalui pesan cerita, juga membentuk persepsi awal anak tentang bahasa tulis.(*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.