Uskup Petrus Turang Wafat

Kisah Perkenalan Uskup Emeritus Mgr Petrus Turang  dengan Pendeta Emy Sahertian

Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang, Mgr Petrus Turang memiliki banyak sahabat kenalan dari berbagai kalangan.

|
POS-KUPANG.COM/HO
Uskup Petrus Turang bersama sahabatnya, Pdt Emi Sahertian dan Suster Laurentia 

Karena kalau sistem itu tidak mengalami pembaruan maka semua ratapan keterlukaan itu akan sia sia, dan orang Papua akan tetap merasa terasing di dalam rumah besar  yang disebut Indonesia.

Dasar utama yang perlu didialogkan adalah soal Citizeship  di mana selama ini  yang ditekankan adalah kewajiban, sementara hak hak mereka seolah mengalami penyempitan kanal  kesejahteraan, kemanusiaan dan politik.

Apalagi sejarah mereka tidak jatuh sama denga sejarah kebangsaan Indonesia.

Dialog ini juga perlu ada klarifikasi  seimbang antara negara dalam hal ini pemerintah dengan rakyatnya tentang existensi  mereka sebagai sesama anak bangsa....jangan sampai mereka  semakin merasa sebagai "anak tiri" dalam rumah besar ini.

Atas rekomendasi mereka maka program  dialog inklusif ini dilakukan selama  2 tahun dengan mendapat dukungan penuh dari Partnership Indonesia  sehingga  bisa meloloskan dukungan dana dari lembaga internasional. 

Mgr Petrus Turang : Kau Harus Pulang

Ketika beliau mengetahui bahwa saya dari NTT dan GMIT, membuat  relasi  kami cukup dekat dan bersahabat, terutama berdiskusi tentang NTT.

Beliau menegaskan kepada saya bahwa persoalan di NTT pun pergumulannya berat sehingga apabila program ini selesai maka "kau harus pulang"...itu "utang" yang perlu ditebus.

Beliau begitu gembira ketika kami bertemu di Kupang dan saya mengatakan bahwa saya sudah kembali dan bergabung dalam pelayanan GMIT.

Baca juga: Begini Model Peti Jenazah Uskup Emeritus Petrus Turang yang Diusung 10 Romo

Dalam sebuah wawancara dengan beliau ketika saya terlibat penelitian tentang bagaimana kehidupan keberagaman serta toleransi beragama di NTT.... kembali beliau menekankan bahwa  semua konflik SARA, dan keberagaman lain, persoalan mendasarnya adalah hal  CITIZENSHIP atau "WARGA NEGARA"  sebagai aplikasi dari sila sila Pancasila yang mestinya diterapkan secara bersambung, utuh dan saling memberi nutrisi seimbang, tidak terputus putus karena itu adalah "nyawa kebangsaan" untuk mengelola semua perbedaan yang menimbulkan bias relasi, bias hukum dan keadilan, dan lebih berbahaya adalah bias kemanusiaan. 

Hal yang  tidak terlupakan bagi saya adalah ketika saya diikut sertakan dalam delegasi keuskupan Kupang di bawah pimpinan Uskup Mgr.Petrus Turang (waktu itu) pada  pertemuan para Uskup se Bali-NUSRA di Atambua beberapa tahun silam.

Dalam pertemuan akbar ini saya dan Sr.Laurentina serta Ibu Cicilia Sona mempresentasikan persoalan TPPO NTT, sebagai tema yang diangkat oleh keuskupan Agung Kupang.

Baca juga: Romo Amanche Ninu: Mgr Petrus Turang Pukul Meja, You, Anak Kecil Atau ANAK BESAR???

Kepercayaan yang diberikannya kepada kami, terutama saya  yang asal GMIT yang diminta khusus, merupakan bagian dari relasi sebagai mitra pelatanan sosial, tetapi juga sahabat karib yang melintas batas dalam pelayanan kemanusiaan di NTT...

Apa yang menjadi nilai tertinggi dari soal partnership dan citizenship, yang bila diterjemahkan dalam bahasa pelayanan gerejawi bisa saja merupakan aksi "kawan sekerja ALLAH" untuk keselamatan umat manusia, terlepas dari berbagai tantangan denominasional dan perbedaan tradisi yang sering membayangi pelayanan  bersama kami.

Mendiang Uskup Emeritus Mgr Petrus Turang Pr saat merayakan pesta perak pada 27 Juli 2022 lalu. 
Mendiang Uskup Emeritus Mgr Petrus Turang Pr saat merayakan pesta perak pada 27 Juli 2022 lalu.  (POS-KUPANG.COM/HO-DOK.PRIBADI)

Kenangan  paling akhir adalah tahun lalu di wisma KWI, Jl.Kemiri, Jakarta. Saat itu saya sempat mengikuti misa pagi yang dipimpinnya.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved