Opini
Opini: Dari Sede Vacante Menuju Konklaf
Dalam dua puluh tahun terakhir, setelah kematian Santo Yohanes Paulus II, Gereja telah mengalami dua kali Sede Vacante.

Oleh: P. Doddy Sasi, CMF
Ketua Tribunal Keuskupan Agung Kupang dan Dosen Hukum Gereja pada STIPAS Kupang.
POS-KUPANG.COM - Satu momentum penting dengan peristiwa wafatnya seorang Paus dalam Gereja adalah Sede Vacante (takhta kosong atau lowong).
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), ada beberapa alasan yang menjadi penyebab adanya Sede Vacante: 1) karena kematian; 2) Pengunduran diri; 3) Pemindahan (Uskup); 4) Pemecatan yang diberitahukan kepada Uskup itu sendiri (kan.416).
Dalam kasus untuk para Uskup, kan. 401 KHK menegaskan bahwa Uskup diosesan yang telah mencapai usia tujuh puluh lima tahun diminta untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Paus dan Paus yang akan mengambil keputusan setelah mempertimbangkan segala keadaan.
Dalam dua puluh tahun terakhir, setelah kematian Santo Yohanes Paulus II, Gereja telah mengalami dua kali Sede Vacante.
Pada tahun 2013 terjadi Sede Vacante tapi tanpa pemakaman karena pengunduran diri dari Mendiang Paus Benediktus XVI dan kemudian, pada akhir tahun 2022 dengan wafatnya Benediktus XVI tapi tanpa Sede Vacante karena beliau saat itu menjadi seorang Paus Emiritus dan pemakamannya juga tidak tidak seperti pemakaman kepausan yang biasanya.

Gereja sebelumnya pada tahun 1998 telah mengeluarkan sebuah dokumen Universi Dominici Gregis (UDG) yang berbicara secara jelas soal proses dari kematian Paus hingga adanya Konklaf (cum clave: dengan kunci).
Konstitusi Apostolik UDG ini lahir sebagai buah pikiran dari Santo Yohanes Paulus II.
Beberapa perubahan kemudian diperkenalkan oleh motu proprio Normas Nonnullas (2013) dari Paus Benediktus XVI, lalu perubahan lain ditambahkan pada Ordo Exsequiarum Romani Pontificis yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 29 April 2024.
Ada beberapa point penting yang bisa kita jelaskan sejak hari wafatnya Paus Fransiskus hingga adanya konklaf.
Pertama, UDG menegaskan bahwa menjadi sebuah periode yang intens secara spiritual bagi kehidupan Gereja dengan wafatnya seorang Paus.
Mulai dengan wafatnya Paus hingga pemilihan Paus baru, kepemimpinan Gereja berada di tangan kolegium kardinal, tetapi “semata-mata untuk menjalankan urusan-urusan biasa dan hal-hal yang tidak dapat ditunda” (UDG 2).
Pada saat kematian Paus, semua Prefek Dikasteri dan Sekretaris Negara secara otomatis berhenti dari jabatannya, dengan pengecualian Kardinal Kamerlengo (Kevin J. Farrell) dan Kardinal Penitensiere Mayor (Angelo De Donatis).
Mereka yang juga tetap memegang jabatannya, Vikaris Jendral untuk Keuskupan Roma (Kard. Baldassarre Reina) dan Kota Vatikan (Kard. Mauro Gambetti).
Tetapi para kardinal tidak dapat melakukan tindakan yang layak, yang direservasi bagi Paus.
Misalkannya saja, kanonisasi Beato Carlo Acutis, yang rencananya dijadwalkan pada 27 April 2025, bisa saja akan ditangguhkan dan mungkin ditunda hingga masa kepausan berikutnya.
Paus memang tidak perlu memimpin upacara ini, ia dapat mendelegasikan seorang kardinal, tetapi jelas bahwa sang delegator harus masih hidup untuk melakukannya.
Contoh serupa terjadi dua puluh tahun yang lalu dengan beatifikasi P. Leo Dehon, yang telah dijadwalkan pada 24 April 2005, kemudian ditangguhkan karena kematian paus dan bahkan hingga kini tidak pernah dirayakan lagi.
Kedua, yang memainkan peran kunci sejak hari wafatnya Paus adalah Kardinal Kamerlengo.
Ia yang “secara resmi memastikan kematian Paus” dan “membubuhkan segel pada ruang kerja dan kamar” Paus (UDG 17). Dan inilah yang telah dibuat oleh Kardinal Kevin J. Farrel: ia mengumumkan berita kematian Paus, yang terjadi pada pukul 7:35 pagi tanggal 21 April 2025.
Dialah yang akan memimpin “ritual perayaan kematian dan penempatan jenazah di peti mati” di kapel Domus Sanctae Marthae pada pukul 20.00 malam (21/4/2025) bersama Dekan Kolegium kardinal (Giovanni Battista Re), anggota keluarga almarhum Paus, Direktur dan wakil direktur Direktorat Kesehatan Negara Vatikan.
Ketiga, peran kunci lain dalam situasi Sede Vacante adalah Dekan kolegium Kardinal.
Dia bertanggung jawab dan “memiliki tugas untuk memberi tahu dan memanggil semua kardinal.
Demikian pula, ia akan menyampaikan kematian Paus kepada Korps Diplomatik yang memiliki hubungan diplomatik dengan Takhta Suci dan kepada para kepala negara dari masing-masing negara” (UDG 19), di samping memimpin sidang-sidang umum yang mendahului konklaf.
Namun, peran Kardinal Dekan Giovanni Battista Re yang berusia 91 tahun akan berhenti di ambang pintu Kapel Sistina.
Kasus yang sama juga berlaku bagi Kardinal Sub-Dekan Leonardo Sandri yang telah berusia 81 tahun.
Keempat, penampakan pertama dari tubuh Paus yang telah meninggal terjadi di kapel Santa Marta (sebelumnya selalu di kapel apartemen kepausan) dan, sesuai dengan perubahan ritual yang diinginkan oleh Paus Fransiskus, langsung dimasukan dalam peti (peti mati tunggal, dan bukan lagi tiga peti tradisional dari kayu cemara, timah, dan kayu ek, yang juga digunakan untuk Paus Emeritus Benediktus XVI).
Kemudian disemayamkan di basilika Santo Petrus untuk penghormatan umat. Dibandingkan dengan upacara pemakaman Santo Yohanes Paulus II, tidak ada eksposisi peralihan di Aula Clementine di Istana Kepausan.
Upacara perkabungan untuk Paus berlangsung selama sembilan hari berturut-turut (yang biasa disebut novendiali), di mana “para kardinal akan merayakan misa arwah sebagai penghormatan bagi jiwanya”: termasuk dalam sembilan hari ini, misa pemakaman yang akan dirayakan oleh Kardinal Dekan, yang diikuti dengan penguburan.
Kelima, sesuai dengan keinginannya Paus Fransiskus akan dimakamkan di basilika Santa Maria Maggiore. Dan ini menjadi satu perubahan yang dinginkan dan di perkenalkan oleh beliau bahwa seorang Paus juga dapat dimakamkan di luar Vatikan. Ini bukan kasus yang pertama terjadi.
Pernah terjadi satu abad sebelumnya dimana Paus terakhir yang dimakamkan di tempat lain adalah Paus Leo XIII. Ia yang wafat pada tahun 1903 dan dimakamkan di Basilika Santo Yohanes Lateran.
Sejak saat itu mulai dari Santo Pius X dan para pendahulunya selalu dimakamkan di basilika Santo Petrus.
Di Basilika Santa Maria Maggiore jasad Paus Fransiskus akan disemayamkan di samping tujuh pendahulunya, dan yang paling terkenal di antaranya adalah Santo Pius V.

Keenam, setelah Paus dimakamkan dan fase berkabung serta upacara penguburan selesai, 'fase kedua' dari sede vacante dimulai, yaitu prosedur pemilihan paus baru.
Diawali dengan momentum “Klausura” di Kapel Sistina oleh para Kardinal, yang juga terbuka untuk para kardinal non elektoral. Di sana, para kardinal akan membahas tantangan yang menanti Gereja, evaluasi akhir masa kepausan, dan hingga, identitas pribadi yang mereka rasa layak untuk mempercayakan kunci Petrus.
Fase masuk ke Kapel Sistina diawali dengan Missa pro eligendo Romano Pontifice.
Dengan tidak adanya Kardinal Re dan Kardinal Sandri, yang dikecualikan karena batasan usia, kemungkinan besar Kardinal Vincenzo Parolin-lah, sebagai yang paling senior dengan penunjukan di antara para kardinal (pada tingkatan Kardinal Uskup), yang akan melaksanakan tugas-tugas dekan, termasuk menanyakan kepada orang yang terpilih apakah dia menerima pemilihan dan dengan nama apa dia ingin dipanggil.
Ketujuh, biasanya, konklaf dimulai antara lima belas dan dua puluh hari setelah dimulainya Sede Vacante (UDG 37), untuk memungkinkan para kardinal yang memenuhi syarat untuk tiba di Roma pada waktunya untuk pemilihan.
Namun, Paus Benediktus XVI mengizinkan para kardinal “untuk mengantisipasi dimulainya konklaf jika diketahui bahwa semua kardinal yang terpilih hadir” (yang, dalam kasusnya, dihitung sejak pemberitahuan awal tentang pengunduran dirinya).
Secara realistis, konklaf 2025 bisa dimulai selambat-lambatnya pada Senin 5 Mei 2025 dan oleh karena itu (setidaknya menurut durasi rata-rata konklaf terakhir) bisa saja pada tanggal 6 atau 7 Mei 2025, Gereja Katolik sudah bisa memiliki seorang Paus baru. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.