Opini

Opini: Kekerasan Seksual dan Gagalnya Sistem Perlindungan Anak 

Fakta bahwa seorang Kapolres menjadi pelaku pedofilia dan pengisi materi pornografi menjadi tamparan keras bagi negara Republik Indonesia untuk segera

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Merly Klaas 

Laporan KPAI mengungkapkan bahwa 90 persen  pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan lah orang asing, melainkan orang yang dikenal dan dipercaya anak seperti orang tua, saudara, kerabat, guru, atau pemimpin keagamaan. 

Biasanya, sebelum melakukan kekerasan seksual, pelaku melakukan  manipulasi (child grooming) untuk menegakkan kekuasaan atas korban, baik dengan memberikan hadiah dan perhatian maupun menumbuhkan rasa takut melalui ancaman dan kekerasan fisik.

Namun, dalam kasus Mantan Kapolres Ngada, pelaku justru menggunakan kekuasaan dan otoritasnya untuk melancarkan aksi bejatnya secara terbuka. 

Ia bebas memesan anak untuk dicabuli di hotel, merekam kejahatan, dan mengunggahnya ke situs porno tanpa takut akan konsekuensi hukum. 

Kejahatan yang paling berbahaya adalah yang dilakukan oleh penjahat berseragam, karena mereka adalah penegak hukum dan penafsir palu keadilan.

Dampak Psikologis Jangka Panjang bagi Korban

Setiap anak berhak atas perlindungan dan kehidupan yang layak. Namun, kekerasan seksual terhadap anak merampas hak-hak dasar ini dan meninggalkan luka seumur hidup. 

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual mengalami dampak serius, baik fisik seperti luka berat, kehamilan usia muda, dan penyakit menular seksual, maupun psikologis seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan bahkan keinginan bunuh diri.

Dalam sebuah jurnal Child Neglect and Abuse, diungkapkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak psikologis jangka panjang yang lebih merusak dibandingkan jenis kekerasan lain. 

Korban sering kali baru bisa mengungkapkan pengalaman traumatis mereka setelah berpuluh-puluh tahun karena besarnya luka batin yang dialami. 

Fenomena "sleeper effects" menunjukkan bahwa memori traumatis yang terlupakan bisa muncul kembali di usia dewasa ketika seseorang berada dalam situasi tertentu, seperti memulai hubungan percintaan, menjadi orang tua, atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, korban pelecehan anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk kembali menjadi korban kekerasan seksual di masa remaja atau dewasa. Jika tidak mendapat pemulihan, mereka juga berisiko menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap orang lain. 

Secara khusus, anak usia dini lebih mudah dimanipulasi dan dipaksa, karena mereka belum memiliki pemahaman tentang pelecehan seksual. 

Kekerasan seksual yang dialami pada usia ini mengganggu perkembangan psikososial anak, menyebabkan rasa bersalah, malu, dan ketidakmampuan membangun kepercayaan diri serta hubungan sehat di masa depan. 

Secara neurobiologi, otak anak sedang berkembang sangat pesat dimasa usia dini sehingga pengalaman mendapatkan kekerasan seksual dapat menghambat perkembangan bagian otak khususnya yang bertanggung jawab atas fungsi kognitif, memori, dan emosi anak. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved