Opini
Opini: Megakorupsi, Luka Lama yang Tak Pernah Pulih
Data yang terungkap menunjukkan betapa masifnya kerugian negara akibat praktik korupsi yang sistematis ini.
Oleh: Petrus Selestinus Mite
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang
POS-KUPANG.COM - Megakorupsi yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah fantastis, tidak hanya sekadar masalah keuangan, tidak juga sekedar tindak pidana.
Kasus ini ibarat luka lama yang terus menganga, merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindakan korupsi tersebut tentu dilakukan secara terstruktur dan sistematis yang melibatkan pejabat tinggi negara, pengusaha, dan pihak-pihak lain yang memiliki kekuasaan.
Dampaknya sudah pasti luas, mulai dari kerugian negara yang besar, kerusakan pada berbagai aspek kehidupan seperti, moral, ekonomi, sosial dan sistem pemerintahan, hingga pada level hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Data yang terungkap menunjukkan betapa masifnya kerugian negara akibat praktik korupsi yang sistematis ini.
Tiga klasemen liga korupsi teratas, dihuni oleh Korupsi Pertamina dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 968,5 triliun, Kasus Korupsi PT Timah yang merugikan sekitar Rp 300 triliun, dan Skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dengan kerugian mencapai Rp 138 triliun.
Selain itu, Penyerobotan Lahan oleh PT Duta Palma Group yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 78 triliun, Kasus Korupsi PT TPPI (Rp 37,8 triliun), serta Skandal PT Asabri yang merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun.
Di sektor keuangan, Kasus PT Jiwasraya mencatat kerugian sebesar Rp 16,8 triliun, sementara Korupsi Izin Ekspor Minyak Sawit mengakibatkan kerugian Rp 12 triliun.
Tidak hanya itu, Skandal Pengadaan Pesawat Garuda Indonesia (Rp 9,37 triliun), Korupsi Proyek BTS 4G (Rp 8 triliun), dan Kasus Bank Century (Rp 7 triliun) turut melengkapi daftar panjang praktik korupsi yang merugikan keuangan negara.
Kasus-kasus tersebut tidak hanya meninggalkan kerugian materi, tetapi juga trauma kolektif yang sulit disembuhkan.
Luka ini tak kunjung pulih karena korupsi telah menjadi sistem yang mengakar, merasuk ke dalam struktur kekuasaan, menjadi tradisi yang dinormalisasikan dan diperparah oleh lemahnya penegakan hukum serta budaya impunitas.
Jika kita mengingat-ingat kembali, George Junus Aditjondro dalam tulisannya, "Membongkar Gurita Cikeas: Dibalik Skandal Bank Century” (Aditjondro, 2010) secara terang-terangan mengatakan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari sistem politik dan ekonomi
sejak era Orde Baru.
Jeffrey Winters dalam karyanya “Oligarki” (Winters, 2011) melihat korupsi tidak hanya sebagai tindakan individu, melainkan sebuah mekanisme yang melibatkan jaringan oligarki, birokrasi, dan korporasi.
Megakorupsi inilah yang merupakan puncak yang paling banal dari sistem yang paling “kurang ajar”, di mana kerugian negara mencapai triliunan rupiah, sementara pelakunya sering kali lolos dari jerat hukum bahkan ada upaya untuk dimaafkan.
Terlalu sering kita bertanya mengapa megakorupsi menjadi kasus yang terus berulang dan menjadi luka yang sulit disembuhkan?
Padahal, Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam ulasannya “Why Nations Fail” (Daron Acemoglu, 2012) sudah pernah menyinggung bahwa: institusi yang lemah menjadi penyebab utama kegagalan suatu negara dalam mensejahterakan rakyatnya dan gagal mencegah kejahatan sistematis ini.
Megakorupsi adalah bukti nyata dari kegagalan institusi di Indonesia. Ketika sistem hukum dan politik tidak mampu menciptakan akuntabilitas, korupsi akan terus berkembangbiak, dan luka lama ini akan terus berdarah, menghambat kesejahteraan dan merusak kepercayaan publik.
Walaupun, Susan Rose-Ackerman pernah menawarkan solusi reformasi sistemik untuk memerangi korupsi, dalam karyanya: “Corruption and Government”, (Rose-Ackerman, 1999) sebuah upaya seperti pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Gerakan anti-korupsi oleh masyarakat sipil sebagai langkah mengalahkan korupsi.
Sayangnya, tanpa perbaikan sistemik seperti penguatan institusi, transparansi, dan partisipasi publik (membangun kesadaran koloektif dan gerakan anti korupsi), luka lama ini akan terus berulang tanpa henti.
Hingga akhirnya, Ray Fisman dan Miriam A. Golden harus menyampaikan kenyataan pahit yang harus kita terima dalam “Corruption: What Everyone Needs to Know” (Golden, 2017) bahwa korupsi tidak hanya merugikan ekonomi tetapi juga mengancam stabilitas social dan keamanan nasional.
Megakorupsi di Indonesia telah menciptakan ketimpangan sosial yang tajam (seperti: PHK Sirtex, kemiskinan ekstrem di daerah lahan kering bagian Indonesia Timur), memicu ketidakpuasan publik dengan berbagai kebijkan pemerintah yang aneh (seperti: efisiensi anggaran, pajak dinaikan), dan berpotensi memicu konflik.
Ketika masyarakat melihat para pelaku korupsi hidup bergelimang harta sementara rakyatnya sendiri kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, kepercayaan terhadap negara semakin terkikis.
Megakorupsi merupakan cerminan dari kegagalan kolektif kita sebagai bangsa dan redupnya harapan kita menjadikan Indonesia emas ditahun yang akan datang.
Hal itu ibarat luka lama yang tak kunjung pulih karena sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya berani membongkar sistem yang melahirkan tindakan jahat ini.
Proses menyembuhkan luka ini, diperlukan keberanian politik, komitmen moral yang tinggi, dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat (kesadaran kolektif, keberanian kolektif dan tindakan kolektif untuk membumi-hanguskan korupsi baik ditingkat nasional, lokal, sampai dilevel yang paling kecil, seperti; komunitas agama, LSM, NGO, desa dan keluarga). (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.