NTT Terkini

Mahasiswa dan Masa Depan Pertanian Indonesia: Mengapa Kita Tidak Bisa,  Hanya Menunggu?

Lihatlah bagaimana Israel mengubah gurun menjadi lahan subur, atau Belanda yang menjadi eksportir pangan terbesar kedua dunia dengan lahan terbatas.  

|
Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/HO
Dosen Faperta Undana, Agustina Etin Nahas, S.P, M.Si 

Oleh: Agustina Etin Nahas, S.P., M.Si 

(Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana)

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Sektor pertanian Indonesia sedang di persimpangan jalan.

Di satu sisi, ia dianggap sebagai “tulang punggung” ekonomi dan ketahanan pangan. Di sisi lain, ia terjebak dalam lingkaran masalah klasik: alih fungsi lahan masif, minimnya regenerasi petani, ketergantungan pada impor pangan, dan ancaman krisis iklim yang semakin nyata.

Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan kritis: Siapa yang akan memikul tanggung jawab untuk mengubah nasib pertanian kita? 

"Saya percaya, jawabannya terletak di pundak mahasiswa. Bukan karena mereka "harus" menjadi pahlawan, melainkan karena posisi mereka sebagai generasi yang melek teknologi, kritis, dan belum terkontaminasi oleh pragmatisme birokrasi atau kepentingan bisnis sempit. Mahasiswa bukan hanya calon pemimpin masa depan, tapi juga agen perubahan yang bisa bertindak sekarang.  

Pertanian Bukan Sekadar Urusan "Orang Kampung"  

Baca juga: Kelompok Tani di Desa Letneo Terima Alsintan, Kepala Desa Apresiasi Polres TTU dan Dinas Pertanian 

Seringkali, mahasiswaterutama yang berasal dari kotamemandang pertanian sebagai sektor kuno, kotor, dan tidak menjanjikan. Stigma ini diperparah oleh narasi media yang kerap menampilkan petani sebagai simbol kemiskinan. Padahal, di balik itu, pertanian adalah ruang inovasi tanpa batas.

Lihatlah bagaimana Israel mengubah gurun menjadi lahan subur, atau Belanda yang menjadi eksportir pangan terbesar kedua dunia dengan lahan terbatas.  

Di sinilah mahasiswa perlu mengambil peran. Mereka bisa menjadi penghubung antara modernitas dan tradisi, antara laboratorium kampus dan sawah-sawah. Pertanian tidak membutuhkan romantisme, tetapi terobosan nyata. Misalnya, mahasiswa teknik bisa merancang alat pengolah sampah organik menjadi pupuk, mahasiswa ekonomi bisa membangun model bisnis marketplace hasil pertanian, sementara mahasiswa komunikasi bisa mengampanyekan pentingnya literasi pangan.  

Mengapa Mahasiswa Harus Turun Langsung?  

Banyak program pemerintah atau NGO (Organisasi Non Pemerintah) gagal memberdayakan petani karena pendekatan yang terlalu top-down.

Petani sering dianggap sebagai objek, bukan mitra. Mahasiswa, dengan energi dan kedekatan emosional, bisa mengubah pola ini. Saat mahasiswa tinggal di desa selama KKN, makan bersama petani, dan mendengar keluh kesah mereka, lahirlah solusi yang kontekstual.  

Baca juga: Prodi Agroteknologi Faperta Undana Gelar Pengabdian Pada Kelompok Tani Pelangi di Bakunase II

Contoh sederhana: sekelompok mahasiswa di Jawa Barat berhasil mengajak petani kopi beralih dari menjual biji mentah ke produk kemasan premium. Mereka tidak hanya membantu pemasaran, tetapi juga mengajarkan manajemen keuangan.

Hasilnya? Harga jual naik 300 persen, dan petani mulai percaya pada nilai tambah. Ini bukti bahwa pendampingan berbasis empati lebih efektif daripada sekadar teori.  

Tantangan Terbesar: Melawan Mentalitas Instan  

Namun, menjadi agen perubahan di sektor pertanian tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan terbesar justru datang dari dalam diri mahasiswa sendiri: mentalitas instan.

Banyak yang ingin membuat aplikasi canggih atau start-up viral dalam semalam, tanpa mau memahami akar masalah. Padahal, pertanian adalah bidang yang sarat kompleksitas.

Butuh kesabaran untuk mengubah pola pikir petani, mengurai rantai pasok yang timpang, atau melobi kebijakan yang pro-petani kecil.  

Di sisi lain, kampus seringkali tidak mendukung. Kurikulum yang terlalu teoritis dan minim proyek lapangan membuat mahasiswa kehilangan sense of crisis. Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa menyelesaikan masalah pertanian jika tidak pernah menyentuh tanah atau berbicara dengan petani?  

Ini Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban Moral  

Bagi saya, berpartisipasi dalam transformasi pertanian bukan sekadar pilihan karir atau proyek akademis. Ini adalah kewajiban moral. Setiap suap nasi yang kita makan adalah hasil jerih payah petani.

Jika kita abai terhadap nasib mereka, kita termasuk dalam lingkaran sistem yang menindas.  

Mahasiswa harus berani keluar dari zona nyaman. Tidak perlu menunggu lulus atau jadi pejabat untuk berkontribusi. Mulailah dari hal kecil: berkebun di kos-kosan, membeli produk lokal, atau mengadvokasi isu pertanian di media sosial. Seperti kata pepatah, "Jika kamu berpikir kamu terlalu kecil untuk membuat perubahan, cobalah tidur di kamar bersama nyamuk."

Penutup: Pertanian adalah Cerminan Peradaban  

Sejarah membuktikan, kejayaan suatu bangsa dimulai dari ketahanan pangannya. Jika hari ini kita membiarkan pertanian terpuruk, maka kita sedang menggali kubur untuk masa depan sendiri. Mahasiswa, dengan segala idealismenya, harus memastikan bahwa Indonesia tidak hanya jadi pasar pangan impor, tetapi sebagai lumbung inovasi agrikultur global.  

Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu bisa lakukan untuk bangsamu. Di sektor pertanian, jawabannya ada di tangan kita semua.  

Sebuah seruan untuk mahasiswa yang tidak mau jadi penonton.(*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved