Opini
Opini: Paradoks Migrasi dan Sumber Daya Manusia
Pada umumnya orang NTT bermigrasi ke luar NTT karena faktor ekonomi yakni kemiskinan di daerah asalnya.
Oleh: Albert Novena, SVD
Tinggal di Seminari Tinggi St.Paulus Ledalero-Maumere, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Masalah migrasi dan tenaga kerja migran masih menjadi keprihatinan sosial bagi pemerintah dan masyarakat di NTT sampai kini.
Di Nusa Tenggara Timur ( NTT) dapat diamati tiga jenis migrasi, yakni migrasi keluar orang NTT, migrasi masuk orang luar ke NTT dan migrasi musiman dari para wisatawan ke NTT.
Migrasi ke luar NTT
Pada umumnya orang NTT bermigrasi ke luar NTT karena faktor ekonomi yakni kemiskinan di daerah asalnya.
Di antara berbagai faktor berkaitan dengan kemiskinan seperti ketiadaan lahan tanah garapan, tidak ada akses ke sumber kekuasaan dan kekuatan ekonomi dan ketiadaan modal finansial, terdapat pula faktor rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, sehingga sulit mendapat atau menciptakan pekerjaan.
Dengan kata lain, Sumber Daya Manusia (SDM) masih rendah menjadi kendala untuk masuk dalam dunia usaha yang membutuhkan keahlian dan keterampilan menciptakan dan mengembangkan lapangan kerja.
Hal ini mudah mendorong orang bermigrasi keluar mencari nafkah di tempat tujuan yang lebih membutuhkan tenaga buruh kasar.
Tidak dapat dipungkiri, di NTT terdapat banyak sekolah namun kurang juga memerhatikan mutu dalam link and match dengan lapangan kerja atau dunia industri.
Ada juga fenomena pengangguran terdidik. Tentu saja mutu SDM tidak hanya menyangkut pendidikan intelektual, tapi juga pengaruh kultural dan bahkan motivasi religius.
Migrasi Masuk
Di NTT, selain orang NTT bermigrasi keluar, ada pula terjadi kenyataan sebaliknya yakni orang dari luar bermigrasi masuk ke NTT untuk mengadu nasibnya di wilayah NTT.
Mungkin pendidikan mereka juga kurang, namun mereka sangat ulet membangun usaha-usaha kreatif seperti warung makan, pedagang kaki lima, penjahit pakaian atau sepatu, bengkel motor, pemangkas rambut dll, dan bahkan ada yang bisa menjadi kaya dan mempekerjakan orang lokal.
Apa yang mendorong mereka ulet bekerja? Apakah mereka itu berhasil karena memiliki spirit kapitalisme yang kuat?
Atau memiliki motivasi kuat untuk berprestasi dalam kerja atau memiliki sikap mental inovatif tinggi dalam kegiatan ekonomi, dan percaya pada kemampuan diri sendiri serta enggan menyerah kepada kemiskinan?
Atau juga karena memiliki motivasi religius kuat untuk membangun kehidupan ekonomi seperti dikatakan Max Weber dalam thesisnya Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism)?
Semua faktor tersebut di atas adalah faktor psikokultural yang dapat memengaruhi sikap seseorang terhadap proses pebangunan dalam masyarakat (Marzali Amri, 2005, p.90-100).
Migrasi Musiman
Selain itu, masih ada satu bentuk migrasi masuk lain dari orang luar ke wilayah NTT.
NTT sudah terkenal dalam dunia pariwisata internasional sejak even Komodo Sail 2013 ke Labuhan Bajo, Flores, dan kini Labuhan Bajo menjadi satu dari lima Destinasi Wisata Super Prioritas Indonesia yang terus dipacu pengembangannya oleh pemerintah pusat. Turisme itu juga bisa dikatakan suatu bentuk migrasi masuk musiman.
Para wisatawan mancanegara datang ke NTT bukan dengan maksud mencari pekerjaan melainkan membawa uang dan mau membelanjakannya untuk menikmati apa saja yang sifatnya lokalitas pada alam, budaya, masyarakat, agama dll di NTT.
Kehadiran wisatawan mancanegara itu sebenarnya membuka peluang kerja dan usaha bagi masyarakat lokal menggarap berbagai usaha kepariwisataan seperti akomodasi, kuliner, obyek dan atraksi wisata, jasa transportasi, fashion, cindra mata,dan lainnya.
Peluang usaha ini kurang ditanggapi masyarakat lokal sehingga orang dari luar, khususnya para investor, dan bahkan orang asing datang berebutan membeli tanah di wilayah ini dan membangun berbagai usaha kepariwisataan sementara masyarakat lokal menjadi penonton bahkan juga rela menjual tanahnya tanpa memikirkan generasi penerusnya.
Pemerintah daerah masih perlu berusaha mendidik dan memberdayakan masyarakat lokal dalam usaha kepariwisataan.
Boleh juga diharapkan sejauh mana peran lembaga keagamaan di NTT, misalnya Gereja di NTT, memotivasi dan mendorong umatnya menanggapi realitas pengembangan pariwisata dengan membangun berbagai usaha kepariwisataan guna peningkatan kesejahteraan umat dan dapat meminimalisasi migrasi tenaga kerja ke luar NTT? (bdk. Wuryandari Ganewati, ed.dkk. 2015, p.135)
Pengembangan pariwisata di NTT kini tampaknya cenderung memberi peluang lebih besar kepada para investor kapitalis dan kurang membuka peluang untuk pengembangan pariwisata pedesaan dengan pelakunya masyarakat lokal.
Menanggapi realitas ini, kiranya masih dibutuhkan peran pemerintah memfasilitasi kerja sama antara investor dengan masyarakat lokal pemilik aset wisata alam, budaya dan agama dalam kemitraan setara dan saling menguntungkan demi menciptakan pemerataan pembangunan pariwisata (equity oriented model).
Dalam kemitraan itu peningkatan pemberdayaan masyarakat lokal hendaknya menjadi pilihan utama kebijakan pembangunan pariwisata oleh pemerintah daerah ( Sunaryo Bambang, 2013, p.137- 138).
Prof.Harry Oshima, ahli ekonomi Asia,mengatakan bahwa tingkat kualitas manusia yang dibutuhkan untuk pembangunan dapat dibedakan dalam dua komponen utama yakni pertama, tingkat keterampilan atau keahlian dan kedua, tingkat etika kerja atau budaya kerja.
Keahlian dan keterampilan dapat diperoleh melalui pendidikan formal, pelatihan dan pengalaman kerja.
Etika kerja atau budaya kerja merupakan prinsip moral kemasyarakatan dan merupakan warisan budaya yang terwujud dalam etos kerja. (Rachbini, Didik J, 2001,p.113-147). Dengan kata lain inilah faktor pendidikan dan psikokultural.
Paradoks Migrasi
Dari segi geografi pariwisata, NTT sangat kaya dengan modal pariwisata pada alam, laut, budaya, kearifan etnik, agama dan masyarakat yang berdiam dalam lingkungan geografi itu.
Semua unsur geografi pariwisata itu dapat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat bila unsur sumber daya manusianya inovatif dan kreatif mengelolanya. (Arjana I.G.B. 2015,p.8-11).
Untuk itu ada empat masalah sosial perlu ditangani yakni faktor budaya (psikokultural), pendidikan, political good will pemerintah dan motivasi religius.
Sukarno, presiden pertama RI. dalam hubungannya dengan pentingnya faktor sumber daya manusia mengelola kekayaan alam, budaya, di Indonesia pernah berkata: “kalau terus menerus kekayaan-kekayaan itu terpendam mati, karena kita sendiri tak mampu menggalinya, maka nanti dapat terjadi, kita ini tetap miskin di tengah-tengah kekayaan itu, ibarat ayam mati kelaparan di lumbung padi, itik mati dahaga pada waktu berenang di air sungai”. (Ir. Sukarno, 1965, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 2, p. 206). Kemiskinan di tengah kekayaan.
Migrasi keluar orang NTT mengindikasikan NTT ini miskin, dan migrasi masuk orang luar ke NTT mengindikasikan NTT ini kaya. Ini suatu paradoks migrasi di NTT.
Masalah migrasi dan tenaga kerja migran NTT tidak menjadi topik hangat dalam kampanye pemilu provinsi dan daerah 2024 lalu.
Kini NTT memiliki kepemimpinan baru untuk lima tahun ke depan (2025-2030). Akan berlanjutkah nanti paradoks ini ke depannya dengan lebih banyak tenaga kerja migran keluar dari NTT? (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.